Hari Jumat (11/5/2019), saya dikejutkan ketika di Instagram saya bersewileran sebuah rekaman video viral, dimana dalam video tersebut seorang wanita paruh baya sedang senyam-senyum di tengah-tengah kerumunan menunjukkan suasana aksi demo di Kantor Bawaslu. Seketika muncul pemuda dengan lantangnya memuntahkan peluru kata penuh ancaman yang menurut saya tidak pantas di ungkapkan seorang berpendidikan, agamais, dan masih muda, serta tidak pantas di tuliskan disini apa isi muntahan peluru kata itu.
Tujuan si pembuat video mungkin hanya 'have fun', tapi akibatnya sangat luar biasa, terutama di bulan puasa seperti ini. Sungguh tidak bermartabat dan tidak punya etika ketika si pemuda yang belakangan diketahui punya pekerjaan dan punya pendidikan tinggi, tetapi berani mengancam dengan kata-kata ngeri seperti itu. Inilah efek dari media sosial yang kita punya! Semua terekam dan langsung tersebar menjadi viral ketika kita klik tombol share atau kirim.
Dalam hitungan detik, walaupun akhirnya kita hapus, tetapi apa yang telah kita share itu sudah terlanjur tersebar luas, baik itu lewat grup whatsapp, facebook, twitter, pun telegram atau media sosial lainnya. Sungguh beda ketika salah ngomong atau salah ucap, masih bisa diralat atau masih berlalu dengan cepat.
Selama berlangsungnya Pilpres 2019, Kominfo -- Kementerian Komunikasi dan Informatika -- mengidentifikasi sebanyak 453 kabar bohong alias hoaks selama Maret 2019. Bisa kita bayangkan bagaimana informasi hoaks ini di share secara berantai menjadi konsumsi publik yang membuat banyak orang percaya dan kembali share ke temannya, sehingga antara kebenaran dan kebohongan menjadi informasi yang sulit dibedakan, karena tipisnya sekat pemisah, setipis sange-sange oleh karena jari-jemari kita.
Bangun Budaya Malu dan Budaya Literasi Teknologi
Di era teknologi sekarang ini, sepertinya memang budaya malu sudah tidak ada lagi, plus mati rasa. Selama dari bulan Januari hingga bulan Mei ini sudah berapa banyak yang Anda sakiti? Dan dari sekian banyak yang Anda sakiti, berapa banyak Anda meminta maaf, karena Anda telah menyakiti mereka di media sosial maupun dalam kehidupan nyata?
Di bulan Ramadhan ini, mari kita perbanyak untuk meminta maaf dengan ikhlas walau lewat jari-jemari kita di media sosial. Namun benarkah permintaan maaf kita itu? Di hari pertama Ibadah Puasa, banyak teman-teman saya baik di grup wa, maupun di laman fb, ataupun lewat pesan wa mohon dimaafkan kesalahan mereka. Membaca pesan-pesan itu, saya langsung membalas satu per satu dengan kalimat yang sama. Saya juga mohon dimaafkan.
Tetapi, namanya nurani itu tidak bisa didustai. Meski mengetikkan kata-kata permohonan maaf itu dengan hati-hati dan penuh bahasa kelembutan, saya tetap bisa merasakan bahwa permohonan maaf ini masih bohong dalam memaafkan. Oleh karena itu kita harus punya budaya malu, malu pada diri sendiri karena masih mau berbohong di media sosial.
"Maafkanlah atas segala ucapan dan perbuatanku yang selalu membuat kamu jengkel!", begitulah isi percakapan wa antara Tuti dengan Nina.
"Ia, aku sudah memaafkan kamu, sebelum kamu minta maaf", ujar Nina meyakinkan sang teman. Tetapi kan mimik wajah atau bagaimana sikap Nina dalam hal memaafkan Tuti kan kita tidak tau, apakah memaafkan dengan tulus apa bohong?
