Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

71 Tahun Indonesia Merdeka, Momentum Menjaga Warisan Kerukunan Beragama di Era Medsos Demi Titah Soekarno

24 Agustus 2016   14:28 Diperbarui: 24 Agustus 2016   14:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, modal Indonesia maju. dokumen pribadi

Tetapi apa? Kenyataannya yang tersaji di lapangan bahwa media sosial ternyata digunakan oleh generasi emas, tepatnya generasi muda yang berumur antara 18 – 25 tahun ini kebanyakan hanya mengupdate status, mengomentari foto atau status teman yang di update di media sosial seperti facebook, twitter, line, instagram, path, whatsup, dll. Bahkan yang lebih miris, media sosial dijadikan sebagai ajang pertengkaran, perkelahian, saling mengumpat, saling memaki, menghasut, jadi ajang bisnis prostitusi, perjudian, hingga efek-efek negative lainnya. Ibarat pisau bermata dua, media sosial oleh para penggunanya lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang negative daripada untuk hal-hal yang positif.

Bahkan, ironisnya media sosial yang tujuan utamanya diciptakan sebagai media interaksi dan komunikasi yang tidak mengenal batasan ruang, waktu, dan jarak, serta sebagai media untuk menambah ilmu pengetahuan dan teknologi, serta untuk menambah teman dan wawasan, ternyata lebih disalah gunakan sebagai media provokasi terjadinya kerusuhan berbau SARA (suku, agama, ras (warna kulit), dan antar golongan) yang dapat menghancurkan sila ke tiga Pancasila, yaitu : PERSATUAN dan KESATUAN BANGSA INDONESIA.

Ibarat bom waktu, peranan media sosial di Indonesia bisa berubah menjadi media penghancur kerukunan umat beragama di Negara yang terkenal dengan pluralisme, sebab dihuni oleh multi etnis, multi cultural, dan multi agama.

Media Sosial Pemicu Kerusuhan Sosial di Indonesia

Bukti ketidaksiapan mental masyarakat kita menghadapi era globalisasi dengan perkembangan media sosial adalah kerusuhan yang terjadi di kota Tanjung Balai, Sumatera Utara pada Sabtu (30/07) yang lalu. Delapan tempah ibadah umat Buddha dirusak dan dibakar oleh massa yang tersulut emosinya karena cepatnya pemberitaan yang belum tentu 100% kebenarannya lewat media sosial. Delapan Vihara yang tersebar di beberapa tempat di tanjung balai menjadi saksi bisu dari pengrusakan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang dipicu oleh hal-hal yang sepele, dimana seorang warga keturunan Tionghoa yang beragama Budha bernama Meliana keberatan akan volume suara azan Magrib yang dinilainya agak keras saat dikumandangkan dari Mesjid Al-Makhsum di Jalan Karya Tanjung Balai.

Cara penyampaian protes para warga yang tidak elegan kepada pengurus Mesjid Al-Makhsum agar mengurangi volume suara azan yang berkumandang mengakibatkan umat merasa tidak senang dan kembali mendatangi kediaman Meliana seusai shalat Isya. Nah, disinilah kehebatan media sosial tersebut. Tanpa disadari, informasi yang sebenarnya hanya salah paham ini, dipelintir oleh oknum tertentu untuk menjadi sebuah informasi yang provokatif dan sebegitu cepatnya menyebar, membakar emosi umat yang membacanya yang telah tersulut emosinya.

Mereka ramai-ramai mendatangi rumah Meliana. Karena timbul keributan, maka pihak kepala lingkungan dan kelurahan setempat yang kooperatif mengambil inisiatif untuk membawa masing-masing pihak ke polsek setempat untuk mediasi. Walau sudah diselesaikan secara kekeluargaan, namun karena terlanjur beredarnya pesan bernada provokator lewat media sosial facebook yang dikirimkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan bukan oleh warga yang benar-benar tau akan akar permasalahan, tetapi oleh orang yang sok tau dan belakangan diketahui adalah orang yang sangat jauh dari tempat kejadian perkara, alias orang luar daerah ternyata mampu mengendalikan dan menyulut api kerusuhan lewat media sosial telah mampu mengajak warga Tanjung Balai untuk mulai melakukan aksi penjarahan, pembakaran, dan pengerusakan vihara-vihara yang ada di Tanjung Balai. Di mulai dari Vihara Juanda, massa yang tersulut emosinya oleh karena informasi yang menyesatkan via facebook, massa makin bringas dan membakar vihara di Pantai Amor, hingga beberapa klenteng ikut di rusak massa.

Setelah di selidiki, ternyata muara permasalahan berasal dari status facebook yang diposting oleh warga berinisial AT, berdomisili di Jagakarsa, Jakarta yang ditangkap oleh Polisi dua hari setelah kejadian. Tersangka pelaku terbukti menyebar fitnah berbau SARA dengan menyebar foto-foto mesjid yang dibakar, padahal itu foto-foto sewaktu terjadi kerusuhan 1998. Ini adalah sebuah bukti bahwa telah terjadi distorsi komunikasi yang gampang menyulut emosi untuk melakukan sebuah aksi kekerasan berlatar belakang SARA dan masyarakat kita terlalu gampang untuk diajak melakukan hal-hal yang diluar nalar logika, jika sudah bersentuhan dengan kepentingan agama, suku, ras dan antar golongan, walaupun itu sebetulnya berbenturan dengan masalah kesenjangan ekonomi. Namun, jika dikaitkan ke masalah agama? Maka semuanya bisa berubah menjadi sebuah neraka.

Teori tentang Kerukunan Antar Umat Beragama Tidak Mempan Lagi

Sepertinya di Negara kita ini, teori-teori kerukunan antar umat beragama tidak mempan lagi untuk mengatasi konflik dan ketegangan antar umat beragama yang selama ini telah diterapkan di Negara kita, seperti : Singkritisme, cara membaurkan ajaran agama menjadi satu. Reconception, menyelami dan meninjau kembali agamanya sendiri dalam menghadapi konfrontasi dengan agama lain. Cara ini mengarah pada penyusun unsur-unsur terbaik dari pelbagai agama yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang dan bangsa. Syinthese, untuk menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari berbagai agama. Substitusi, agama-agama yang ada diarahkan untuk berganti agama dan memilih suatu agama yang dianggap paling benar. Terakhir Agree in disagreement, adalah “setuju dalam perbedaan”. Masing-masing pemeluk agama mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan benar. Diantara agama-agama tersebut diakui ada beberapa segi perbedaan dan persamaannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka masing-masing pemeluk agama dapat saling menghargai dan menghormati. Walau itu yang selalu diajarkan dan menjadi semboyan Negara kita, BHINEKA TUNGGAL IKA, namun kenyataannya di era modern ini dibutuhkan beberapa sikap dan langkah nyata, tidak hanya teori untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia.

Pertama, pentingnya Pendidikan Etika dan Moral Pemanfaatan TIK di Kurikulum Nasional. Sangat miris melihat pendidikan kita sekarang ini, dimana tiba-tiba saja, tanpa kajian yang jelas dalam struktur kurikulum mata pelajaran TIK dihapus dan dijadikan sebagai mata pelajaran tambahan karena dianggap kurang bermanfaat di ajarkan. Ini adalah pemikiran yang salah, terbukti mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan perangkat IT dengan baik dan benar. Bagaimana etika, moral saat menggunakan perangkat IT diajarkan pada mata pelajaran tersebut. Ketika mata pelajaran ini ditiadakan, maka mari kita lihat apa akibat yang ditimbulkannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun