Sejarah panjang dunia perfilman Indonesia tidak bisa terlepas dari jasa-jasa sosok Usmar Ismail. Ya, darah Indonesia yang kental dan melekat pada dirinya membuat dia bertekad untuk berjuang demi pembebasan Indonesia dari belenggu penjajah lewat karya seni film yang menampilkan wajah, budaya dan perjuangan Indonesia asli di mata dunia.Â
Usmar Ismail yang memang memiliki jiwa seni dan sastra sejak kecil ini, terutama dalam dunia peran serta bakat sebagai sutradara film membawa Usmar Ismail terjun ke dunia film dan menghasilkan karya-karya yang tidak akan lekang oleh waktu dan dapat kita nikmati hingga sekarang.
Sejarah panjang dunia film kita dimulai sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda tahun 1900-an. Film pertama kala itu diproduksi oleh Java Film Coy yang didirikan oleh duo Belanda, L. Heuveldrop dan G. Kruger di Bandung yang berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang merupakan adaptasi dari cerita rakyat Sunda yang sangat melegenda.Â
Film inilah yang dipercaya sebagai tonggak sejarah lahirnya dunia perfilman di Indonesia. Setelah itu, tahun 1927 muncul film berjudul Eulis Atjih, yang menceritakan tentang istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang suka foya-foya.
Tahun-tahun berikutnya, bermunculan studio-studio film yang didominasi oleh orang-orang Belanda dan Cina. Halimun Film, misalnya adalah studio film ciptaan dari orang Cina bersaudara.Â
Mereka memproduksi film berjudul Lily Van Java (1928), walau tidak sukses film-film lain bermunculan, sebut saja Resia Borobudur, dan Berloemoer Darah (1928)Â telah membuktikan bahwa film sudah menjadi tontonan yang menarik, walau zaman itu film tidak bersuara, alias bisu karena peralatan audio-visual belum secanggih sekarang. Â
Nyai Dasima (1931) adalah film berbicara pertama yang sukses diproduksi ulang oleh Tan's Film, berlanjut tahun 1937 setelah mengalami pasang surut, Balink mendirikan studio film modern di daerah Polonia Batavia yang bernama ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat) yang sukses memproduksi film Terang Boelan/Het Eilan der Droomen (1937), film dengan alur cerita yang sederhana diadopsi dari film Holywood ini cukup sukses secara komersial, terbukti karena distribusi filmnya sampai ke Singapura.
Itulah awal film populer Indonesia zaman itu, ada Alang-alang (1939) dan Rentjong Atjeh (1940) semakin menambah daftar film Indonesia yang berkualitas. Di tahun itu juga kaum pribumi diberi kesempatan untuk menjadi sutradara, ataupun pelatih akting dan dialog. Ketika Jepang berkuasa, dunia film kita mati suri.Â
Jepang lebih banyak memproduksi film-film dokumentar yang berisi tentang perjuangan Jepang sebagai media propaganda. Satu-satunya film yang diproduksi adalah Berdjoang (1943) yang disutradarai oleh orang pribumi bernama Rd. Arifin, namun tetap didampingi oleh sutradara Jepang bernama Bunjin Kurata.
Djauh Dimata (1948) dan Gadis Desa (1948) adalah film produksi Multi Film hasil arahan Andjar Asmara. Tahun 1949, para produser Cina lama datang lagi dan memproduksi film berjudul Air Mata Mengalir Di Tjitarum (1949), disinilah mulai muncul Usmar Ismail yang bakal melegenda dengan film-film hasil karya beliau yang mampu menampilkan wajah Indonesia asli.
Tahun 1950, Usmar Ismail mulai bekerja mewujudkan film-film berkualitas. Pertama, ia merevolusi tema. Kalau semenjak tahun 1900-an film Indonesia banyak bercerita tentang dongeng, maka Usmar mengangkat tema filmnya tentang realitas sosial dengan segala ironinya. Kedua, merevolusi orientasi.Â
Kalau selama ini film semata untuk hiburan, maka Usmar Ismail menjadikan film sebagai sarana perjuangan dan pembentukan karakter bangsa. Ketiga, revolusi penguasaan. Kalau selama ini pasar film Nasional dikuasai oleh asing, maka Usmar Ismail dan kawan-kawan mampu membalikkan situasi, menggeser pasar asing dan menempatkan film nasional sebagai tuan di negeri sendiri.
Usmar Ismail memanfaatkan film sebagai sebuah karya budaya, ini dibuktikan dengan film karya pertamanya berjudul Darah dan Do'a atau The Long March (1950)Â yang diproduksi oleh Perfini, menceritakan tentang Long March pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar Perjanjian Renville.Â
Menggambarkan watak manusia Indonesia yang diempas revolusi, mulai dari agresi Belanda II, gerakan sub-versi hingga penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia.
