Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlunya Kurikulum Mitigasi Bencana, Solusi Mendidik Generasi Muda Siap Siaga Hadapi Bencana

15 Januari 2022   17:18 Diperbarui: 15 Januari 2022   17:24 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang optimis serta bangsa yang tangguh dalam menghadapi bahaya yang mengancam. Bukti nyatanya adalah kemerdekaan yang kita raih dengan mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini hanya dengan bermodalkan bambu runcing dan semangat pantang menyerah, serta tekad yang kuat.

Ketangguhan dan optimis itu juga dibuktikan dengan tidak gentar untuk mendiami dan hidup serta mencintai tanah kelahirannya walau ancaman bencana setiap waktu mengancam kehidupan rakyat Indonesia yang hidup di daerah-daerah rawan gempa. Kearifan dan pengetahuan lokal, serta pengalaman dalam membaca situasi, kondisi alam, serta memprediksi, terutama dalam melakukan mitigasi bencana di daerahnya setidaknya telah mampu menyelamatkan nyawa dari bencana yang datangnya kapan saja.

Pengetahuan lokal tersebut diperoleh dari pengalaman akibat berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, di Jawa Tengah, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Selain masih kuatnya keyakinan spiritual, masyarakat di sana biasanya membaca tanda-tanda alam melalui perilaku hewan, seperti turunnya hewan-hewan dari puncak atau keluar dari rimbun hutan, burung-burung atau hewan lainnya mengeluarkan bunyi suara yang tidak biasa, atau adanya pohon-pohon di sekeliling kawah yang kering dan layu.

Namun, seiring perkembangan waktu pun dengan percepatan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, kearifan lokal dalam menghadapi bencana juga harus diperkuat dengan kemampuan memanfaatkan perkembangan teknologi, terutama pengetahuan akan teknik geodesi dan perangkat teknologi pendeteksi, hingga pencegahan bencana alam.

Kurikulum Mitigasi Bencana

Sudah banyak contoh akibat kelalaian dan ketidakmampuan membaca gejala-gejala alam, mengakibatkan bencana bencana alam. Belum lagi akibat dari kurangnya kesadaran dalam menjaga alam sekitar, mengakibatkan alam marah dan menimbulkan bencana yang super cepat tanpa kita sadari.

Masih segar dalam ingatan, ketika band kenamaan Indonesia, Seventeen konser di Pantai Tanjung Lesung, 22 Desember 2018, tiba-tiba tsunami Banten melanda yang mengakibatkan korban jiwa tidak sedikit. Tidak ada yang mengira bahwa malam naas itu, tiba-tiba air laut naik dan langsung menghantam sekitaran panggung, pun rumah-rumah sekitar lokasi porak-poranda akibat bencana tsunami tersebut.

Kini kejadian serupa terulang lagi. Tiba-tiba saja kita semua dikejutkan di awal tahun 2022 ini dengan guncangan gempa bumi melanda Banten dan sekitarnya. Gempa berkekuatan 6,7 skala richter (SR) mengguncang 52 kilometer barat daya Sumur, Banten sekitar pukul 16:05:41. Guncangan ini setidaknya mengakibatkan 1.100 rumah dan 14 Faskes rusak parah. Getaran gempa bumi dilaporkan terasa sampai ke Depok, Jakarta, Bogor, Bandung, Tasikmalaya, hingga Bandarlampung.

Awal-awal tahun memang sudah menjadi kebiasaan akan terjadinya gempa, untuk itu kita diharapkan untuk lebih waspada, terutama di daerah-daerah rawan gempa. Selain di Banten, dilaporkan juga awal tahun ini Gempa Magnitudo 4,1 guncang Madura hingga terasa sampai ke Surabaya.

Kepala Stasiun Geofisika BMKG Tretes, Kabupaten Pasuruan, Djati Cipto Kuncoro, melaporkan gempa terjadi pukul 15.18 WIB. Lokasi gempa tercatat 7.25 Lintang Selatan, 112.9 Bujur Timur. Atau 23 kilometer sisi Tenggara Bangkalan.

Ini menjadi pembelajaran bagi kita bahwa kita harus waspada dan selalu siap untuk selamat dengan menghindari tempat-tempat yang berpotensi munculnya bencana alam.

Dan sudah sepatutnya, pendidikan mitigasi bencana harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sehingga seluruh elemen bangsa memiliki Budaya Sadar Bencana dan juga apa saja yang harus dilakukan saat terjadinya gempa, sehingga memiliki kesiap-siagaan menghadapi bencana dan siap untuk selamat.

Budaya sadar bencana akan tercipta apabila pendidikan mitigasi bencana dapat terealisasi dengan baik, pun dengan terwujudnya kolaborasi antara budaya lokal atau kearifan lokal dalam membaca gejala alam plus penerapan teknologi sebagai wahana untuk meningkatkan kesiapsiagaan melalui deteksi dini datangnya bencana alam.

Lalu kearifan lokal sangat berperan sebagai penggerak laju masyarakat di sekitar lokasi bencana dalam menghadapi bencana sehingga masyarakat sekitar mampu mengenali bahayanya, sehingga mengurangi resikonya.

Badan Nasional Penangulangan Bencana mencatat, 95 persen bencana di Indonesia adalah bencana ekologis, seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan.

Oleh karena itu sangat diharapkan tidak hanya fokus pada penyelamatan korban, tetapi juga harus melakukan mitigasi dan pencegahan bencana alam, tentunya dengan mendesak agar masuknya pendidikan mitigasi bencana pada Kurikulum Pendidikan Nasional, sehingga terjalin budaya Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita lewat perilaku dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak membakar sampah, mendaur ulang sampah, hingga mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup kita.

Agama sebagai basis moral dan etika juga harus tetap menyerukan agar umat manusia menjaga lingkungan hidupnya. Pihak LPBI NU pada tahun 2010 telah menerbitkan buku adaptasi pada perubahan iklim dari perspektif Islam.

Pun Gereja Katolik menyerukan pertobatan ekologis, dimana dalam seruan itu agar manusia tidak hanya berbuat baik dengan sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan. Saat bertobat, manusia membuka hati kepada Tuhan.

Pertobatan ekologis jadi pintu untuk kembali terhubung dengan Tuhan sebab dunia seisinya, lingkungan hidup dengan satwa dan tumbuhan, adalah hasil karya Tuhan (Kejadian 1:31). Sehingga dengan menjaga alam sekitar kita, maka kita harus Siap Untuk Selamat!

Kerusakan lingkungan bisa menghancurkan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Agama bisa membangkitkan kesadaran moral dan etika bagi umat manusia untuk menjaga lingkungan.

Pendidikan seharusnya dilibatkan dalam upaya menjaga eksistensi lingkungan sehingga eksistensi suatu negara juga terjaga kelangsungan hidupnya. Sebab, kelangsungan sebuah bangsa tergantung bagaimana bangsa itu mengelola sampah, mengelola lingkungannya.

Namun, lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa seruan dari pemuka dan pemimpin agama belum nyata menyentuh pada kelompok bisnis, kelompok pelaku industri sebagai pihak perusak lingkungan hidup.

Fakta ini terungkap ketika Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Doni Monardo pernah mengatakan bahwa penyebab Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan), 99% adalah ulah manusia yang serakah yang ingin membakar hutan untuk dijadikan lahan. Dari 99% hutan terbakar, 80% nantinya akan menjadi lahan baru.

Inilah pekerjaan rumah terbesar Indonesia saat ini. Kita dihebohkan dengan kebakaran-kebakaran hutan yang ternyata dibuat oleh penduduk kita sendiri, sehingga menjadi sebuah urgensi agar pendidikan formal maupun informal tentang kebencanaan harus digalakkan untuk menyadarkan bahwa sepatutnya Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita!

Tanpa perubahan perilaku dari para pelaku industri, upaya penyelamatan bumi menjadi pertarungan tak seimbang. Ketika komunitas menanam 1000 pohon, pada saat yang sama sebuah perusahaan membabat pohon di area seluas lapangan sepak bola.

Agama bisa menjadi alat terakhir untuk membangkitkan kesadaran moral dan etika bagi umat manusia. Sungguh ironi: manusia adalah penghancur sekaligus pembangun keberlanjutan dan keutuhan ciptaan-bumi seisinya. Sebuah pekerjaan rumah tak mudah karena akan jadi proses menyakitkan. Kita perlu meningkatkan seruan moral kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun