Pemerintahan baru, harapan baru. Begitulah dalam benak saya ketika presiden baru dan wakil presiden baru dilantik untuk lima tahun kedepan. Namun, baru dua hari dilantik, kembali dunia pendidikan kita dicoreng dengan tindakan oknum yang tidak mau anaknya dididik dengan baik di sekolah. Kembali terulang guru, sosok yang digugu dan ditiru ini harus mengalami duka nestapa usai dipolisikan karena masalah mendidik anak.
Ya, ibu Supriyani, S. Pd, Guru SD Negeri Baito, Konawe Selatan harus berurusan dengan pihak kepolisian, bukan berurusan lagi, tapi sudah ditahan polisi karena menegur murid yang nakal. Orang tua dari siswa tersebut tidak terima dan ternyata seorang oknum polisi.
Sungguh miris, ibu Supriyani, S. Pd, adalah seorang guru honorer yang sedang berjuang dengan menyusun berkas untuk menjadi guru P3K (Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja), adalah guru yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-PNS, namun harus mengalami peristiwa memilukan akibat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pendidik, sebagai guru yang mendidik dan mengajarkan etika dan moral kepada anak didiknya.
Kronologi yang diterima dan dirangkum dari berbagai sumber menceritakan, kejadiannya sudah lama, sekitar April 2024 ibu Supriyani memarahi seorang muridnya karena nakal. Entah benar atau tidak, namun ibu Supriyani dituduhkan memukul dengan benda keras, padahal menurut pengakuan ibu Supriyani, dia hanya menegur dan kalaupun ada memukul? Pasti bukan dari hatinya, pasti hanya pelan dan tidak sampai menimbulkan luka memar ataupun luka parah seperti yang dituduhkan.
Si anak yang duduk di kelas satu kala itu, sekarang sudah duduk di kelas dua, melaporkan penganiayaan kepada orangtuanya yang ternyata seorang anggota kepolisian, bernama Aipda Wibowo Hasyim. Awalnya anaknya mengaku bahwa dia terjatuh saat bermain di sekolah, namun ayah dan ibunya tidak percaya sehingga diinterogasi lebih lanjut.
Entah mengapa, ceritanya sampai melibatkan gurunya, ibu Supriyani, dituduh melakukan kekerasan terhadap anaknya. Beliau dituduh melakukan pemukulan dengan benda seperti sapu.
Semua guru di sekolah itu sebenarnya tidak terima dan sudah melakukan pembelaan bahwa ibu Supriyani hanya menegur muridnya, namun orangtuanya tidak percaya dan lanjut melaporkannya ke polisi.
Disinilah drama itu pilu itu berlanjut. Ibu Supriyani dipanggil pihak kepolisian untuk mengkonfirmasi laporan penganiayaan tersebut, namun ibu Supriyani tetap pada pendiriannya bahwa dia tidak ada melakukan penganiayaan terhadap muridnya, hanya menegur saja.
Namun, laporan tetap berlanjut, hingga dimediasi dengan pihak keluarga. Ibarat jebakan batman, disinilah ibu Supriyani terjebak. Tidak mendapatkan pelayanan hukum dan tidak didampingi pengacara, disebutkan ibu Supriyani mengakui melakukan penganiayaan atas saran Bripka Jefri, Kanit Reskrim Polsek Baito.Â
Namun, masalah bukannya menjadi selesai, justru itulah jadi senjata makan tuan. Permintaan maaf yang dimaksud oleh ibu Supriyani malah menguatkan laporan orangtuanya bahwa ibu Supriyani dianggap memang benar melakukan perbuatan penganiayaan terhadap anak polisi tersebut.
Bahkan pihak keluarga hingga menjadi-jadi. Dikabarkan dari hasil mediasi yang dilakukan hingga sebanyak lima kali itu, ibu Supriyani harus membayar uang ganti rugi sebanyak 50 juta rupiah dan harus mundur dari jabatannya sebagai guru di SD Negeri 4 Baito, Desa Wonuo Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Sungguh tragis bukan? Diam-diam polisi memproses masalah lebih lanjut hingga bulan Juli 2024, setelah gelar perkara, kasus ibu Supriyani ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan.
Tanggal 17 Oktober 2024, berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Andoolo, dan Supriyani ditetapkan sebagai tersangka serta langsung ditahan. Suaminya disuruh pulang, bisa dibayangkan bukan bagaimana kondisi anak dan suami di rumah? Lagi-lagi yang namanya oknum polisi bertidak arogan dan memang kasus ini terkesan untuk dibuat untuk mencari untung dan merugikan pihak lain.
Bagaimana tidak? Ibu Supriyani diminta uang damai sebesar 50 juta rupiah dan mundur dari guru tenaga honorer sebagai kesepakatan damai. Bagaimana bisa? Sangat memilukan apa yang dirasakan oleh ibu Supriyani dan keluarga. Ini namanya 4S (susah lihat orang lain senang, senang lihat orang lain susah).
Orang Tua Harus Tau Tugas Pokok dan Fungsi Guru
Yang ada dibenak saya ketika membaca berita yang viral ini, dimana ibu Supriyani dipenjara karena menegur anak, adalah apakah memang orangtuanya anak ini tidak pernah sekolah? Tidak pernah selama dia sekolah ditegur gurunya? Apakah benar dia ini bersekolah dari SD hingga bisa sampai berpangkat Aipda? Perlu dipertanyakan ijazahnya, apakah legal atau tidak?
Kedua, apakah si orangtua anak ini tidak tau apa itu tugas pokok dan fungsi seorang guru? Mau honorer ataupun ASN atau PNS, semua guru itu mempunyai tugas pokok dan fungsi yang sama sesuai dengan Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018, pun dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bagaimana peraen dan fungsi seorang Guru dalam Pendidikan di Indonesia.
Jelas dikatakan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sementara, kata Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Jadi dari dua fakta diatas, maka saya pribadi tidak yakin ibu Supriyani tega melakukan perbuatan yang menganiaya anak didiknya, sebab ibu Supriyani sebagai Guru sudah memiliki syarat untuk menjadi Guru Profesional. Sudah dibekali ilmu-ilmu ataupun tindakan-tindakan pencegahan apabila menghadapi situasi ataupun kondisi anak-anak yang nakal.
Ibu Supriyani tentunya sudah memiliki pengalaman, sudah banyak makan 'asam-garam' dunia pendidikan. Sudah tau betul bagaimana menghadapi anak-anak, termasuk anak-anak yang nakal. Apakah tindakan menjewer anak yang nakal salah? Kalau tujuannya untuk mendidik anak, selaku guru yang profesional, menurut saya itu masih wajar. Bagaimana ketika dulu kita didik oleh guru kita?
Pengalaman saya, saya pernah ditampar, sewaktu SD karena ribut di barisan sewaktu pengarahan pas upacara bendera. Sewaktu saya mengadu kepada ibu saya sepulang sekolah, apa kata mamak saya? "Kalau kau memang ribut dibarisan, yah wajarlah kau ditampar, apa perlu saya tambahi lagi?" Kata ibu saya sambil mengambil sapu.
"Ngak Mak" ujar saya langsung lari keluar rumah. Bahkan sewaktu SMA di Seminari, saya pernah ditampar Bruder kala ketahuan makan goreng. Padahal satu kelas kami makan goreng seusai pelajaran olahraga, namun karena pas beliau buka pintu kelas, semuanya berhamburan duduk, hanya saya dan teman saya yang berdiri, karena tempat duduk kami di ujung kelas, terlambat lari ke tempat duduk.
Buder bertanya, "Apa kamu makan?" "Goreng Der", ucap saya. Namun Bruder yang terkenal galak itu menampar saya. Untung gorengnya nga berhamburan...he.he.he.
Tapi apakah pengalaman itu membuat saya sakit hati dan melapor ke orang tua? Tentu tidak. Saya jadikan itu pengalaman berharga. Dan apakah saya dendam lantas melampiaskan kemarahan itu kepada anak didik saya sekarang? Tidak, karena kita sudah hidup di zaman yang berbeda. Di era yang berbeda. Hukuman seperti itu tidak layak untuk diterapkan kembali.
Bahkan, sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, guru sekarang mendidik dan mengajar sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Setiap anak unik dan memiliki kodratnya masing-masing, jadi Guru juga harus mampu mengelola kelas dan saatnya melakukan segitiga restitusi ketika menjumpai anak yang bermasalah. Konsep segitiga restitusi ini adalah konsep pemulihan dalam diri murid, ketika murid melakukan kesalahan, dimana guru menggali kesadaran murid akan kesalahannya dan menyadari kesalahannya, serta memperbaiki kesalahan murid, sehingga murid sadar dan kembali ke kelompok mereka dengan karakter yang lebih baik lagi.
Dalam kasus yang dialami oleh ibu Supriyani ini mungkin, ibu ini kehilangan kontrol karena si anak mungkin bandalnya sudah melewati batas, karena bapaknya polisi, dan memang dalam banyak kasus anak nakal, biasanya menganggarkan / mengandalkan jabatan bapaknya atau keluarganya yang berpangkat, dengan maksud agar pihak sekolah, baik ibu/bapak guru atau korbannya merasa takut.
Dalam kehilangan kontrol ini, bisa juga karena kalut pikiran dengan banyaknya administrasi guru yang harus disiapkan, apalagi ibu Supriyani diketahui akan mengikuti pemberkasan Guru P3K, belum lagi urusan keluarga, belum lagi menghadapi anak-anaknya 30 siswa dengan tiga puluh tingkah lagku, termasuk tingkah anaknya si pak polisi ini.
Ya, bisa saja ibu Supriyani menjewer si anak dengan tujuan yang baik memberikan pelajaran etika dan moral, karena itu adalah salah satu tugas dan fungsi guru. Namun, tidak sampai melukai. Dicatat, tidak sampai melukai.
Jadi, baiknya orangtua harus dikasih paham dulu apa itu fungsi pokok dan tugas guru sebelum menyekolahkan anaknya, baik itu di negeri ataupun swasta, sehingga kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi.... Semoga!
Salam blogger persahabatan... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H