Bicara tentang politik memang sungguh sangat menarik diperbincangkan, apalagi ajang lima tahunan seperti Pemilu yang akan diselenggarakan dalam hitungan bulan ini kembali menghangatkan suasana publik di tanah air dengan tiga pasangan calon yang akan bertarung memperebutkan Kursi Republik Indonesia yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Memperbincangkan Pilplres memang sangat menarik dan membuat kalah topik-topik perbincangan lain, semisal topik pembicaraan tentang pendidikan, tentang sepakbola, bahkan kasus selebritis pun lewat kalau sudah menjelang Pilpres, apalagi kalau sudah memasuki fase Debat Capres tahap ketiga dengan tema debat "Memperbincangkan tentang Pertahanan, Keamanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional".
Makin dekat hari H Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, semua pada 'omongin' tentang peluang siapa pemenang dan siapa kembali jadi pecundang.
Semalam, ketika saya singgah di sebuah Cafe untuk makan siang, saya bertemu dengan para pakar politik-politik, bahkan ada seorang figur calon wakil rakyat yang harus ganti bendera, alias pindah partai politik hanya untuk mendapatkan kemenangan di Pemilu 2024 yang akan dilangsungkan 14 Februari nanti fokus untuk memilih anggota parlemen yang akan duduk di kursi DPR dan tentunya memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan dari Presiden Jokowi.
Tidak Pantas Bicara Etika
Dalam perbincangan di cafe tersebut, salah seorang figur yang pernah duduk di DPRD Kota Medan tersebut yang kini sudah berganti labuhan, bercerita bagaimana peluang para capres dan cawapres.
Bagaimana partai harus banyak terpecah kader di dalamnya karena beda pilihan, bahkan harus rela bermain safety atau aman dengan mendukung salah satu paslon yang didukung partai, walaupun kenyataannya harus bertentangan dengan hati nurani mereka.
Keberadaan seorang anak muda yang masih muda belia, membuat para calon-calon legislatif itu yang rata-rata berumur sudah 60 tahun keatas hanya bisa geleng-geleng kepala dengan segudang isi hati yang sulit kita tebak isinya, apakaah benar-benar mendukung dari lubuk hati yang paling dalam? Ataukah sekedar cari aman agar juga terpilih nantinya? Entahlah, hanya mereka dan sang penciptanya lah yang tau...
Saya yang berada di belakang mereka, sambil makan siang ditemani segelas jus buah naga hanya bisa menyimak dan memasang telinga lebih tajam lagi, karena mereka berempat berbicara juga seakan-akan cari aman, ada rasa ketakutan dengan 'dinding yang bisa mendengar, plus bercerita ke orang lain'.
Pembicaraan mereka sangat menarik, sampai-sampai saya harus menunda waktu untuk cepat-cepat bayar biling makanan, karena penasaran dengan situasi politik, terlebih dengan situasi di tubuh-tubuh partai pendukung salah satu pasangan calon.