Mohon tunggu...
Agus Amarullah
Agus Amarullah Mohon Tunggu... Kuli Markom -

Makan 3x sehari. Mandi 2x sehari. Mikir sesekali.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Kaum Berisik Jakarta, Bersatulah.

4 Desember 2017   00:55 Diperbarui: 4 Desember 2017   15:19 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan obyektif, suasana Pilkada DKI 2017 itu adalah Pilkada paling panas dan brutal. Bagaimana tidak, urusan jenazah saja menjadi gimmick dalam kegiatan kampanyenya. Belum lagi dari sisi gaungnya yang tidak hanya terbatas di DKI saja, tapi beresonansi ke segenap penjuru daerah di seluruh Indonesia. Pilkada DKI 2017 menjadi semakin bergemuruh karena isu-isu seksi seputar agama ikut digulirkan sekaligus ikut 'dilegitimasi' oleh lembaga keagamaan sekelas MUI.

Tidak bisa dibayangkan jika kejadian itu berlangsung belasan tahun yang lalu ketika kehidupan media sosial lewat internet tidak semaju sekarang. Bisa jadi, ceritanya sama sekali akan sangat berbeda.

Media sosial benar-benar telah memberikan kontribusi perubahan yang spektakuler bagi dinamika politik itu sendiri. Kehidupan internet telah mengubah warga negara (citizen) menjadi warga dunia maya (netizen) yang mempunyai karakteristik dan perilaku yang berbeda. Dari citizen pasif dalam menerima sebuah informasi (one way communication), berubah menjadi netizen aktif dengan kemampuan merespon seketika (two way communication).

Tidak mengherankan, jagat maya terasa semakin berisik selama Pilkada DKI 2017 itu. Hingga pada akhirnya, Gubernur DKI pun terpilih dan dimenangkan oleh pasangan Anies Sandi dengan perolehan suara 58%, dan menenggelamkan pasangan Ahok Djarot dengan suara 42%.

***

Apakah keberisikan itu terhenti setelah terpilih gubernur baru?
Seperti halnya pola di Pilpres 2014, keberisikan itu pun terus berlanjut.

Ironisnya, keberisikan lanjutan itu dipicu dari pidato pertama Anies dalam acara pelantikannya dengan menyampaikan terma "pribumi" yang justru kontra produktif dengan jargon 'tenun kebangsaan' yang sering didengung-dengungkannya.

Setelah itu, Anies Sandi seakan terus ditempel CCTV oleh netizen untuk setiap ucapan dan kegiatannya. Mulai dari netizen kritis dengan ulasan kritikan cerdasnya sampai dengan netizen usil yang menjadikan Anies Sandi menjadi bulan-bulanan humor politik.

Proses penyusunan RAPBD DKI 2018 pun tak luput dari keberisikan itu sendiri. Pos-pos yang mencurigakan pun disebarkan ke publik untuk dikritisi. Di tahap ini, sayang sekali Anies Sandi tidak bisa mengelola isu ini dan justru meresponnya dengan komunikasi yang buruk sekali.

Dan keberisikan itu pun terpelihara dengan baiknya, setidaknya pos kontroversial renovasi air mancur Balai Kota misalnya, berhasil tercoret dari RAPBD. Hal ini menunjukkan secara sederhana bahwa keberisikan telah berubah menjadi kontrol kepada pemerintah dari warganya.

***

Sampai suatu saat ada 'himbauan' dari seolah-olah warga JKT42 bahwa berisik terhadap Anies sama saja dengan memberikan promosi gratis untuk menggerek tingkat popularitas Anies untuk bekal di Pilpres 2019. Sehingga setiap pemberitaan, kritikan atau postingan usil tentang Anies akan menjadikan modal popularitas bagi Anies sendiri. Himbauan itu cukup meyakinkan dengan memberikan contoh kasus di beberapa pemilihan presiden di dunia.

Dalam kajian Political Marketing, memang unsur popularitas mempunyai kontribusi sangat besar dan penting dalam pemenangan sebuah pemilihan kandidat  pemimpin atau partai. Tapi tidak sesederhana itu dan bukan satu-satunya unsur penentu. Karena di atasnya lagi ada unsur likeability (kemampuan untuk disukai) sebelum menuju tingkat paling atas pada unsur elektabilitas (tingkat keterpilihan).

Sederhananya, popularitas yang tinggi tidak serta merta menunjukkan elektabilitas yang tinggi pula.

Namun demikian, untuk mencapai popularitas tidaklah murah, bahkan cenderung sangat mahal. Di dalamnya harus dilakukan banyak kegiatan di banyak kanal kampanye (exposure) untuk mencapai pengenalan yang kuat (awareness). Di sisi ini, himbauan tentang berhenti memberitakan atau memposting tentang Anies mendapatkan pembenarannya.

Popularitas itu wajib dikelola supaya bisa menciptakan tingkat disukainya (likeablity) menjadi tinggi melalui serangkaian kegiatan kampanye yang bisa menyentuh ekspektasi dan preferensi positif pemilih. Dalam tahap ini, pemberitaan kritikan kepada Anies justru akan menjauhkan ekspektasi pemilih sekaligus preferensi negatif kepada Anies. Selama Anies tidak bisa menunjukkan kinerjanya, maka setinggi apa pun tingkat popularitasnya tidak akan membantu keputusan pemilih untuk memilihnya (elektabilitas rendah).

Tahap penciptaan likeability ini adalah jembatan antara popularitas dan elektabilitas. Hasil likeability tinggi, maka otomatis tingkat elektabilitas akan tinggi, pun sebaliknya. Banyak orang awam yang mempersamakan popularitas dan elektabilias secara sederhana dan serampangan.

Sekarang di tahap akhir, tentang elektabilitas. Di sini pun orang sering cepat mengambil kesimpulan bahwa jika elektabilitas tinggi, maka sang kandidat akan pasti menang. Tingkat elektabilitas adalah kondisi kemungkinan terpilihnya kandidat pada saat survey itu dibuat. Survey itu hanya mengukur komitmen jika pemilihan dilakukan sekarang. Pada praktiknya, tidak ada jaminan pemilih tersebut akan memilih kandidat pilihannya itu.

Komitmen yang dimaksud di atas adalah komitmen yang kuat, memiliki ikatan emosional tinggi yang dibuktikan dengan kehadirannya datang di TPS.

Sehingga, himbauan untuk tidak memberitakan atau memposting kritikan atas kinerja Anies selama memimpin Jakarta adalah sama dengan kita menjauhkan kontrol warga kepada pemimpinnya.

Maka, berisiklah sebelum berisik itu dilarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun