Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

71 Tahun Indonesia Merdeka, Momentum Menjaga Warisan Kerukunan Beragama di Era Medsos Demi Titah Soekarno

24 Agustus 2016   14:28 Diperbarui: 24 Agustus 2016   14:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, modal Indonesia maju. dokumen pribadi

Ir. Soekarno sosok yang tidak terbantahkan dalam proses memerdekakan Indonesia 71 tahun yang lalu. Kenapa? Karena beliau mampu memenuhi ekspektasi yang disematkan di dalam pundaknya untuk membawa Indonesia keluar dari penjajahan Jepang kala itu. Dalam peluang sempit – setelah Jepang yang berusaha mati-matian menutup-nutupi kekalahan mereka dari Amerika dan sekutunya pasca bom Hiroshima dan Nagasaki – dengan kepercayaan dan keyakinan kepada diri sendiri, walau sepertinya bekerjasama dengan Jepang, namun mampu memerdekakan tanah air Indonesia yang sangat begitu dinanti-nantikan oleh rakyat Indonesia.

Bung Karno – begitu akrab sapaan para pemuda kala itu – sangat begitu aktif dan bekerja keras untuk merumuskan Kemerdekaan Indonesia. Kemampuannya untuk berkomunikasi dengan Jepang, namun hatinya 1000% untuk Indonesia, berpikir dan bertindak sesuai dengan impian sejarah panjang Indonesia. Sebagai buktinya, dia merumuskan sendiri Pancasila yang kelak menjadi dasar Negara Republik Indonesia dan kembali menggemakan Nusantara sebagai bahasa dari Persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia. Bung Karno sadar bahwa Indonesia itu terdiri dari MULTI, multi cultural, multi agama, multi warna kulit, multi etnis, multi bahasa, dan multi geografis yang harus dipersatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengkumandangkan semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA.

Pancasila Terinspirasi dari Buku Sutasoma

Kala Bung Karno di pengasingan di Kota Ende, tahun 1943, beliau banyak menghabiskan waktu dengan membaca kembali buku sejarah Sutasoma karangan Empu Gandring, merenung, dan membuat visi Indonesia setelah Merdeka di bawah pohon Sukun di depan rumah milik Abdullah Ambuwaru yang menghadap Teluk Sawu. Saat membaca buku Sutasoma yang mengisahkan Kejayaan Kerajaan Majapahit abad 13 di bawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada yang terkenal dengan “Sumpah Palapa”-nya, “Saya baru akan berhenti menikmati palapa jikalau seluruh nusantara bertakluk di bawah kekuasaan Negara; jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik sudah dikalahkan.” Untuk mempertahankan Nusantara kala itu. Cerita bukan isapan jempol ini membuktikan bagaimana dasyatnya kekuatan Indonesia kala itu. Dengan armadanya yang dipimpin oleh Laksamana Nala, Kerajaan Majapahit menjadi raja diraja yang ditakuti dan disegani baik oleh kawan maupun lawan. Sebagai Negara yang berdaulat, Majapahit melindungi wilayah kekuasaannya yang meliputi daerah Malaysia dan wilayah-wilayah Republik Indonesia sekarang.

Yang membuat Bung Karno lebih kagum adalah Majapahit memiliki politik hubungan antar bangsa yang terungkap dalam semboyan “Mitreka Satata”, yang artinya “Persahabatan dengan dasar saling menghormati” dengan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, seperti Bima, Kamboja, Thailand, dan lain-lain. Juga kerukunan hidup beragama di masa Kerajaan Majapahit di lukiskan sangat baik dan terjalin dengan sangat erat kala itu. Dengan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika tan hanna darma mangrua”, yang artinya walaupun berbeda, satu adanya, sebab tidak ada agama yang mempunyai tujuan berbeda. Menunjukkan bahwa agama-agama hidup berdampingan damai dan dilindungi oleh Negara.Sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang tercantum pada lambang Negara kita.

Pancasila Krama” yang artinya “Lima dasar tingkah laku,” yaitu tidak boleh melakukan kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh berjiwa dengki, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mabuk minuman keras menjadi dasar Bung Karno untuk menetapkan ide jika Indonesia Merdeka akan menggali nilai-nilai luhurnya ke dalam bentuk Pancasila.

Setelah membacakan teks Proklamasi, merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Ir. Soekarno terus berharap agar kerukunan hidup antar umat beragama terjalin dengan baik agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga dengan baik.

“Aku tidak menciptakan Pancasila. Sebab sesuatu dasar Negara ciptaan tidak akan tahan lama …. Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu Negara, dasar untuk sesuatu wadah, jangan buat sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya daripada sejarah! Galilah sedalam-dalamnya bumi daripada sejarah ‘…. Aku menggali lima mutiara yang terbenam didalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang tetapi oleh karena penjajahan asing yang selama 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi Indonesia ini…. Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya penggali Pancasila dari pada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya; aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang harus berisi masyarakat yang beraneka ragam, beraneka suku, beraneka adat-istiadat”. Demikian pidato Presiden Pertama, Ir. Soekarno dalam amanat Presiden tanggal 24 September 1955 di Surabaya. Pidato ini sepertinya titah bagi kita generasi sekarang agar tetap mengingat bahwa Sila-Sila dalam Pancasila adalah warisan yang harus terus dipelihara hingga sekarang.

Perkembangan Media Sosial di Indonesia

Namun, tidak disangka seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan pesatnya perkembangan era Teknologi Informasi dan Komunikasi yang melanda seluruh Negara di dunia, yang bangsa pasarnya menyasar negara-negara berkembang oleh produk-produk yang diciptakan oleh Negara-negara maju mengakibatkan Negara seperti Indonesia menjadi lahan pemasaran bak kacang yang laris-manis. Indonesia yang memiliki bonus penduduk terbesar ke empat di dunia dengan 250 juta lebih penduduknya, di tahun 2015 menjadi Negara pengguna smartphone (telepon pintar) terbesar ke empat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Bahkan, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) tahun 2015 mencatat jumlah pengguna internet (netizen) di Indonesia mencapai 93,4 juta pengguna atau meningkat 25% dari tahun sebelumnya, dan media sosial adalah media komunikasi yang digunakan dan menempatkan negara kita sebagai Negara yang berpotensi maju dengan pemanfaatan perangkat teknologi.

Tetapi apa? Kenyataannya yang tersaji di lapangan bahwa media sosial ternyata digunakan oleh generasi emas, tepatnya generasi muda yang berumur antara 18 – 25 tahun ini kebanyakan hanya mengupdate status, mengomentari foto atau status teman yang di update di media sosial seperti facebook, twitter, line, instagram, path, whatsup, dll. Bahkan yang lebih miris, media sosial dijadikan sebagai ajang pertengkaran, perkelahian, saling mengumpat, saling memaki, menghasut, jadi ajang bisnis prostitusi, perjudian, hingga efek-efek negative lainnya. Ibarat pisau bermata dua, media sosial oleh para penggunanya lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang negative daripada untuk hal-hal yang positif.

Bahkan, ironisnya media sosial yang tujuan utamanya diciptakan sebagai media interaksi dan komunikasi yang tidak mengenal batasan ruang, waktu, dan jarak, serta sebagai media untuk menambah ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk menambah teman dan wawasan, ternyata lebih disalah gunakan sebagai media provokasi terjadinya kerusuhan berbau SARA (suku, agama, ras (warna kulit), dan antar golongan) yang dapat menghancurkan sila ke tiga Pancasila, yaitu : PERSATUAN dan KESATUAN BANGSA INDONESIA.

Ibarat bom waktu, peranan media sosial di Indonesia bisa berubah menjadi media penghancur kerukunan umat beragama di Negara yang terkenal dengan pluralisme, sebab dihuni oleh multi etnis, multi cultural, dan multi agama.

Media Sosial Pemicu Kerusuhan Sosial di Indonesia

Bukti ketidaksiapan mental masyarakat kita menghadapi era globalisasi dengan perkembangan media sosial adalah kerusuhan yang terjadi di kota Tanjung Balai, Sumatera Utara pada Sabtu (30/07) yang lalu. Delapan tempah ibadah umat Buddha dirusak dan dibakar oleh massa yang tersulut emosinya karena cepatnya pemberitaan yang belum tentu 100% kebenarannya lewat media sosial. Delapan Vihara yang tersebar di beberapa tempat di tanjung balai menjadi saksi bisu dari pengrusakan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang dipicu oleh hal-hal yang sepele, dimana seorang warga keturunan Tionghoa yang beragama Budha bernama Meliana keberatan akan volume suara azan Magrib yang dinilainya agak keras saat dikumandangkan dari Mesjid Al-Makhsum di Jalan Karya Tanjung Balai.

Cara penyampaian protes para warga yang tidak elegan kepada pengurus Mesjid Al-Makhsum agar mengurangi volume suara azan yang berkumandang mengakibatkan umat merasa tidak senang dan kembali mendatangi kediaman Meliana seusai shalat Isya. Nah, disinilah kehebatan media sosial tersebut. Tanpa disadari, informasi yang sebenarnya hanya salah paham ini, dipelintir oleh oknum tertentu untuk menjadi sebuah informasi yang provokatif dan sebegitu cepatnya menyebar, membakar emosi umat yang membacanya yang telah tersulut emosinya.

Mereka ramai-ramai mendatangi rumah Meliana. Karena timbul keributan, maka pihak kepala lingkungan dan kelurahan setempat yang kooperatif mengambil inisiatif untuk membawa masing-masing pihak ke polsek setempat untuk mediasi. Walau sudah diselesaikan secara kekeluargaan, namun karena terlanjur beredarnya pesan bernada provokator lewat media sosial facebook yang dikirimkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan bukan oleh warga yang benar-benar tau akan akar permasalahan, tetapi oleh orang yang sok tau dan belakangan diketahui adalah orang yang sangat jauh dari tempat kejadian perkara, alias orang luar daerah ternyata mampu mengendalikan dan menyulut api kerusuhan lewat media sosial telah mampu mengajak warga Tanjung Balai untuk mulai melakukan aksi penjarahan, pembakaran, dan pengerusakan vihara-vihara yang ada di Tanjung Balai. Di mulai dari Vihara Juanda, massa yang tersulut emosinya oleh karena informasi yang menyesatkan via facebook, massa makin bringas dan membakar vihara di Pantai Amor, hingga beberapa klenteng ikut di rusak massa.

Setelah di selidiki, ternyata muara permasalahan berasal dari status facebook yang diposting oleh warga berinisial AT, berdomisili di Jagakarsa, Jakarta yang ditangkap oleh Polisi dua hari setelah kejadian. Tersangka pelaku terbukti menyebar fitnah berbau SARA dengan menyebar foto-foto mesjid yang dibakar, padahal itu foto-foto sewaktu terjadi kerusuhan 1998. Ini adalah sebuah bukti bahwa telah terjadi distorsi komunikasi yang gampang menyulut emosi untuk melakukan sebuah aksi kekerasan berlatar belakang SARA dan masyarakat kita terlalu gampang untuk diajak melakukan hal-hal yang diluar nalar logika, jika sudah bersentuhan dengan kepentingan agama, suku, ras dan antar golongan, walaupun itu sebetulnya berbenturan dengan masalah kesenjangan ekonomi. Namun, jika dikaitkan ke masalah agama? Maka semuanya bisa berubah menjadi sebuah neraka.

Teori tentang Kerukunan Antar Umat Beragama Tidak Mempan Lagi

Sepertinya di Negara kita ini, teori-teori kerukunan antar umat beragama tidak mempan lagi untuk mengatasi konflik dan ketegangan antar umat beragama yang selama ini telah diterapkan di Negara kita, seperti : Singkritisme, cara membaurkan ajaran agama menjadi satu. Reconception, menyelami dan meninjau kembali agamanya sendiri dalam menghadapi konfrontasi dengan agama lain. Cara ini mengarah pada penyusun unsur-unsur terbaik dari pelbagai agama yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang dan bangsa. Syinthese, untuk menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama. Substitusi, agama-agama yang ada diarahkan untuk berganti agama dan memilih suatu agama yang dianggap paling benar. Terakhir Agree in disagreement, adalah “setuju dalam perbedaan”. Masing-masing pemeluk agama mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan benar. Diantara agama-agama tersebut diakui ada beberapa segi perbedaan dan persamaannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka masing-masing pemeluk agama dapat saling menghargai dan menghormati. Walau itu yang selalu diajarkan dan menjadi semboyan Negara kita, BHINEKA TUNGGAL IKA, namun kenyataannya di era modern ini dibutuhkan beberapa sikap dan langkah nyata, tidak hanya teori untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.

Pertama, pentingnya Pendidikan Etika dan Moral Pemanfaatan TIK di Kurikulum Nasional. Sangat miris melihat pendidikan kita sekarang ini, dimana tiba-tiba saja, tanpa kajian yang jelas dalam struktur kurikulum mata pelajaran TIK dihapus dan dijadikan sebagai mata pelajaran tambahan karena dianggap kurang bermanfaat di ajarkan. Ini adalah pemikiran yang salah, terbukti mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan perangkat IT dengan baik dan benar. Bagaimana etika, moral saat menggunakan perangkat IT diajarkan pada mata pelajaran tersebut. Ketika mata pelajaran ini ditiadakan, maka mari kita lihat apa akibat yang ditimbulkannya. 

Berbagai modus kejahatan bermunculan dan kualitas komunikasi kita lewat media sosial terbukti amburadul, hancur, dan yang ada terjadi adu domba lewat media sosial yang prosesnya lebih cepat daripada secara manual. Kasus di Tanjung Balai adalah contoh sederhana akibat lemahnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka dapat di sekolah. Sikap, mental, dan kecerdasan emosi kita yang lemah dalam menyikapi masalah akibat kurangnya sikap dalam menghadapi bahasa-bahasa provokatif lewat media sosial menjadikan mata pelajaran TIK sangat penting dimunculkan kembali dalam kurikulum sehingga nantinya generasi muda kita bisa belajar lebih baik bagaimana memanfaatkan perangkat teknologi dengan baik dan bagaimana etika dan moral berkomunikasi.

Kedua, pentingnya gerakan Revolusi Mental, gerakan mengasah Kecerdasan Emosional Saat Memanfaatkan Media Sosial. Yang menekankan pada sikap, reaksi dan tindakan masyarakat Indonesia yang lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan daripada otak. IQ dan EQ adalah dua hal yang saling melengkapi, “Jika IQ membuktikan berapa jauh tingkat kepintaran anda, maka EQ menunjukkan bagaimana dan sejauh mana anda menggunakan kepintaran anda itu dengan sebaik-baiknya.” Seharusnya pemerintah memiliki regulasi yang baru untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pesan-pesan bernada provokatif lewat media sosial. 

Disamping lewat pendidikan, dimana kembalinya mata pelajaran TIK di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai SMA, hingga perguruan tinggi yang mengedepankan pentingnya etika dan moral pemanfaatan TIK, juga benar yang dipaparkan oleh Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian yang akan menggandeng Kemkominfo untuk sama-sama mengawasi jaringan internet dan komunikasi lewat media sosial. Polri juga akan berkoordinasi dengan perusahaan-perusahaan luar negeri penyedia jasa layanan internet dan memiliki server di Indonesia agar lebih cepat mengantisipasi beredarnya pernyataan-pernyataan yang berbau provokasi, disamping sudah adanya Undang-Undang ITE untuk menghukum para pelaku kejahatan di dunia maya.

Dengan semangat 71 usia Indonesia sudah merdeka, maka diharapkan munculnya pendekatan media literasi sebagai media yang digunakan untuk mempererat persatuan dan kesatuan dengan tidak menghubung-hubungkan kesenjangan ekonomi dan sosial menjadi akar yang merambah pada kerusuhan akibat informasi-informasi yang berbau provokatif, apalagi menyangkut Suku, Agama, Warna Kulit, hingga Antar Golongan. Cukuplah tragedy di Tanjung Balai sebagai pelajaran untuk terakhir kalinya akibat pemanfaatan media sosial yang tidak pada tempatnya. Mari kita berpikir positif dan menciptakan komunikasi dan penyebaran informasi yang baik dan benar sehingga Negara kita tetap aman dan damai. Semoga kerukunan hidup antar umat beragama tetap terjalin dengan baik, semoga kita bisa menjadi agen pemanfaatan media sosial demi keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Semoga !

Sumber tulisan :

Penyebab Konflik Tanjungbalai Versi Kapolri- (diakses tanggal 20 Agustus 2016)

Ini Kronologi Pembakaran Vihara dan 4 Klenteng di Tanjungbalai   (diakses tanggal 201 Agustus 2016)

Mayoritas Netizen di Indonesia Berusia 1825 Tahun. (diakses tanggal 18 Agustus 2016)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun