Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Modul 1.2: Nilai dan Peran Guru Penggerak, Membuat Trapesium Usia PGP Angkatan 10

26 September 2024   05:52 Diperbarui: 26 September 2024   06:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trapesium Usia  (dokpri)

Usai menyelesaikan Modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, maka otomatis kami disuguhkan untuk kembali menyelesaikan Modul 1.2 dengan tema Nilai dan Peran Guru Penggerak. Seperti biasa diawali dengan alur MERDEKA (Mulai dari Diri, Eksplorasi Konsep, Ruang Kolaborasi, Demonstrasi Kontekstual, Elaborasi Pemahaman, Koneksi Antar Materi, hingga Aksi Nyata).

Mulai dari Diri ini, CGP melaksanakan Tugas atau Kegiatan 1, menuliskan Refleksi Peristiwa Positif dan Negatif yang dialami dan membuat Trapesium Usia.

Dua peristiwa penting pada masa sekolah yang masih saya ingat sampai sekarang; satu peristiwa bernuansa positif dan satu lagi bernuansa negatif yang terkait relasi Saya dengan dengan guru pada rentan usia PAUD sampai sekolah menengah (4 -- 17) tahun.

Tugas 1. Refleksi

  • Peristiwa Positif dan Negatif

Pertama, Peristiwa Positif :

Masa sekolah, masa kenangan paling indah, apalagi di masa itu di masa Orde Baru, yang lahir di penghujung generasi X atau lahir di tahun 1980, pasti taulah bagaimana suka dan dukanya menjadi seorang pelajar di masa itu. Di kampung kami, belum ada yang namanya TK (Taman Kanak-Kanak), apalagi PAUD, yang ada masa itu langsung masuk ke Sekolah Dasar atau SD.

Masih ingat waktu itu, kita masih memakai lampu teplok saat belajar, sehingga hidung bisa saja berwarna hitam, karena saat belajar harus dekat lampu teplok agar huruf dan tulisan bisa terlihat dengan jelas. Listrik baru masuk desa di tahun 90-an.

Begitu banyak kenangan yang dapat diingat kembali dan semuanya sangat berkesan, beda jauh dengan masa kini. Masa itu disiplin sangat ketat, beda dengan sekarang. Waktu di SMP atau Sekolah Menengah Atas, kita semua diwajibkan mengikuti pembekalan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Itu kegiatan sangat berkesan dalam membangun rasa Nasionalisme dan Patriotisme.

Namun, dari sekian pengalaman berkesan, satu yang memotivasi diri dan membuat saya memiliki disiplin tinggi adalah belajar dari Guru Sejarah saya di SMP Kelas 1 & 2. Ketika itu beliau langsung membuat 'ujian mendadak', saya yang memang waktu itu suka membaca buku pelajaran Sejarah, tidak merasa takut untuk ujian.

Benar saja, dari sekian banyak siswa saya didaulat memiliki nilai tinggi dan diangkat beliau untuk jadi asistennya. Hal-hal seperti mengisi absen, mengoreksi hasil karya itu diserahkan kepada saya, memang beliau sudah membuat jawaban dan skor dari setiap jawaban. Itulah relasi dan pengalaman berharga yang saya dapat dari Bapak Guru Sejarah saya ketika di SMP. Beliau mengajarkan disiplin, memberikan tanggung jawab dan memotivasi saya untuk tekun belajar.

Kedua, Peristiwa Negatif :

Pengalaman adalah guru terbaik, pepatah itu tak lekang dari ingatan saya dan dengan pengalaman lah maka kita bisa belajar mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang dipetik untuk bahan pembelajaran dan mana yang perlu dikoreksi untuk masa yang akan datang.

Tentunya perjalanan hidup kita tidak selalu mulus, pasti ada positif dan negatifnya, demikian juga saat proses pembelajaran, selalu ada sisi positif dan negatif, ibarat kepingan mata uang.

Banyak pengalaman negatif yang tentunya menyertai perjalanan proses belajar saya mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Saya memilih pengalaman ketika kecebur ke dalam sumur yang lumayan dalam, ketika cuci muka dan kaki seusai main bola pelajaran Penjaskes.

Jadi waktu itu kejadiannya di les terakhir, dimana guru Penjaskes-nya memberikan kami waktu untuk bermain bola di lapangan sekolah. Waktu itu lapangan becek, namun namanya anak-anak, kami tetap bersemangat bermain bola. Tibalah waktunya akan pulang, maka ketika peluit dibunyikan tanda pertandingan selesai, maka kamipun berhamburan dan berebutan berlari ke belakang sekolah yang ada sumurnya.

Ketika berebutan itulah, saya terdorong dan tercebur ke dalam sumur yang katanya 1,5 meter dalamnya. Beruntung ada teman yang sigap langsung mengulurkan tali gayung yang cukup panjang dan saya meraihnya, mereka beramai-ramai menarik saya dari sumur. Kejadian itu sewaktu saya kelas 6 SD.

Akibat pengalaman itu, sampai sekarang saya 'agak takut' untuk berenang, ada trauma, ada phobia klo berenang. Harus dilihat dulu seberapa dalam kolam renang yang akan dimasuki, terbukti ketika di SMA ada praktik berenang, saya harus ikut ujian di kedalaman 2 meter. Saya tidak memberitahukan jika saya phobia di kedalaman 2 meter ke Guru Penjaskes dan benar saja, ketika ditengah saya merasakan sudah kehabisan nafas dan hampir tenggelam, beruntung Guru Penjaskes langsung melihat dan menarik saya dari kolam ke tepi.

Selain saya, orang-orang yang terlibat di dalam masing-masing peristiwa tersebut :

Peristiwa Positif :

Orang tua saya (selalu memberikan motivasi dan semangat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan guru)

Teman-teman sekelas dengan saya di kelas 1C dan 2C.

Bapak Guru Sejarah

Kepala Sekolah

Bapak dan Ibu Guru di SMP

Peristiwa Negatif :

Teman-teman saya di kelas 6

Guru mata pelajaran Penjaskes

Dampak emosi yang saya rasakan hingga sekarang (Menggunakan roda emosi Plutchik) :

Dampak Emosi Kejadian Positif :

Munculnya sikap menerima tugas dan tanggung jawab dan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh;

Munculnya rasa percaya diri dan optimis dalam hati bahwa sanggup menyelesaikan tugas dengan baik;

Mendorong munculnya semangat belajar dengan hal-hal baru;

Berusaha memberikan yang terbaik.

Dampak Emosi Kejadian Negatif :

Menjadi phobia terhadap kolam renang dan sungai;

Menjadi pemalu;

Menjadi takut jika diajak ke sumur lagi;

Tertekan.

Momen yang terjadi di masa sekolah masih dapat saya rasakan karena momen tersebut memberikan pembelajaran berharga bagi saya, dimana di momen positif, Guru Sejarah saya memberikan saya tanggung jawab, belajar hal baru, menilai karya atau hasil ujian teman-teman adalah sebuah kebanggaan tersendiri, apalagi menjadi asisten guru di usia muda. Sehingga saya belajar memberikan yang terbaik. Saya rela untuk tidak tidur cepat agar dapat menyelesaikan menilai dan memasukkan nilai ke dalam lembar nilai untuk diserahkan keesokan harinya kepada Guru Sejarah tersebut. Momen untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu itu, terpelihara hingga sekarang.

Pelajaran Hidup yang saya peroleh dari kegiatan Trapesium Usia dan Roda Emosi terkait peran saya sebagai guru terhadap Peserta Didik saya, adalah : Bahwa saya (Bisa menjadi Guru) akhirnya dapat membuktikan bahwa saya ternyata menjadi Guru. Tidak sia-sia ketika saya diajarkan oleh Guru Sejarah untuk menilai dan tanggung jawab lainnya sebagai guru, ternyata saya jadi Guru. Guru harus dapat mengelola emosi dengan baik. Tidak membawa masalah keluarga ke sekolah, dan selalu memberikan excellent service kepada peserta didik karena hal tersebut akan terekam dengan sangat kuat oleh mereka. Memberikan ruang dan kesempatan kepada siswa untuk terus mengeksplorasi potensi, kreativitas, dan inovasi untuk mencapai tujuan.

Guru, Murid, Belajar, Makna, dan Peran

Peran dan Insting Guru sangat berperan dalam keberhasilan Belajar Murid yang Bermakna.

Tugas 2. Nilai dan peran Guru Penggerak Menurut Saya.

Nilai-nilai dalam diri saya yang membantu saya menggerakkan murid, rekan guru, dan komunitas sekolah saya : Nilai dan Peran Guru Penggerak, Diagram Trapesium Usia, Roda Emosi

Bagaimana momen yang terjadi di masa sekolah dapat melekat erat di dalam ingatan, bahkan memengaruhi diri di masa sekarang

Di dalam modul 1.2 ini, CGP diberikan ruang dan waktu untuk dapat belajar dan mengeksplorasi mengenai Nilai dan Peran Guru Penggerak. Pada modul ini, kita diajak untuk membuat sebuah diagram trapwsium usia, kemudian menjawab beberapa pertanyaan mengenai diri sendiri tentang momen di masa sekolah yang masih dapat kita rasakan.

Masa-masa sekolah adalah masa yang selalu akan menjadi kenangan yang sangat indah. Baik itu untuk kenangan negatif, maupun yang positif. Kejadian memalukan, menyenangkan, haru, kecewa, hamper semua rasa dapat kita rasakan.

Tentu saja hal tersebut menjadi hal yang penuh makna karena dari keseluruhan kejadian tersebut, kita dapat mengambil hikmah, untuk selanjutnya dapat dijadikan cermin dan pelajaran yang sangat berharga bagi kehidupan kita. Kini, dan masa yang akan datang.

Mengenang sesuatu, baik yang psoitif maupun yang negative tentu menjadi sesuatu yang penting, karena dari keduanya dapat kita lihat dari kaca mata kedewasaan, sehingga kita akan menjadi lebih bijak di dalam berpikir dan bertindak.

Di diagram trapezium umur, saya menuliskan umur 14 tahun merupakan kenangan yang membuat saya tidak pernah mampu melupakan saat-saat tersebut. Walaupun sudah 34 tahun yang lalu kejadiannya, namun kenangan tersebut enggan enyah dari memori.

Ya, di usia tersebut, saya sudah menduduki kelas 2 di sekolah menengah pertama. Yang membuat saya selalu bersedih di fase tersebut adalah karena ada seorang guru yang selalu membanding-bandingkan saya dengan kakak saya yang walaupun umurnya terpaut 2 tahun, namun sekolah hanya selisih satu tahun. Ya, kakak saya memang pintar, dia selain cantik, selalu juara kelas.

Namun saya, selain wajah pas-pasan, nilai akademik saya jauh sekali dengan kakak saya. Sehingga, Ketika nilai akademik jauh, ditambah dengan paras yang berbeda dari kakak-kakak yang lain, lengkap sudah penderitaan saya saat itu. Setiap hari saya merasa tertekan, dan hidup di bawah bayang-bayang kakak saya.

Perlakuan guru yang membuat saya sebal tersebut, bukannya semakin menipis, malah semakin menjadi-jadi karena saya tidak mampu memberikan kepuasan nilai yang dia inginkan. (guru tersebut mengajar matematika). Hampir setiap pelajarannya, guru tersebut seakan menekan dan selalu berbicara akan "keanehan" saya tersebut.

Dia menganggap saya aneh karena berbeda dengan kakak saya. Karena saya merasa tidak nyaman dan tertekan, akhirnya rangking saya pun anjlok. Padahal di SD saya hamper selalu rangking pertama. Di SMP, saya selalu menempati 10 besar rangking terakhir.

Anehnya, saya tidak pernah mengeluh kepada siapapun, termasuk kepada orang tua sendiri. Dan saya tidak pernah mengucap sekalipun untu mau pindah dari sekolah favorit tersebut. Saya hanya mampu menjalani dengan hati yang berat hingga akhirnya saya dapat lulus juga dari sekolah menengah pertama tersebut.

Memang terbukti, Ketika saya keluar dari sekolah tersebut, dan saya masuk ke sebuah SMA (dan lagi-lagi saya satu sekolahan dengan kakak saya, si Bintang Kelas), saya sama sekali tidak merasa tertekan. DI SMA, saya merasa keluar dari guru yang toxic.

Saya betul-betul menemukan jati diri saya sehingga ketika menjalani pelajaran pun, jadi lebih ringan dan semakin bersemangat. Apalagi ada seorang guru Bahasa Indonesia yang saya pandang sangat unik, nyeleneh, namun mampu membuat peserta didik menjadi terpesona.

Dia mengajar dengan ciri khasnya, serius tapi santai. Penuh canda tapi ppeserta didik tidak ada yang berani songong terhadapnya. Hingga saya semakin terpikat dan mmengikuti jejak beliau untuk memperdalam Bahasa Indonesia.

Di SMA, aura saya menjadi terang, bahkan berhasil mendapatkan nilai terbaik, di samping selalu menduduki 5 besar rangking di kelas. Saya bangga kepada guru motivator saya, dan hingga saat ini, saya akan terus mengenang jasa beliau yang telah mengembalikan kepercayaan diri saya di sekolah.

Peran Guru dalam Trapesium Usia

Saya artikan secara lebih luas bahwa guru di dalam trapezium usia adalah orang tua, guru di sekolah, guru mengaji, para dosen yang telah mendidik dan menuntun saya. Diagram trapezium usia memperlihatkan keterhubungan dan pengaruh dari guru-guru yang saya sebutkan di atas.

Saya menjadi guru, karena keluarga besar saya adalah memang guru. Ibu saya kepala sekolah dasar, ayah saya guru SPG/SMA, dan semua kakak-kakak saya juga guru. Karakter para guru yang saya dapatkan mulai dari sekolah TK hingga saya kuliah, sangat memengaruhi dan memberikan andil yang sangat besar di dalam bagaimana saya berperan sebagai pendidik.

Banyak juga sisi seorang guru favorit kemudian menjelma di dalam diri saya, sehingga saya pun cenderung melakukan hal yang sama di dalam kelas, seperti halnya guru Bahasa Indonesia saya zaman SMA. Nama guru saya tersebut adalah Bapak Edi.Beliau sangat dekat dengan murid, namun kedekatan tersebut tidak membuat kami menjadi lancing. Itu yang membuatnya berbeda dan memiliki pesona dan aura postitif di mata anak didik.

Sampai jumpa di modul berikutnya....Salam & Bahagia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun