Selama hidupnya, Usmar Ismail sukses menghasilkan 25 judul film dan wafat di Jakarta, 2 Januari 1971 yang menjadi tonggak sejarah berkembangnya dunia perfilman di Indonesia sejak Orde Baru. Setelah era Usmar Ismail dan Djamaludin Malik, maka tahun 80-an hingga tahun 90-an muncul produser dan sutradara yang melanjutkan film revolusi yang dicanangkan oleh Usmar.Â
Sebut saja film Teguh Karya yang berjudul November 1928, maupun film Eros Djarot, Cut Nyak Dien, kemudian disusul dengan kemunculan film-film bergenre komedi yang dibawakan oleh grup lawak lengedaris Warkop DKI yang menorehkan cita rasa baru dalam lika-liku perfilman tanah air.
Lalu muncul juga genre horor yang sungguh laris manis dijual dengan bintang filmnya Suzanna. Lalu muncul juga film-film berjenis fantasi sejarah yang menemani generasi 80 dan 90-an. Semua film-film tersebut membuktikan bahwa film adalah sarana mengembangkan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang mampu menarik minat generasi bangsa Indonesia dari tahun ke tahun.
Film Soekarno, Jenderal Soedirman, Soegija, Sang Kiai (Revolusi 1945), Merah Putih, Pendekar Tongkat Emas, Laskar Pelangi, The Raid, hingga sekarang muncul Gundala, merupakan film Indonesia yang sukses di pasar Internasional, walau kenyataannya film Indonesia masih jauh berada diantara bayang-bayang film asing.
Namun, sekarang film-film kita sekarang sudah keluar dari jalurnya. Jangankan film, sinetron-sinetron yang menjadi tontonan anak-anak di masa pandemi global covid-19 yang belum berkesudahan ini, siaran-siaran televisi kita masih didominasi oleh kisah-kisah percintaan, kisah-kisah cerita keluarga yang kaya, yang kegiatannya percintaan, makan rame-rame, cerita kekayaan dan jauh dari idealisme yang ditunjukkan oleh Usmar Ismail.
Cerita kisah film kita masih seputar percintaan dan didominasi oleh cerita-cerita horor. Padahal, saya pribadi sangat mendambakan adanya film-film perjuangan kita yang menggambarkan kisah kepahlawanan dari para pahlawan kita yang begitu banyak. Contohnya, bagaimana agar kisah perjuangan Sisingamangaraja XII bisa menjadi film yang sukses sesuksesnya film Cut Nyak Dien, dengan 9 piala Citra dan tayang di Festival Film Cannes 1989, dan nominasi Academy Awards ke-62 tahun 1990.
Sudah saatnya film Indonesia kembali banyak merestorasi film-film eranya Usmar Ismail atau membangkitkan gairah menonton generasi muda dengan film-film perjuangan. Kenapa India bisa sukses menghidupkan perfilman mereka ditengah dominasi Hollywood dengan membangun Bollywood yang mampu memproduksi film-film berkualitas Hollywood? Memang terkesan membosankan, namun film-film India mampu meramu cerita perjuangan dengan kisah cinta yang penuh epik dan menggugah?
Pun dengan Nigeria, negeri yang penuh konfilk mampu membangun industri film dengan mendirikan Nollywood yang mampu menerobos pasar film dunia. Semoga ke depannya, kita bisa menciptakan film-film perjuangan dengan rasa Nusantara, dimana dalam film tersebut kita menampilkan pahlawan-pahlawan Bangsa kita menang melawan penjajah. Keren bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H