Bintang kecil, di langit yang tinggi
Amat banyak, menghias angkasa
Aku ingin, terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada
Ternyata di tahun 1963 kita punya film klasik dan sudah sangat melegenda bernama film "Bintang Ketjil". Film ini sangat sarat dengan pesan moral kepada anak-anak dan masih sangat relevan apabila kita perkenalkan kepada anak-anak maupun orangtua di era kekinian.
"Bintang Ketjil" kembali datang dalam bentuk restorasi dan ini adalah film ketiga yang sukses direstorasi oleh Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbangfilm).
Setelah Darah dan Doa atau The Long March (1950), lalu sukses dengan Pagar Kawat Berduri (1961), kini kita kembali dimanjakan oleh hasil restorasi Bintang Ketjil (1963).
Lantas mengapa film Bintang Ketjil menjadi prioritas utama PusbangFilm untuk direstorasi usai Pagar Kawat Berduri? Ternyata jalan cerita, kehidupan Jakarta, pesan moral, hingga kemampuan akting dari para pemain film ini menjadi nilai plus mengapa harus direstorasi dan kembali menjadi film keluarga favorit Indonesia di era kekinian.
Oleh karena itu, film sebagai media belajar, sangat ampuh untuk kembali menyadarkan bahwa Indonesia memiliki budaya dan identitas yang sangat melekat dan masih relevan untuk kembali diperkenalkan, ditunjukkan dan menjadi bahan pembelajaran bagi anak-anak kita, itu semua ada pada film berjudul Bintang Ketjil.
Sejarah dan Cerita Pada Film Anak Bintang Ketjil
CGV Cinemas Focal Point Lt. III Medan, Hari Selasa, 03 September 2019 kembali menjadi saksi dari kemeriahan nonton bareng film hasil restorasi berjudul Bintang Ketjil.
Sebelumnya di tahun 2018, di tempat yang sama juga sukses menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi film hasil restorasi berjudul "Pagar Kawat Berduri", film perjuangan karya Asrul Sani produksi Kedjora tahun 1961, telah memberikan pembelajaran kepada kita akan beratnya perjuangan semasa revolusi.
Hasil restorasi film ini dapat ditonton di Medan berkat kerjasama antara Pusbangfilm dan Yayasan Manuprojectpro Indonesia yang mengundang berbagai kalangan, terutama kaum pelajar kota Medan untuk nonton bareng plus diskusi akan hasil film restorasi ini.
Acarapun dimulai dari jam 08 pagi. Ratusan pelajar kota Medan dari tingkat SD, SMP, SMA/SMK hingga Mahasiswa sudah tidak sabar dan penasaran bagaimana jalan cerita film yang langsung mengingatkan kita akan lagu "Bintang Kecil", lagu wajib dinyanyikan semua umur.
Termasuk kedua anak saya, mereka tidak sabar dan penasaran akan poster-poster yang terpampang di depan pintu masuk teater.
"Pa, ayolah masuk", gumam si sulung, "Ia, ayolah pa", ujar adeknya.
Maka, sayapun kembali menghampiri ketua panitia untuk meloloskan tiket kedua anak yang kelupaan didaftarkan bapaknya.
Dari awal cerita, kita sudah disuguhkan dengan kualitas akting kelas atas para pemain film Bintang Ketjil, belum lagi kualitas gambar restorasi yang sangat jernih membuat film ini sangat berkelas dan tidak ketinggalan dengan film-film layar lebar yang penuh warna.
Akting para pemainnya membuat para penonton tertawa, kadang sedih dan kadang iba dengan permainan tiga aktor utamanya, Maria, Susi dan Bung Nana.
Dua anak perempuan, Maria diperankan oleh Maria Umboh, puteri dari Sutradara Wim Umboh, dan Susi, diperankan oleh Susi Sudrajat saat pulang sekolah bertemu dengan Bung Nana si penyemir sepatu yang selalu nongkrong di taman luar sekolah.
Bung Nana diperankan oleh Nana Awaludin tinggal bersama dengan Bang Mansyur di rumahnya dan bertekad untuk mencari uang yang banyak agar bisa membangun rumah dan membawa pulang kakak perempuannya dan neneknya yang tinggal di panti asuhan sesuai dengan wasiat ibunya yang telah meninggal.
Cerita menjadi sangat memukau penonton, ketika ketiga aktor utama film ini bermain akting dengan cemerlangnya, bagaimana tidak? Janji orang tua yang tidak ditepati menjadi awal bencana bagi keluarga Maria dan Susi.
Anak-anak tidak boleh dibohongi! Itulah pesan mendalam dari Bintang Ketjil. Usai tidak kunjung diajak ke kebun binatang, akhirnya Maria dan Susi nekat pergi sendiri, mereka meninggalkan Bung Nana, mereka habiskan waktunya di Taman Mini dan akhirnya? Orang tua mereka mengira mereka diculik!
Cerita berlanjut menjadi menarik karena Maria dan Susi ikut membantu Bung Nana dan Bang Mansyur 'menculik' nenek dan kakaknya Bung Nana.
Akhirnya, Bung Nana sadar betapa sangat sulitnya merawat seorang nenek, dua orang anak perempuan, hingga ikut merasakan kesedihan kakaknya yang ingin sekolah agar mampu mewujudkan cita-cita almarhum ibunya.
Akhirnya, Bung Nana menyerahkan diri ke kantor polisi dan mengakui semua perbuatannya, namun kakek mantan guru, langsung bertindak dan membawa anak-anak ke kebun binatang hingga jalan-jalan sampai ke atap Gedung Indonesia. Adrenalin penonton dibuat tegang ketika sang kakek membawa Maria dan Susi hingga ke atap gedung.
Cerita kembali menjadi canda ketika neneknya Bung Nana berhasil melepaskan Maria dan Susi serta membujuk sang kakek kembali ke dasar gedung. Bujukan sang nenek berhasil meluluhkan hati sang kakek dan melepaskan anak-anak itu kembali ke pangkuan orangtuanya. Â
Banyak adegan tidak terduga dan membuat para penonton penasaran akan jalan cerita sebenarnya dari film Bintang Ketjil ini.
Segala keluguan, kelucuan akting Bung Nana, Maria dan Susi, plus suasana Jakarta masa itu menjadi pemikat film dan membuat kaum millenal di CGV Cinemas Focal Point tersentuh dan tertawa gembira dengan suasana film yang ditampilkan.
"Proses pembuatannya dulu yang susah karena bikin direct sound. Ngak ada dubbing. Kalaupun kita semua sudah hapal dialog, ada satu penonton saja bersuara harus retake. Makanya agak lama pembuatannya," ujar Maria Umboh, pemeran Maria yang kala itu masih berumur sepuluh tahun.
Belum lagi penampilan Band Koes Bersaudara, band legendaris Indonesia menyanyikan lagu-lagu lawas dan memberikan nilai sejarah seni yang tinggi serta menjadi daya tarik tersendiri para penonton masa kini yang membuat film ini sungguh sarat akan makna dan pesan kepada kaum muda Indonesia agar lebih mencintai dan melestarikan budaya kita.
Harapan Dari Restorasi Bintang Ketjil
"Restorasi film untuk menyelamatkan dan memanfaatkan karya-karya film yang mengandung nilai budaya sangat tinggi agar generasi muda bisa lebih mencintai budaya," ujar Kepala Pusbangflm Kemendikbud, Dr Maman Wijaya, M.Pd di Medan, Selasa kemarin.
"Salah satu kesulitan terbesar dari proses restorasi itu adalah kondisi copy filmnya yang sudah hampir rusak akibat tidak disimpan dengan baik, sehingga langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan pemulihan kondisi fisik seluloid atau gulungan negatif film, kemudian melakukan scanning copy positif film dan tahap digital memperbaiki visual dan audio film", penjelasan Rizka Fitri Akbar dari Project Director Render Digital Indonesia.
Karena kondisi gulungan film yang telah berusia puluhan tahun dan prosesnya yang detail membuat biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Berhasil mengumpulkan bagian yang rusak, lalu menjahitnya kembali menjadi satu kesatuan adalah hal yang tersulit dan membutuhkan waktu lama dalam proses restorasi ini.
Dana yang dikeluarkan sekitar Rp1,4 hingga Rp1,7 miliar dalam jangka waktu sekitar 50 hari. Seluruh pengerjaan dilakukan di Indonesia.
Pemeran Bung Nana, Nana Awaludin yang datang langsung ke Medan, berharap agar masyarakat tertarik untuk melihat kembali film Indonesia sehingga tidak kehilangan identitasnya.
- "Harus diakui, secara budaya, film zaman dahulu masih mengikuti pakem perfilman sehingga aman untuk segala hal," kata Nana Awaludin.
Film "Bintang Ketjil" dipilih oleh para kurator Film Restorasi 2018 karena berhasil memotret relevansi kondisi sosial masyarakat Indonesia pada masa itu dan saat ini dan hasilnya bisa kita nikmati dalam bentuk DCP dan sudah lolos sensor tanggal 08 Agustus 2019 dengan durasi film 118 menit.
Sangat banyak pesan moral yang disampaikan oleh film restorasi ini, sehingga film ini mendapat tempat pertama untuk direstorasi oleh Sinematek Indonesia bersama dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud Republik Indonesia.
Bukan hanya "Bintang Ketjil", nantinya film-film lawas lain seperti "Kereta Api Terakhir" (1981) juga akan diselamatkan oleh Pusbangfilm.
Saat ini Pusbangfilm memiliki koleksi 700 film layar lebar dan Pusbangfilm akan terus secara konsisten melakukan penyelamatan dan restorasi arsip film nasional sebagai asen seni budaya bangsa, tanggungjawab kepada bangsa, dan pemenuhan hak akses masyarakat atas arsip film nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H