Pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Begitulah seharusnya rasa cinta dan kebangaan kita akan adat istiadat, kebudayaan, kebiasaan baik, hingga segala sesuatu yang ada di daerah kita masing-masing. Begitupun dengan saya.
Sebagai warga Sumatera Utara (Sumut) yang dilahirkan dan dibesarkan di sini, saya sangat bangga akan tanah yang luasnya kira-kira 473.481 km2 ini, dan dihuni oleh berbagai etnis menyatu dalam bingkai kebhinekaan yang bertoleransi dan mendamaikan Indonesia.
Sebagai bagian dari Nusantara, Sumatera Utara telah menunjukkan konsistensinya dalam menjaga keberagaman, bukan menjadi pemisah dalam persaudaraan.
Semenjak kecil kita sudah diajarkan di Sumut ini untuk menghargai pluralisme, baik itu budaya, agama, suku, dan kita adalah satu dalam ikatan persaudaraan yang harus kita jaga dan rawat.
Ketika oppung ada di rumah, mereka selalu bergantian marturi-turi-an kepada kami, cucu-cucunya. Banyak yang mereka ceritakan kepada saya, abang atau kakak.
Ditemani lampu teplok atau lampu gas dengan spiritus jadi bahan bakarnya, oppung bercerita banyak hal, mulai dari legenda-legenda, hingga pahitnya kehidupan saat terjadinya pemberontakan.
Mungkin karena banyak mendengar nasihat dan kerasnya kehidupan di tahun 80-90an menjadi cambuk bagi generasi di era kami untuk lebih serius belajar dan pekerja keras untuk mencapai kesuksesan.
Kala itu, menginjakkan kaki ke kota Medan adalah sebuah kebanggaan! Dengan menaiki bus besar bernama Pribumi, perjalanan memicu adrenalin dimulai.
Jikalau kita melakukan perjalanan darat dari Toba-Samosir hingga ke Medan, maka rutenyai itu sangatlah menantang, di samping penuh dengan tikungan tajam dan jurang-jurang pun kerap kita jumpai, seperti di Tele.
Sebelum Kabanjahe, tikungan tajam dan rawan longsor menjadi pemandangan biasa, belum lagi kemunculan monyet menjadi faktor penambah semangat di perjalanan melelahkan.
Di Berastagi kita akan mendapatkan keindahan lain. Di samping limpahan hasil bumi, pemandangan alam menjadi faktor yang membuat wisatawan lokal maupun mancanegara berkunjung ke kota sejuk ini.
Minum es cendol sambil berburu kuliner seperti bakso, chinese food, hingga makanan lokal seperti BPK, napinadar maupun nadiura menjadi pelipur rasa lapar usai mengitari Pajak Sambu dengan Medan Mall jadi ikonnya.
Lalu jangan lupakan juga bagaimana berburu buku-buku bekas harga terjangkau yang ada di titi gantung atau biasa disebut tigan. Tigan yang dulu dan kini masih berada di Jalan Kereta Api adalah kisah sukses dari orang-orang hebat, karena menjadi tempat para mahasiswa mencari buku-buku berkualitas harga murah. Bahkan, dari Aceh, Sumatera Barat, Padang, Pekanbaru datang ke tempat ini untuk mencari buku murah dengan kualitas bagus.
Bangga menjadi warga Sumatera Utara? Itu pasti! Rasa bangga saya wujudkan dengan segala cara. Mulai setamat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingka Pertama), saya ingin mengabdikan diri menjadi pelayan imam di Sumut.
Namun, nasib berkata lain, setamat SLTA, saya kuliah di bidang komputer dan setamat kuliah, saya tidak tergiur untuk merantau ke Pulau Jawa seperti teman kebanyakan.
Saya mencoba mencari pekerjaan di ibukota Sumut. Kenapa?
Karena saya yakin akan sukses di Medan dan kata hati saya selalu berkata, "Sudah enak di sini, biaya hidup tidak terlalu mahal, sabar pasti ada jalan terbaik buatmu!".
Benar saja, tahun 2009 saya mencoba tes CPNS di Medan dan dinyatakan lulus, sehingga sampai sekarang, bahkan hingga menghabiskan waktu akan terus berkarya untuk Sumut.
Ada sejuta alasan tentunya maka saya sangat mencintai Sumut dan bangga menjadi bagian dari perjalanan panjang Sumut sebagai provinsi di Indonesia yang terletak di bagian utara Pulau Sumatra. Saya rangkum menjadi empat:
#1. Keberagaman Etnis di Sumut
Sumut adalah miniaturnya Indonesia dan Presiden Jokowi sangat mengakui itu. Jadi, dengan cara apapun kita harus menjaga agar Sumut tetap kondusif di tengah-tengah keberagaman, sehingga Sumut menjadi contoh di lingkungan nasional hingga internasional soal menjaga keberagaman.
Bayangkan, saat menghadiri Pagelaran Budaya Lintas Etnis Provinsi Sumatera Utara di Stadion Teladan Medan, 16 Maret 2019 silam, Presiden Jokowi bersama Ibu Negara, Iriana yang tampak kompak mengenakan pakaian Adat Melayu sangat terkesima dengan cara warga Sumut dalam menjaga keberagaman.
"Horas, Majuah-juah, Njuah-juah, Ya ahowu!"
Salam khas dari Sumut yang mewakili keindahan budaya, adat istiadat, keindahan tradisi dan alam tiada duanya di Nusantara ini. Seperti kita ketahui, setidaknya ada delapan etnis asli Sumut yang mewakili keberagaman itu.
Melayu, Karo, Toba, Mandailing atau Angkola, Simalungun, Pakpak Barat, Nias hingga Pesisir, hingga beragam suku lain yang membaur dan hidup damai, rukun serta saling menghargai. Aset besar bangsa ini adalah persatuan dan kesatuan, kerukunan dan persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Etnis yang beragam tentunya dibarengi dengan budaya yang beragam juga. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masing-masing puak maupun etnis memiliki budaya khas yang di junjung tinggi dan di jaga dengan baik. Mulai dari rumah adat, setiap suku memiliki rumah adat yang hampir mirip satu sama lain.
Ada Jabu Parsaktian merupakan tempat untuk pertemuan dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan adat. Jabu Bolon merupakan rumah yan dijadikan lokasi pertemuan suatu keluarga besar dimana bentuk dari rumah adat ini berbentuk seperti panggung dengan ruang bagian atas sebagai tempat tinggal bersama dan tempat tidur yang didesain lebih tinggi dari posisi dapur.
Pakaian adat juga sangat beragam dan punya ciri khas masing-masing. Lalu budaya dan tradisi yang tidak bisa lepas, seperti Mangokkal Holi di mana tradisi turun-temurun masyarakat Batak yang berarti mengambil tulang belulang dari leluhur mereka dari dalam kuburan, lalu ditempatkan dalam peti, dan diletakkan dalam buah bangunan tugu khusus untuk menyimpan tulang belulang leluhur.
Tradisi ini pada etnis Karo disebut dengan Nampakken Tulan, etnis Pakpak mengenalnya tradisi Mengkurak Tulan.
Siapa tidak kenal ulos? Kebanggaan warga Sumut adalah keberadaan ulos jadi identitas dan ciri khas yang sedang diperjuangkan oleh Gubernur Edy Rahmayadi menjadi warisan dunia UNESCO. Ulos, tenunan asli khas Batak berbentuk kain selendang.
Ulos ini disediakan dengan berbagai variasi yang unik dan khas, seperti Ulos Sibolang, Ulos Godang, Sitoluntoho, Mangiring, Ragi Hidup, Ragi Hotang, dan Sadum. Dan itu digunakan berbarengan dengan acara manortor dalam acara adat.
#4. Pesona Alam Danau Toba dan Sekitarnya
Tidak dapat dipungkiri, warisan dari Sang Pencipta bagi Sumut yang paling patut disyukuri, keberadaan Danau Toba. Mendapat predikat danau terluas nomor dua setelah Danau Victoria di Afrika, danau seluas 1.130 km2 ini setidaknya telah memberikan kontribusi bagi masyarakat di delapan Kabupaten, Samosir, Toba Samosir, Dairi, Karo, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, dan Pakpak Barat.
Belum lagi instruksi dari Presiden Jokowi agar Danau Toba dipoles sehingga menjadi destinasi wisata kelas dunia. Harapan Danau Toba bisa menjadi penyumbang devisa negara lewat wisatawan lokal maupun mancanegara harus terwujud dengan pembangunan infrastruktur dan kearifan lokal yang dipelihara. Plus, penyambutan hangat dari para masyarakat sangat diharapkan agar pariwisata Sumut di 2020 bisa benar-benar meningkat dan sesuai dengan harapan pak Presiden.
Aset terbesar bangsa ini ada tiga: Persatuan, Persaudaraan, dan Kerukunan. Untuk itu tugas kita bersama termasuk warga Sumut untuk menjaga aset tersebut sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara yang maju, sejahtera dan bersatu dalam keberagaman.
Saya bangga jadi warga Sumut yang bermartabat!
Catatan:
Oppung : Sebutan untuk nenek atau kakek
Turi-turian : bercerita tentang kisah masa lalu atau legenda yang bisa dianggap benar dan diceritakan secara turun temurun.
Lampu Gas/Teplok : lampu sebelum masuknya PLN ke desa-desa.
Bus Pribumi : Bus berbadan besar cikal bakal munculnya PO. SAMPRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H