Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Three Ends", Harus Diawali dari Keluarga, Lingkungan Hingga Masyarakat Sekitar

7 Januari 2017   09:04 Diperbarui: 7 Januari 2017   09:12 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berulang kali aku mencoba s’lalu untuk mengalah...

Demi keutuhan kita berdua walau kadang sakit...

Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu...

Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu...

Samakah aku bagai burung disana yang di jual orang...

Sepenggal lagu diatas mengingatkan kita akan lagu yang booming di era 80 hingga 90-an dipopulerkan oleh Betharian Sonata ini sudah pasti menceritakan bagaimana terjadinya kekerasan terhadap perempuan, khususnya isteri yang diperlakukan tidak adil dalam rumah tangga. Kejadian yang sudah menjadi tradisi di negeri ini dimana cinta dipermainkan, ketika kondisi masih dalam proses pacaran, semuanya sangat indah, dunia serasa milik berdua yang lainnya pada numpang. Kondisi dimana semuanya serba diungkapkan dan dibuktikan dengan kata-kata romantis, kata-kata penuh cinta. Semuanya dikorbankan dan diusahakan agar menggapai puncak yang namanya pernikahan dan terbentuk rumah tangga. Segenggam emas, setumpuk uang, ngutang sana-sinipun dilakukan untuk mewujudkan pesta pernikahan yang super-meriah.

Namun semuanya berubah, ketika kapal rumah-tangga mulai goyah oleh banyaknya terpaan badai, baik itu dari dalam keluarga itu sendiri maupun faktor-faktor dari luar keluarga yang mengakibatkan keluarga goyah yang diawali dengan pertengkaran, ketidakjujuran, ketidakpercayaan diantara suami dan isteri, banyaknya godaan oleh pihak ke-3 dan sebagainya, apalagi masalah keluarga hampir selalu didominasi faktor keadaan ekonomi dan perilaku suami yang mengidap penyakit judi, mabuk dan main perempuan, mulailah keluarga hancur apalagi ketika suami sudah berani menggunakan tangan untuk menampar, memukul isteri dan anak yang lebih dikenal dengan istilah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga).

KDRT Sudah Menjadi Tradisi Turun Temurun

Bicara soal KDRT, maka kita bicara tentang fakta bahwa itu sudah menjadi budaya turun-temurun yang tidak perlu malu untuk dibicarakan, namun perlu solusi dari semua pihak untuk memberangusnya. Sama seperti masalah pungli, KDRT sepertinya sudah mendarah daging dan tidak malu untuk dipamerkan, bahkan di depan anak-anak mereka. Belum banyak keluarga yang menganut istilah “Jika bertengkar, jangan dilihat anak-anak”, sehingga tidak heran apabila kita melihat banyak terjadi kasus keji kekerasan dan kriminalitas yang mayoritas dilakukan oleh anak-anak usia produktif, akibat mereka sering melihat tindakan-tindakan anarkis di dalam rumah tangga mereka.

Tindakan KDRT sudah terjadi jauh sebelum negara kita ini merdeka, contoh kasus yang paling fenomenal seperti yang dialami oleh Nyai Dasima di zaman kolonialHindia-Belanda. Cerita yang sudah melegenda itu menceritakan bagaimana perjuangan seorang Nyai Dasima yang ingin keluar dari belenggu kemiskinan dengan menerima pinangan tuan Edward yang terpikat dengan kecantikan Nyai Dasima dan berniat menjadikannya wanita simpanan.

Namun kebahagiaan rumah tangga Nyai Dasima dan tuan Edward yang telah dikaruniai seorang puteri bernama Nancy tidak bertahan lama karena Saimun yang tergila-gila pada Nyai Dasima berhasil membuat Nyai Dasima bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya berkat bantuan seorang dukun sakti. Jadilah Nyai Dasima mengabaikan tuan Edward dan bersedia dijadikan isteri kedua oleh Saimun yang tidak lain berkomplotan dengan Hayati isteri pertamanya untuk mempeloroti semua harta Nyai Dasima pemberian tuan Edward.