Sebab, ketika mereka ada di kelas saat belajar, keduanya kembali tidak cakapan, malah Nina terus-terusan menggosipi, bahkan membully Tuti dan mengajak teman-temannya untuk memusuhi Nina baik itu lewat wa maupun secara terang-terangan.
Padahal aksi tidak memaafkan dengan ikhlas ini ibarat sebuah proses membuat es batu. Membuat es batu itu dari air yang kemudian dimasukkan ke lemari pendingin untuk kemudian menjadi es batu yang keras.
Apalagi dengan kemunculan media sosial, sepertinya kita bebas untuk mengeraskan hati kita tidak memaafkan dan bahkan kehilangan rasa peka terhadap sesama dan mati rasa. Kalau hati sudah mati rasa, tidak memaafkan menjadi hal yang tidak apa-apa.
Mengapa tidak apa-apa? Karena orang kalau sudah mati rasa, ya enggak berasa apa-apa, bukan? Mati rasa dari sakit hati, mati rasa dari rasa malu, mati dari rasa bersalah. Nah, kalau sudah tidak merasakan apa-apa, seseorang akan berani malu untuk ngomong ngawur soal apa saja, terutama di media sosial. Sampai-sampai bikin hoaks pun menjadi ngak masalah.
Oleh karena itu, mulai dari sekarang, mari jaga hati dan pikiran, terutama jari-jemari kita untuk tidak menodai bulan ramadhan ini dengan mencaci, menggosip, apalagi menyebarkan berita kebohongan, terutama menghentikan ujaran kebencian (hate speech), terutama masalah politik kita.
Kita tidak usah menyebar kebencian, membuat video dukungan kepada salah satu paslon dengan menuduh paslon lain curang, menghina, apalagi sampai mengucapkan kata-kata kasar hingga berupa ancaman, terutama ancaman pembunuhan.
Kembalilah kita sejukkan hati dan pertemanan kita di media sosial dengan bersilaturahmi, saling bertoleransi, tidak menyinggung agama, suku, dan perbedaan dengan orang lain. Damaikan hati, mari kita kembalikan fungsi media sosial itu kembali ke tempatnya.
Karena menurut sejarahnya, media sosial -- social media -- sebagai sarana pergaulan sosial secara online di internet, digunakan untuk saling berkomunikasi, berinteraksi, berbagi, networking, dan berbagai kegiatan positif lainnya. Seperti facebook, diciptakan untuk mencari pertemanan dengan teman-teman yang terputus di dunia nyata, agar dapat berkomunikasi tentang-tentang hal baik tentunya dengan teman SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi.
Fungsinya sangat baik, untuk saling berbagi pengalaman, terutama untuk melepas kangen atau mengetahui kabar teman kita. Tetapi banyak disalah gunakan orang untuk menipu, belajar tentang hal tidak baik, bahkan digunakan untuk menyebar hoaks dan ujaran kebencian.
Oleh karena itu, mari kita kembali ke literasi, khususnya di bidang teknologi, kita dituntut untuk mampu memahami fungsi dari perangkat teknologi, terutama etika dan etiket, moral dan logika yang baik untuk memanfaatkan teknologi. Sebelum sharing berita atau informasi, kita harus filter, sebelum filter, kita harus membaca penuh apa isi berita, jangan terkecoh dengan judul berita, tapi pahamilah isinya.
Jika kita yakin berita itu adalah benar dari sumber berita yang valid, maka jika perlu di share, mari kita share, tapi jika tidak penting, ya untuk apa? Bijaklah menggunakan media sosial dan berpuasalah untuk menyebarkan berita-berita bohong.
Sebab, penelitian menyebutkan bahwa dari kalangan terdidik dan beragama inilah yang mudah termakan hoaks dan terbanyak melontarkan ujaran-ujaran kebencian. Inilah 'paradoks' pada era milenial yang tengah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negara kita.
Agar hal ini tidak berlangsung, mari mulai dari sebulan ini kita jaga jari-jemari kita di media sosial, agar terjaga hati nurani kita dan tercipta kedamaian demi keutuhan kita bersama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H