Medan, kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya ini merupakan kota yang dikenal dengan multi etnis, kenapa? Karena sejarah membuktikan bahwa kota Medan dipenuhi oleh masyarakat yang latar belakang budaya, agama yang berbeda-beda.
Kota Medan sejarahnya tidak lepas dari kedatangan imigran-imigran Cina ke pantai timur Sumatera sekitar abad ke-19. Kedatangan mereka merupakan suatu keajaiban yang menarik, kenapa? Karena faktanya mereka disebut sebagai bangsa yang ulet dan bekerja sebagai kuli, tetapi mereka bakal berhasil memonopoli jumlah perekonomian di daerah Medan dan sekitarnya.
Dalam sebuah buku berjudul, "Dari Kuli-Kuli Perkebunan Menjadi Ekonom Terkemuka", dituliskan bagaimana kisah perjalanan etnis Cina datang dan berkembang di Medan dan sekitarnya. Diceritakan bahwa perkebunan-perkebunan di Deli yang membutuhkan tenaga kerja, mengakibatkan Belanda waktu itu 'mengimport' buruh dari Cina yang dikenal memang sangat pandai mengolah tembakau dan teh.
Untuk menanam tembakau di Deli, maka Sultan Deli memberikan kepada para pengusaha kebun kekuasaan yang besar mendatangkan kuli dari negeri Cina. Meskipun pada akhirnya kuli-kuli Cina makin berkurang tetapi jumlah penduduk Cina di Sumatera Timur semakin bertambah hingga membentuk suatu komuniti yang berimbang dan maju terdiri dari pedagang, pengusaha toko, petani-petani kecil, nelayan dan tukang-tukang kayu meskipun jumlahnya kecil.
Sesuai dengan laporan tahunan dari "Deli Planters Vereeniging" (Asosiasi Pemilik-Pemilik Perkebunan Deli), antara bulan April 1915 -- Maret 1916 total kuli kontrak Cina di Perkebunan tembakau adalah 37.608 orang dan tahun 1917 jumlah penduduk Cina di Sumatera Timur 99.236 orang diantaranya 92.646 laki-laki.
Etnis ini yang di Medan dikenal dengan Tionghoa semakin banyak dan menjadi salah satu pilar dari berkembangnya kota Medan hingga kini. Etnis Tionghoa tidak bisa dilepas dari berkembangnya Medan hingga dikenal dengan kota Metropolitan dan kota multi etnis yang sangat terkenal rukun dan damai walau dipenuhi dengan warga Medan dari berbagai suku dan agama.
Merayakan Imlek, Menghargai Keberagaman
Menurut ceritanya, Sultan Deli tidak pernah melarang adanya perayaan tahun baru Cina, tetapi sejak tahun 1945 hingga 1949 tahun baru Imlek tidak bisa dirayakan di Indonesia, disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, karena terjadinya beberapa kali insiden terutama pada masa era "Bersiap" di tahun 1945 -- 1948. Di beberapa daerah di pantai timur Sumatera, sekelompok orang Cina sudah mengelu-elukan impian kedatangan pasukan Chiang Kai Sek Kuomintang yang turut sebagai pemenang Sekutu melawan Jepang.
Kedua, lebih parah lagi dengan dibentuknya Barisan Bersenjata "POH AN TUI" di Medan oleh Inggris. Ketika Belanda mengadakan agresi militer-I di Sumatera Timur pada pertengahan tahun 1947, di setiap kota di tempatkan juga pasukan bersenjata "Poh an Tui" yang konon bertugas menjaga wijk (toko pedagang Cina).
Tentu saja berbagai peristiwa clash/miring antara orang Indonesia asli dengan etnis Cina, seperti terjadi di Bagan Siapi-api tahun 1946, terjadi semacam "Kecurigaan" dan "Kecemburuan sosial" atas kesetiaan masyarakat Cina terhadap Indonesia.
Orde berganti, nasib merayakan Imlek belum berubah juga, padahal era bukan era berperang lagi, tetapi sudah era membangun dan merekatkan perbedaan menjadi sebuah alat pemersatu bangsa ini. Era disebut dengan era orba, presiden Soeharto malah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Larangan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Sejak saat itu, tidak ada lagi kebebasan dan segala kemeriahan serta pernak-pernik Imlek. Semua Etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek di muka umum. Ornamen merah yang menghiasi setiap sudut kota di Indonesia tidak boleh lagi. Imlek hanya boleh dirayakan di rumah-rumah.