Setelah sukses memperoleh harta Nyai Dasima, maka Saimun menceraikan, mencampakkan Nyai Dasima, bahkan membayar seorang jagoan untuk melenyapkan nyawa Nyai Dasima dan mayatnya dilempar ke sungai Ciliwung. Cerita diatas adalah gambaran dari banyak hal yang kita jumpai sebagai pemicu tindakan KDRT didalam rumah tangga di negara kita ini. Banyak modus yang kita jumpai dan alami sebagai penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak-anaknya. Keinginan untuk hidup lebih baik ternyata tidak segampang membalikkan telapak tangan dan kesemuanya itu terjadi karena timbulnya rasa egoisme yang berlebihan dan tidak mau menerima keadaan rumah tangga, belum lagi godaan yang ditawarkan mengakibatkan nahkoda rumah tangga retak, bahkan hancur berantakan dan berakhir dalam perceraian atau cerita tragis menghilangkan nyawa.

Penulis banyak melihat hal dan kejadian yang terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan membina rumah tangga yang baik sehingga berujung pada tindakan KDRT maupun perceraian yang meninggalkan bekas yang mendalam dan menyedot korban yang bernama : ANAK-ANAK baik itu lewat media televisi, elektronik, surat kabar maupun di lingkungan masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, korban dari KDRT adalah anak-anak yang seharusnya memiliki masa depan cerah, mendapatkan pendidikan dan cita-cita yang urung digapai oleh akibat dari rumah tangga mereka yang broken home, alias berantakan.

Pengalaman sebagai pendidik membawa saya pada kesadaran akan pentingnya membina keluarga itu dari pribadi istri dan suami, bukan orang lain. Selama enam tahun sebagai pendidik di salah satu sekolah negeri, sudah tak terhitung jari-jari lagi melihat ada peserta didik saya yang menderita akibat broken home, dimana kasusnya beragam, tapi kebanyakan ditinggal pergi oleh suami dan lebih memilih hidup dengan wanita lain. Si suami tega pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan asupan kasih sayang maupun pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.

Anak Selalu Jadi Korban KDRT

Pernah si anak harus putus sekolah karena si ibu tidak sanggup memenuhi kewajibannya di sekolah, seperti: uang komite atau uang sekolah yang dibebankan, uang insidental, uang buku, LKS, baju dan berbagai kutipan lainnya. Si anak tidak pernah menceritakan latarbelakangnya yang sudah ditinggal pergi ayahnya dengan wanita lain. Sementara ibu sanggupnya bekerja sebagai tukang cuci ataupun pembantu di rumah-rumah orang kaya di sekitar tempat tinggalnya. Si anak sering ketahuan tertidur saat pelajaran berlangsung, ternyata setelah saya selidiki dengan baik, dia bercerita bahwa dia harus bekerja di doorsmeerdekat rumahnya ataupun membantu-bantu di salah satu rumah makan mie aceh yang buka dari jam 7 malam sampai dengan jam 12 malam demi meringankan beban ibu dan adeknya-adeknya, kebetulan dia adalah anak sulung dari tiga bersaudara.

Ini adalah contoh kecil dari ribuan kasus yang dialami oleh generasi bangsa kita yang mengidam-idamkan negara menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia seperti yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Tetapi kenyataannya? Sungguh ironis melihat kenyataan yang terpajang di negara kita, seperti baru-baru ini, istri melempar suaminya dengan piring dan memukulnya. Suami kalap dan bersama dengan orang bayarannya berkomplotan membunuh isterinya. Suami tega membunuh isteri dan anak-anaknya, dan berbagai macam kasus seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak menambah daftar hitam akibat KDRT.

Sebab Komisi Nasional Perempuan mencatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual dan bentuk kekerasan lainnya.

Bahkan koran lokal hari ini membeberkan fakta terbaru di tahun 2016, akibat suami tidak sanggup memberikan nafkah dan tidak bertanggungjawab terhadap rumah tangga yang dibinanya, sebanyak 2.003 isteri melakukan gugat cerai terhadap suaminya. Fenomena ini meningkat dari tahun ke tahun, di tahun 2014 angka perceraian di kota Medan mencapai 2.025 kasus, tahun 2015 meningkat menjadi 2.372 kasus, tahun 2016 meningkat menjadi 2.527 kasus yang diputus pengadilan Agama Medan. “Dari semua kasus perceraian ini sekitar 60% adalah gugatan dari pihak isteri”, jelas Panitera Pengadilan Agama, Jumri.

