#1. Keberagaman Etnis di Sumut
Sumut adalah miniaturnya Indonesia dan Presiden Jokowi sangat mengakui itu. Jadi, dengan cara apapun kita harus menjaga agar Sumut tetap kondusif di tengah-tengah keberagaman, sehingga Sumut menjadi contoh di lingkungan nasional hingga internasional soal menjaga keberagaman.
Bayangkan, saat menghadiri Pagelaran Budaya Lintas Etnis Provinsi Sumatera Utara di Stadion Teladan Medan, 16 Maret 2019 silam, Presiden Jokowi bersama Ibu Negara, Iriana yang tampak kompak mengenakan pakaian Adat Melayu sangat terkesima dengan cara warga Sumut dalam menjaga keberagaman.
"Horas, Majuah-juah, Njuah-juah, Ya ahowu!"
Salam khas dari Sumut yang mewakili keindahan budaya, adat istiadat, keindahan tradisi dan alam tiada duanya di Nusantara ini. Seperti kita ketahui, setidaknya ada delapan etnis asli Sumut yang mewakili keberagaman itu.
Melayu, Karo, Toba, Mandailing atau Angkola, Simalungun, Pakpak Barat, Nias hingga Pesisir, hingga beragam suku lain yang membaur dan hidup damai, rukun serta saling menghargai. Aset besar bangsa ini adalah persatuan dan kesatuan, kerukunan dan persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Etnis yang beragam tentunya dibarengi dengan budaya yang beragam juga. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masing-masing puak maupun etnis memiliki budaya khas yang di junjung tinggi dan di jaga dengan baik. Mulai dari rumah adat, setiap suku memiliki rumah adat yang hampir mirip satu sama lain.
Ada Jabu Parsaktian merupakan tempat untuk pertemuan dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan adat. Jabu Bolon merupakan rumah yan dijadikan lokasi pertemuan suatu keluarga besar dimana bentuk dari rumah adat ini berbentuk seperti panggung dengan ruang bagian atas sebagai tempat tinggal bersama dan tempat tidur yang didesain lebih tinggi dari posisi dapur.
Pakaian adat juga sangat beragam dan punya ciri khas masing-masing. Lalu budaya dan tradisi yang tidak bisa lepas, seperti Mangokkal Holi di mana tradisi turun-temurun masyarakat Batak yang berarti mengambil tulang belulang dari leluhur mereka dari dalam kuburan, lalu ditempatkan dalam peti, dan diletakkan dalam buah bangunan tugu khusus untuk menyimpan tulang belulang leluhur.
Tradisi ini pada etnis Karo disebut dengan Nampakken Tulan, etnis Pakpak mengenalnya tradisi Mengkurak Tulan.