Sudah barang tentu yang menjadi kebanggaan kita sebagai warga negara Indonesia, karena kita memiliki keberagaman budaya, adat istiadat dan tentunya tradisi yang ditularkan turun temurun dari nenek moyang kita kepada orang tua, dari orang tua kepada anak-anaknya, dan seterusnya.
Tradisi, menurut KBBI alias Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.
Contoh, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di suatu daerah menjelang perayaan hari besar agama, seperti menjelang hari Raya Lebaran atau Idul Fitri yang berlangsung turun temurun dalam jangka waktu yang lama.
Tradisi yang sudah mendarah daging yang banyak dilakukan menjelang hari raya besar keagamaan, seperti yang akan kita rayakan, Hari Raya Lebaran atau biasa disebut dengan Idul Fitri, lalu ada tradisi bagi umat Kristiani seperti menjelang Natal dan Tahun Baru, lalu ada tradisi menjelang Imlek yang selalu ditandai dengan Barongsai atau tradisi persiapan angpau, kue keranjang atau kue bakul dan kembang api ini akan tidak lengkap rasanya apabila tidak disalurkan alias dirayakan.
Nah, tidak terasa, kita akan merayakan Hari Lebaran, hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa dan menahan diri dari segala godaan duniawi ini. Begitu banyak tradisi yang dilakukan untuk mengisi hari-hari berpuasa menjelang datangnya hari yang Fitri atau hari yang penuh Berkah.
Saya teringat akan tradisi-tradisi jelang Ramadan atau Idul Fitri di daerah saya, tentunya tradisi-tradisi yang paling saya ingat itu, tradisi sewaktu saya masih kecil dan masih tinggal di kampung halaman. Kenapa? Karena terus terang zaman itu kehidupan sosial dan bermasyarakat kita tidak ada dibatasi oleh sekat perbedaan agama, perbedaan suku, ras dan warna kulit.
Kita bebas, entah karena masih anak-anak yang polos dan orangtua tidak pernah mengajarkan kita untuk membeda-bedakan teman? Atau entah karena apa? Yang penting kita bermain saja, ketika ada waktu bermain bersama dan saling membantu, tolong menolong hingga tidak sungkan untuk saling memberi dan menerima.
Ada beberapa tradisi yang wajib dilakukan yang melekat di bayangan saya ketika menjelang perayaan hari besar keagamaan, seperti Ramadan, Lebaran atau Idul Fitri dan hari Natal dan Tahun Baru. Namun karena ini kita akan merayakan Lebaran, maka tradisi yang paling melekat dan pengen rasanya balik lagi untuk melakukannya bersama-sama dengan teman-teman seangkatan saya, diantaranya:
Pertama, tradisi Mangalomang (bahasa Batak) yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, adalah tradisi Membuat Lemang. Ya, tradisi turun temurun yang sangat kita gemari ketika Lebaran dan Natal, Tahun Baru akan datang.
Di kampung saya, saya sudah pernah bercerita bahwa tetangga, satu dinding rumah lagi, adalah Uda -- sudah dianggap adek oleh Bapak -- yang memeluk agama Islam sejati. Jadi, ketika kita akan merayakan hari Raya Lebaran atau Idul Fitri, tradisi yang paling berkesan itu adalah Membuat Lemang.
"Oii... Nai Rotua, andigan do hamu mambaen Lomang? Asa dohot iba manitip satonga tubba boras dah.", begitulah mamak bertanya ama inanguda atau ibunya dari tetangga kami itu.
Yang jika diterjemahkan begini: "Mak Rotua, kapan klean mau buat Lemang? Aku mau nitip klean buat setengah liter beras untuk kami ya!", ucap mamakku ke mamaknya si Rotua tetangga kami yang akan membuat Lemang menjelang Lebaran ini.
"Oh ia Akkang, marsogot ma mambaen, ale hurang bulu nami, tabuat ma bulumuna na di kobun balakkang i dah!", sahut inanguda lawan bicara mamak.
Jikalau diterjemahkan seperti ini: "Oh ia bisa Kak, rencana besok -- karena biasanya Lemang ini dibuat 3 atau 4 hari menjelang Lebaran. Tapi bambu kami kurang, kita ambillah bambu dari ladang Kakak yang dibelakang rumah ini yah?", ucap inanguda itu.
"oh bisa, suruhlah si Tombang biar pigi dia ama anakku ke ladang ambil bambu!", begitulah akhir pembicaraan.
Jadilah saya sama si Tombang pergi ke ladang yang sangat dekat, lima ratus meter di belakang rumah ambil bambu yang tumbuh di dekat sungai.
Bambu ini harus bambu pilihan, tidak asal ambil. Kita harus memilih bambu yang masih muda, bukan yang tua. Nah, yang tua juga boleh diambil tapi bukan untuk bahan pembuatan lemang, tetapi bahan untuk Meriam Bambu.
Setelah bambunya dibawa, maka langkah selanjutnya untuk membuat lemang itu, prosesnya cukup sulit, memakan waktu dan harus tahan banting, sehingga sekarang sudah jarang orang membuat Lemang, baik itu tradisi untuk Lebaran atau Tahun Baru.
Beras ketan dicuci sampai bersih, lalu direndam selama 4 jam, dicuci lagi hingga bersih kali dan ditiriskan. Kalau airnya sudah tiris, beras ketannya dicampur dengan garam dan santan, diaduk hingga rata dan sempurna, lalu disisihkan.
Ambil bambu yang sudah dipotong-potong, dibersihkan luar dan dalamnya, kemudian lubang bambu dilapisi dengan daun pisang, daun pisang dilebihkan di pucuknya. Caranya daun pisang digulung, dimasukkan ke dalam bambu menggunakan penjepit dari bambu.
Lalu beras ketannya tadi dimasukkan ke dalam bambu, tapi jangan sampai penuh ke atas, nanti kotor oleh abunya arang pembakaran lemang. Tutup lobang atas bambu dengan daun pisang agar kotoran atau debu tidak masuk. Lalu lemang siap untuk dibakar di atas arang api.
Nah, disini prosesnya yang lama dan harus ditungguin, kalau ditinggalin? Ya bisa gosong dan kita akan siap-siap kenak repetan mamak atau bos besar.
Disamping harus ditungguin? Tidak boleh main atau kemana-mana? Kita juga harus memutar lemangnya agar sisi yang satu dengan sisi yang lain sama masaknya, tidak masak sebelah. Lagi-lagi kalau masak sebelah? Bisa-bisa kenak repetan lagi deh....
Lemang yang paling enak itu lemang pulut! Wah enak tenan! Makanya inilah tradisi jelang Ramadan atau Idul Fitri di kampung halaman yang sangat ingin dibuat kembali. Namun apa daya? Ditengah upaya kita untuk memutus rantai penyebaran pandemi global covid-19, dimana salah satu point pentingnya tidak boleh mudik? Maka keinginan itu ditunda dulu.
Kedua, tentunya tradisi jelang Ramadan atau Idul Fitri di daerahku? Yah tradisi main Meriam Bambu. Tradisi ini juga sudah mulai hilang, bahkan sudah hilang di kampung halamanku karena ada yang lebih simpel bernama petasan dan kembang api.
Lagi-lagi tradisi ini juga sudah hilang dan kalau mau dihidupkan kembali? Susah, karena faktor umur, malu dikata-katain 'masa kecil suram' karena sudah tua main meriam bambu lagi....
Sekian.... Selamat menyambut Ramadan atau Idul Fitri..Salam Damai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H