Suasana Imlek di Kota Medan
Nah, barulah di tahun 2000 di era reformasi, udara segar dirasakan oleh seluruh etnis Tionghoa di Indonesia, tidak terkecuali di kota Medan. Almarhum Abdurrahman Wahid yang ketika itu menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4 merasakan kesadaran bahwa etnis Cina itu etnis di Indonesia yang plural dan sudah minimal tiga turunan lahir di Indonesia adalah aset besar dan merupakan bagian dari Indonesia Merdeka, sehingga Gus Dur akhirnya mencabut Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tersebut.
Sejak kala itu, maka etnis Cina di kota Medan dan seluruh Indonesia bisa merayakan Imlek dan Cap Go Meh dengan bebas dan semeriah-meriahnya. Tidak ada rasa takut lagi untuk mengekspresikan diri, memulai pertunjukan Barongsai di muka umum, menjual pernak-pernik Imlek yang kental dengan nuansa merah, memajang lampion, hingga diberikan hari libur nasional.
Tidak terkecuali di kota Medan, setiap tahunnya Imlek menjadi perayaan besar dan magnet tersendiri dari bentuk pluralisme di kota yang sangat toleran ini. Warga Tionghoa yang menjadi etnis terbesar ke lima di kota Medan, dengan polulasi sekitar 185,177 jiwa (data BPS tahun 2010).
Sehingga tidak heran apabila perayaan Imlek berlangsung dengan meriah dan bisa memberikan keuntungan bagi pendapatan kota Medan.
Tahun baru Imlek, seluruh warga Tionghoa di kota Medan akan sangat bergembira ria sampai 15 hari dari tanggal 1 Cia-Gwee. Kebetulan tahun ini dimulai dari tanggal 5 Februari 2019, tetapi di sekolah atau perguruan tinggi yang mayoritas atau di dirikan oleh etnis Tionghoa sudah memulai libur dari 4 Februari hingga 6 Februari 2019.
Kebiasaan yang tertata rapi adalah saling memberikan selamat, memberikan angpao, saling mengunjungi untuk mempererat tali silaturahmi. Namun, ada juga pantangan ketika Imlek, diantaranya:
Tidak boleh membersihkan halaman dan dalam rumah agar supaya rezeki jangan terusir. Toko-toko akan baru dibuka setelah 5 hari (Cia-gwee-ce-Gouw). Pada tanggal 15 itu mulailah perayaan Cap Go Meh, dimana diperagakan pasukan Naga. Masa itu dikirimlah kartu ucapan Selamat "Kiong Hee Fat Chow".
Saat Imlek kita akan disuguhkan makanan-makanan unik seperti Jeruk Mandarin, Kue Bakul atau Kue Keranjang yang menjadi ciri khas Imlek, ikan bandeng, dan banyak lagi yang kadang membuat kita sangat ingin berkunjung ke tempat saudara yang merayakan Imlek.
Belum lagi saat Cap Go Meh, kita akan disuguhkan masakan khusus seperti: Tite Ayam tin campur, sambal goreng udang tomat, ayam teng kiok panggang, ayam semur tomat, dan lain-lain.
Senang rasanya ketika saudara kita etnis Tionghoa bisa merasakan Imlek, sama seperti kita bisa merayakan Natal dan Tahun Baru, juga perayaan hari besar agama lainnya tanpa harus ada kecemburuan sosial.
"Mana Angpaonya pak?", begitulah candaan seorang siswa etnis Tionghoa yang kebetulan hari ini sedang mengikuti Simulasi UNBK di sekolah kami.
"Wah mana kue bakulnya dulu?", candaku membalas tawaran dia ketika sesi ujian selesai dan saya memulai wawancara seputar kemeriahan merayakan tahun baru Imlek.
"Apa saja yang kamu lakukan saat Imlek?", itulah awal pertanyaan saya untuk mengetahui tradisi-tradisi Imlek di keluarga mereka.
Intinya, setelah melihat dan mengalami sendiri bagaimana kemeriahan tahun baru Imlek itu, tidak jauh beda dengan suasana Natal dan Tahun Baru yang saya alami beberapa hari yang lalu. Mungkin hanya tata cara merayakannya yang berbeda.
Diantaranya: memupuk rasa persaudaraan, lebih menjalin tali silaturahmi, saling berbagi kasih kepada sesama dan kepada Tuhan dengan cara memberikan rezeki yang kita punya kepada sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H