Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Permendikbudristek PPKS Nomor 30/2021, Demi Masa Depan Kampus Tanpa Kekerasan Seksual

16 November 2021   11:05 Diperbarui: 16 November 2021   11:23 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya punya tiga puteri, yang paling tua masih umur empat tahun, saya selalu punya bayangan bahwa dalam sepuluh tahun lagi mereka akan menanyakan saya, 'Bapak, ngapain sih buat melindungi kita waktu jadi menteri?' dan permen ini akan menjadi jawaban saya kepada anak-anak puteri saya, bahwa saya telah melakukan apapun yang bisa saya lakukan, untuk melindungi mereka dan generasi muda kita ke depan". Itulah alasan mengapa Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim harus membuat dan mengaplikasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus.

Tidak dapat dipungkiri, realita banyaknya korban kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi sorotan yang harus diberantas, diawali dengan diterbitkannya Permendikbud Ristek yang memang secara spesifik dan bisa menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di kampus untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya.

Selama ini kita melihat bahwa banyak korban kekerasan seksual tidak berani berbicara karena memang tidak ada payung hukum dan peraturan yang spesifik yang bisa menjadi pegangan korban untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen, pembimbing maupun civitas kampus kepada mahasiswanya.

Terungkap, pengakuan seorang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau (UNRI) mengalami pelecehan seksual ketika sedang melakukan bimbingan proposal skripsi.

Dan ketika si mahasiswa ini meminta bantuan kepada salah satu dosen di jurusannya untuk membantunya melaporkan si dosen pelaku ke Ketua Jurusannya dan minta pergantian pembimbing proposal, apa yang terjadi?

Mahasiswa tersebut malah diintimidasi dan ditertawakan oleh pihak jurusannya. Mereka bahkan melarang mahasiswa tersebut untuk speak up atas pelecehan yang dia terima. Sepenggal pahit yang harus diterima oleh korban pelecehan seksual akibat abu-abunya payung hukum di negeri ini atas perlakuan pelecehan seksual yang makin marak di kampus-kampus.

Apakah hanya mahasiswa UNRI itu yang jadi korban pelecehan seksual? Tidak, pasti sangat banyak. Itu dibuktikan oleh hasil survei didapat langsung oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi di tahun 2020, hasilnya? 77 persen dari dosen yang disurvei menyatakan bahwa kekerasan seksual itu pernah terjadi di kampus. Yang perlu digarisbawahi ini adalah pernyataan dosen itu sendiri, bukan mahasiswa.

Artinya, ada fenomena gunung es yang makin menjulang tinggi apabila undang-undang ini tidak direalisasikan, tidak diaplikasikan dalam kehidupan kampus sebagai payung hukum untuk melindungi generasi muda kita yang bakal mengecap pendidikan di kampus nantinya.     

Padahal, melindungi semua anak-anak kita disetiap Institusi Pendidikan adalah tugas kita bersama untuk menciptakan suasana belajar dan mengajar yang kondusif di setiap tingkat atau jenjang pendidikan.

Mendukung Permendikbudristek PPKS No 30 Tahun 2020 Demi Masa Depan Generasi Bangsa

Ketika menonton kembali Mas Nadiem Makarim menceritakan bagaimana urgensinya kehadiran dan penerapan Permendikbudristek sebagai payung hukum pencegahan kekerasan seksual di dunia pendidikan, dunia kampus umumnya, saya merasa tersentuh ketika beliau berkata memiliki tiga puteri yang bakal akan kuliah di kampus.

Nah, begitu juga bayangan kita bukan? Bagaimana nantinya setelah Permendikbudristek ini diterapkan, sangat berharap kampus aman dari pelecehan seksual, mengapa? Setidaknya para predator seksual di kampus akan berpikir dua kali untuk melancarkan aksinya.

Peraturan tegas seperti pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi oase di tengah kondisi dunia kampus yang sudah darurat kekerasan seksual.

Bukan main-main, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dalam 5 tahun terakhir terdapat 51 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Dua puluh tujuh persen di antaranya terjadi di dalam kampus atau perguruan tinggi. Angka tersebut dipercaya bukan angka sebenarnya, karena banyak korban atau saksi yang enggan melaporkan kejadian kekerasan seksual tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang yang aman dari kekerasan seksual.

Selain menjadi payung hukum, juga sangat membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika. Sebab, ini adalah aturan dan kode etik yang tepat mengenai pencegahan dan penangangan kekerasan seksual, selain penting melindungi korban, juga penting untuk membangun kultur akademik yang sehat, beradab, setara, dan adil.

Lantas mengapa saya mendukung Permendikbudristek ini? Karena memang tujuan jelas untuk menghalau segala tindakan asusila, termasuk kekerasan seksual yang semakin memuncak bagaikan gunung es.

Korban yang selama ini diam, takut dan tidak berani menyuarakan yang terjadi pada dirinya? Dengan adanya aturan ini, maka diharapkan kedepannya masalah pelecehan seksual di kampus tidak terjadi lagi dengan Permendikbudristek No. 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi yang mengatur pencegahan kasus, penanganan kasus, dan pemulihan korban.

Karena setelah ditelusuri, beberapa Undang-Undang yang mengatur kekerasan seksual, tetapi tidak ada yang spesifik ditujukan bagi lingkungan perguruan tinggi atau dunia pendidikan kita. Contoh, Undang-Undang Perlindungan Anak, ditujukan bagi anak di bawah usia 18 tahun dan Undang-Undang KDRT yang lingkupnya hanya ditujukan untuk kekerasan di lingkungan rumah tangga saja.

Bahkan, aturan ini bisa menjerat kasus kekerasan seksual berbasis online yang tidak tertuang dalam KUHP, sehingga korban yang mengalami kekerasan seksual secara digital maupun langsung dampak psikologisnya sama, maka dalam aturan ini sudah jelas bisa menjerat pelaku kekerasan seksual verbal non fisik dan secara digital dapat ditangani dengan baik.

Harapan kita bersama tentunya ke depan generasi muda kita bisa mendapatkan akses pendidikan yang aman, nyaman dan bebas dari predator saat belajar di kampus. Plus adanya kepastian hukum apabila masih terjadi kekerasan seksual di perguruan tinggi kita di negeri ini.

Inilah alasan mengapa seorang Mas Nadiem Makarim menjabat Mendikbudristek yang tanpa tekanan, langsung mengaplikasikan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dan juga langsung memberikan ancaman bagi kampus yang menolak menjalankan aturan ini.

Dan itu pula mungkin yang menjadikan banyak yang menolak dengan membuat narasi-narasi jelek, bahkan memfitnah Mas Menteri dengan mengatakan bahwa Permendikbudristek PPKS melegalkan zina, padahal jelas dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 melarang perbuatan asusila di lingkungan pendidikan. Jadi jelas bahwa Permendikbudristek ini adalah payung hukum untuk masa depan Generasi Muda Indonesia mendapatkan pendidikan di kampus yang aman dan nyaman...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun