KKM (Kriteria Ketuntasan Minimun) adalah istilah untuk menilai hasil belajar siswa, jika siswa sudah setara atau melampaui hasil belajar, maka siswa dinyatakan lulus, apabila masih dibawah KKM, maka akan diadakan remedial, yaitu proses pembelajaran kembali isi materi pembelajaran. Beruntung, karena hasil nilai UN minimal 5,5 tidak dipakai lagi sebagai syarat kelulusan, tetapi sekolah yang menentukan lulus tidaknya siswa.
KKM ditentukan secara mandiri oleh sekolah, inilah yang menjadi masalah besar dalam dunia pendidikan nasional kita, sebab KKM disetiap sekolah berbeda-beda dan berlomba-lomba untuk membuat KKM setinggi-tingginya agar siswa memperoleh nilai tinggi, sehingga hakekat penilaian yang berfokus pada proses akuisisi ilmu sesuai dengan tahapan perkembangan pembelajaran individu siswa menjadi tidak bermakna. Evaluasi belajar hanya memotret hasil akhir secara klasikal dengan standar-standar yang sebenarnya jauh dari makna pembelajaran itu sendiri.
Yang terjadi adalah masing-masing sekolah berusaha mematok nilai KKM yang tinggi sehingga kesempatan lolos seleksi jalur undangan besar padahal, siswa tersebut belum tentu layak mendapat nilai tinggi. Proses pendidikan menjadi tidak rasional lagi, semakin jauh dari otentisitas proses pembelajaran.
Sungguh diperlukan sistem penilaian online, dimana nilai rapor langsung terkoneksi ke pangkalan data pokok pendidikan mulai dari semester I hingga semester akhir, sehingga pihak sekolah tidak pernah lagi melakukan “cuci” rapor dan perbaikan nilai. Sehingga Kebijakan UN, baik yang berbasis kertas maupun berbasis komputer mampu memberikan dampak signifikan dalam proses pembelajaran dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Kebijakan UNBK sangat patut didukung dengan sepenuhnya sebagai sistem evaluasi yang mendukung proses pembelajaran, karena pada kenyataannya dengan UNBK maka kejujuran dan validitas hasil ujian dapat dijadikan pedoman keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran. Pak Anies sendiri dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa UNBK memiliki indeks integritas tinggi
Masalah Etika, Moral, dan Perilaku Jujur Siswa
Kedua, persoalan etika, moral, dan kejujuran siswa sudah menjadi masalah besar di negara kita. Di bulan Mei ini yang kita kenal dengan bulan Pendidikan Nasional, kita disuguhi dengan fakta dan kenyataan pahit dunia pendidikan. Pertama di Sumut, seorang mahasiswa tega membunuh dosennya dengan cara yang sadis dan jauh dari kata peri kemanusiaan. Kedua, satu bulan sebelumnya kita disuguhi fakta pemerkosaan disertai pembunuhan keji yang dilakukan sekelompok pemuda tanggung terhadap seorang siswa pelajar SMP di Bengkulu bernama Yuyun, dua pelakunya kakak kelas korban. Ketiga, “pembunuhan cangkul” keji yang juga dilakukan oleh tiga pria tanggung terhadap seorang wanita buruh pabrik di Tangerang, bernama Enno Fahirah. Lagi-lagi otak pelakunya masih berstatus pelajar, yang tugas utamanya menuntut ilmu dan didik untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Terungkap, motif para pelaku membunuh korbannya karena masalah emosi dan karakter yang masih labil, juga terungkap karena ketidakmampuan untuk menahan nafsu akibat pemanfaatan perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang tidak pada tempatnya. Pelaku pemerkosa dan pembunuh Yuyun diketahui sering menonton film porno dan sudah mengkonsumsi tuak, padahal belum umurnya mereka untuk mengkonsumsi hal-hal negatif tersebut, sehingga dituntut peran dan kontrol orangtua, keluarga, hingga masyarakat sekitar agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Sekali lagi, peran guru TIK dalam mengajarkan etika dan moral pemanfaatan TIK sangat diperlukan sebagai tindakan preventif (pencegahan).
Pun dengan kasus “pembunuhan cangkul” yang diotaki oleh seorang pelajar SMP, tega memperkosa dan membunuh pacarnya sendiri dengan gagang cangkul. Terungkap sebelum bertemu, pelaku terlebih dahulu bermain game (playstation), mengindikasikan si pelaku terobsesi dengan adegan game dan terbawa emosi untuk mempraktekkan apa di dalam game tersebut ke dunia nyata (halusinasi). Memang Perppu kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur telah ditandatangani, pun perpres tentang hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan asusila telah disetujui, namun masyarakat kita ingin lebih dari itu. Kita ingin sebuah sistem pendidikan yang mengutamakan pendidikan karakter dan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang mampu meredam efek negatif dari pemantaan TIK tersebut bagi para peserta didik kita.
Masalah ketidakjujuran juga sudah menjadi masalah klasikal yang kita hadapi. Dimulai dari UN yang selalu menghasilkan kebocoran soal yang dilaksanakan secara terstruktur dan masif selalu menjadi bobrok yang harus ditutupi. UNBK adalah solusi tepat untuk meningkatkan kualitas kejujuran siswa sejauh seluruh prosedur ditaati. Sehingga memunculkan wacana tahun 2017, seluruh sekolah yang sudah akreditasi A wajib melaksanakan UNBK.
Era Reformasi TIK