Progam Three Ends Sukses Apabila Semua Pihak Sadar Diri

“Setiap hari ada saja gugatan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Medan. Setiap hari juga ada saja yang disidangkan”, ujar Jumri lebih lanjut menjawab fenomena cerai yang berlangsung di kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya ini. 

Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak makin meningkat? Menurut pantauan dan hasil analisis penulis, setidaknya ada tiga hal:

Pertama, tentunya faktor ekonomi. Tingginya tingkat kebutuhan hidup, naiknya harga bahan-bahan pokok, maupun bahan-bahan lainnya yang tidak diimbangi dengan naiknya gaji atau naiknya harga jual dari petani ke pedagang, disinyalir menjadi faktor penting penyebab terjadinya KDRT maupun eksploitasi terhadap anak-anak. Ketidakmampuan menahan gejolak untuk memenuhi segala kebutuhan hidup dan tidak punya prioritaskebutuhan rumah tangga menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kedua, faktor pertengkaran yang terus-menerus terjadi antara suami dan isteri yang menimbulkan KDRT dan menjadikan anak menjadi korban karena mengalami masalah pada psikologi mereka. Banyak kejadian anak menjadi trauma, anak menjadi benci kepada ayahnya karena si ayah suka memukul ibunya sehingga si anak berasumsi bahwa semua lelaki itu sama, bahkan ada anak menjadi terganggu jiwanya akibat perlakuan buruk sang ayah.

Ketiga, faktor si suami atau si isteri ketahuan berpoligami dan selingkuh. Ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah. Peraturan yang jelas harusnya mampu menjerat agar semua warga negara Indonesia bisa meredam aksi poligami, apalagi selingkuh. Hari ini kita kembali disuguhkan dengan perilaku tidak senonoh bahkan tidak terpuji dari pejabat maupun public figure negara kita ini. Tidak jarang kita lihat di televisi, para artis suka gonta-ganti pasangan, suka kawin-cerai dan merasa itu adalah suatu kebanggaan sehingga tidak malu mempertontonkannya dan menjadi santapan berita yang mampu meracuni otak generasi muda kita sehingga berpikir bahwa hal itu adalah hal yang biasa dan lumrah dilakukan.

Hari ini kita kembali dibuat tercengang oleh ulah Bupati yang selingkuh dengan seorang isteri polisi. Bisa dibayangkan bagaimana kronisnya karakter dari para pejabat negeri ini, dimana kemiskinan bukan lagi faktor penyebab perselingkuhan, tetapi terlebih karena hilangnya identitas dan karakter cinta keluarga dan tanah air.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyerukan gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang serta mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan yang disebut dengan program Three Ends.

Untuk mendukung program Three Ends ini sukses, cukup sederhana yaitu saya akan menerapkan cinta keluarga di tengah-tengah keluarga saya, lalu mengajarkan di sekolah bahwa dari sekarang “belajarlah untuk mencintai orang yang kamu cintai dengan APA ADANYA, BUKAN KARENA ADA APANYA. Jangan terus memikirkan cinta, tetapi belajarlah untuk menggapai cita-citamu, gunakan masa mudamu untuk belajar kepada pengalaman, sebab pengalaman adalah guru yang paling baik”. Sebagai blogger aktif, selalu menebarkan kebaikan, berita-berita yang sifatnya positif, tidak mudah tergoda untuk tebar pesona dan mencari mangsa di dunia maya.

Dengan begitu, maka harapannya di tahun 2017 ini, angka-angka perceraian, KDRT maupun anak-anak yang menjadi korban keganasan KDRT tersebut dapat menurun drastis berkat bantuan semua pihak lewat program Three Ends yang dimulai dari dalam diri setiap individu. Semoga!

By: Mr. Oloan (KOMED) Fb:https://www.facebook.com/agus.oloan

Twitt: https://twitter.com/oloansro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun