Banyak kasus ageisme menjadi sebuah dilema dan menjadi perdebatan, contoh paling nyata mungkin umur pensiun bagi guru yang berumur 60 tahun.
Bagi guru yang sudah menganggap dirinya memang sudah saatnya pensiun tidak mempermasalahkan ini, namun bagi guru yang masih menganggap dirinya kuat dan mampu berkarya, malah meminta agar tetap diberdayakan dan tetap mengajar, walau sudah memasuki usia pensiun.
Ageisme ini juga terjadi diberbagai bidang kehidupan kita, contohnya dalam dunia kesehatan.
Seseorang mungkin diabaikan dalam pelayanan kesehatan berdasarkan usia mereka, misalnya, dianggap bahwa mereka tidak perlu perawatan intensif karena usia mereka.
Ada juga kasus paling tidak mengenakkan, dimana dalam sebuah diskusi terkadang suara orangtua tidak didengar lagi, padahal dari segi umur, kita yang muda ini harusnya mendengar ketika mereka memberikan masukan atau ketika mereka berbicara.
Namun ada juga alasan mengapa mereka -- orang yang merasa dituakan -- tidak didengar perkataannya, karena apa yang mereka ucapkan tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang. Bahkan ada juga orangtua yang kerjanya ketika ada pertemuan dengan orang-orang muda, kerja mereka protes dan protes, sehingga terkadang apa yang mereka ucapkan selalu bertentangan dan tidak didengar.
Terkadang, ageisme memang kerap kali menjadi masalah serius yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial seseorang.
Memang penting untuk memahami dan menghormati hak dan martabat setiap individu, tanpa memandang usia mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H