Semua divisualisasikan oleh Usmar Ismail secara alami dan sederhana. Film ini sangat menginspirasi Bung Karno, dan atas keberhasilannya menciptakan genre baru perfilman nasional, Musyawarah Nasional Dewan Film Indonesia pada tahun 1950 menetapkan hari permulaan shooting film The Long March, 30 Maret 1950, sebagai hari lahirnya Film Nasional Indonesia yang akan diperingati setiap tahunnya. Sang sutradara Usmar Ismail bersama Djamaluddin Malik ditetapkan sebagai bapak film nasional.
Untuk menghadapi gempuran dan dominasi film-film asing, terutama dari Inggris dan AS medio tahun 1950-1960-an, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan Djamaluddin mendirikan Perseroan Artis Republik Indonesia (Persari) dan menciptakan film-film bermutu, diantaranya: Dosa Tak Berampun (1951), yang menceritakan tentang seorang ayah tega meninggalkan rumahnya karena seorang wanita muda. Isteri dan anak tertuanya harus banting tulang. Ketika jatuh miskin, ayah kembali, namun harus menghadapi sikap permusuhan dari anak sulungnya.
Lalu ada Tiga Dara (1965)Â adalah film yang menyelamatkan wajah perfilman Indonesia dari dominasi film India dan Amerika. Menceritakan tentang tiga dara yang diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal.Â
Karena ada amanat almarhum ibu mereka, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Sayangnya calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik.
Deretan film lain yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan film Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia, sedangkan film Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.Â
Lika-liku dunia film Indonesia semakin asyik diikuti ketika Usmar Ismail mempelopori diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali diadakan tanggal 30 Maret sampai dengan 5 April 1955.
Selama hidupnya, Usmar Ismail sukses menghasilkan 25 judul film dan wafat di Jakarta, 2 Januari 1971 yang menjadi tonggak sejarah berkembangnya dunia perfilman di Indonesia sejak Orde Baru. Setelah era Usmar Ismail dan Djamaludin Malik, maka tahun 80-an hingga tahun 90-an muncul produser dan sutradara yang melanjutkan film revolusi yang dicanangkan oleh Usmar.Â
Sebut saja film Teguh Karya yang berjudul November 1928, maupun film Eros Djarot, Cut Nyak Dien, kemudian disusul dengan kemunculan film-film bergenre komedi yang dibawakan oleh grup lawak lengedaris Warkop DKI yang menorehkan cita rasa baru dalam lika-liku perfilman tanah air.
Lalu muncul juga genre horor yang sungguh laris manis dijual dengan bintang filmnya Suzanna. Lalu muncul juga film-film berjenis fantasi sejarah yang menemani generasi 80 dan 90-an. Semua film-film tersebut membuktikan bahwa film adalah sarana mengembangkan budaya dan karakter bangsa Indonesia yang mampu menarik minat generasi bangsa Indonesia dari tahun ke tahun.
Film Soekarno, Jenderal Soedirman, Soegija, Sang Kiai (Revolusi 1945), Merah Putih, Pendekar Tongkat Emas, Laskar Pelangi, The Raid, hingga sekarang muncul Gundala, merupakan film Indonesia yang sukses di pasar Internasional, walau kenyataannya film Indonesia masih jauh berada diantara bayang-bayang film asing.
Namun, sekarang film-film kita sekarang sudah keluar dari jalurnya. Jangankan film, sinetron-sinetron yang menjadi tontonan anak-anak di masa pandemi global covid-19 yang belum berkesudahan ini, siaran-siaran televisi kita masih didominasi oleh kisah-kisah percintaan, kisah-kisah cerita keluarga yang kaya, yang kegiatannya percintaan, makan rame-rame, cerita kekayaan dan jauh dari idealisme yang ditunjukkan oleh Usmar Ismail.
Cerita kisah film kita masih seputar percintaan dan didominasi oleh cerita-cerita horor. Padahal, saya pribadi sangat mendambakan adanya film-film perjuangan kita yang menggambarkan kisah kepahlawanan dari para pahlawan kita yang begitu banyak. Contohnya, bagaimana agar kisah perjuangan Sisingamangaraja XII bisa menjadi film yang sukses sesuksesnya film Cut Nyak Dien, dengan 9 piala Citra dan tayang di Festival Film Cannes 1989, dan nominasi Academy Awards ke-62 tahun 1990.
Sudah saatnya film Indonesia kembali banyak merestorasi film-film eranya Usmar Ismail atau membangkitkan gairah menonton generasi muda dengan film-film perjuangan. Kenapa India bisa sukses menghidupkan perfilman mereka ditengah dominasi Hollywood dengan membangun Bollywood yang mampu memproduksi film-film berkualitas Hollywood? Memang terkesan membosankan, namun film-film India mampu meramu cerita perjuangan dengan kisah cinta yang penuh epik dan menggugah?
Pun dengan Nigeria, negeri yang penuh konfilk mampu membangun industri film dengan mendirikan Nollywood yang mampu menerobos pasar film dunia. Semoga ke depannya, kita bisa menciptakan film-film perjuangan dengan rasa Nusantara, dimana dalam film tersebut kita menampilkan pahlawan-pahlawan Bangsa kita menang melawan penjajah. Keren bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H