Kompas, tidak terasa telah berumur 50 tahun, terbit sejak 28 Juni 1965 Kompas telah menjadi lokomotif dan indikator berita arah kemajuan Bangsa Indonesia yang dituangkan dalam tulisan-tulisan yang ringan, padat, lugas, bermakna dan mampu mengajak pembaca untuk berkomunikasi serta serasa bagian dari berita.
Kompas dan Sejarah
Harian Kompas yang didirikan oleh Petrus Kanisius Ojong (1920 – 1980) dan Jakob Oetama (1931 – sekarang) adalah harian terbaik di Indonesia yang dibangun dengan susah payah yang awalnya bernama Majalah Intisari. Harian Kompas dibangun dengan semangat untuk mengembangkan Indonesia dan memberitakan peristiwa dari Sabang sampai Merauke dalam satu bingkai harian yang bernama Kompas. “Small Indonesia in the making,” itulah ungkapan cita-cita bahkan mimpi the founding father’s Kompas Gramedia yang telah terwujud di usia 50 tahun ini.
Sejarah dalam sejarah, itulah kesimpulan yang saya ungkapkan ketika membaca harian Kompas, khusus edisi ulang tahun yang ke – 50 dengan sajian 100 lembar. Cukup fantastis hadiah yang diberikan oleh Kompas Gramedia dalam memanjakan para pembacannya. Yang lebih fantastis lagi, harga yang super-super murah, hanya Rp. 4000,- / eksemplar, harga yang seharusnya cocok untuk semua kalangan dan golongan masyarakat. 100 halaman, kita disuguhkan berita-berita yang bermanfaat, isi yang berkualitas dan kembali menapaktilasi sejarah kejadian-kejadian penting selama 70 tahun Indonesia Merdeka. Sejarah dari tahun 1967 dapat kita nikmati di edisi spesial 50 tahun Kompas berdiri. Namun, kembali masalah kualitas minat baca masyarakat Indonesia yang kurang dan tergolong parah, mengakibatkan Kompas edisi 100 halaman di hari ulang tahunnya tidak mendapat sambutan yang luar biasa.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/27/143541464910436913547.jpg?v=300&t=o?t=o&v=770)
Kompas dan Pendidikan
Jika saya bagikan harga Kompas Rp. 4000 dengan jumlah 100 halaman, maka biaya cetaknya hanya 40 rupiah per halaman, padahal halaman-halaman koran Kompas Gramedia itu dikenal full color, full text, dan kualitas cetakan nomor wahid. Asli kita tidak pernah melihat koran Kompas itu cacat cetakan, namun punya kualitas kertas nomor satu dan memiliki ciri khas tersendiri.
Kompas adalah Pendidikan, “Jika ingin pintar, smart dan berwawasan luas, maka bacalah Kompas,” itulah pesan Pastor Paroki, Pastor Purnomo, O. Carm ketika saya pertama kali kenal dengan Kompas 19 tahun yang lalu. Ketika itu, saya akan mendaftar di Seminari dan saya duduk diruang tamu, tanpa sengaja menunggu Pastor, saya membaca-baca koran Kompas yang terletak dimeja tamu. Saya perhatikan halaman per halaman, to the point aja jika baca koran maka halaman yang saya tuju pertama kali adalah kolom olahraga Sepak Bola, saya ingat sekali berita yang sangat menarik perhatian “Piala Afrika 1996 yang diselenggarakan di Afrika Selatan”, itulah berita yang saya baca ketika mengenal Kompas.
Nah, eksistensi, dukungan dan komitmen untuk memajukan dunia pendidikan dan memberitakan pembangunan dan perkembangan Indonesia telah menjadikan Kompas Gramedia pilihan terbaik bagi sekolah-sekolah, yayasan-yayasan, perusahaan, maupun individu-individu yang ingin memperoleh Informasi lebih.
Ketika saya berada di Seminari, benar saja Kompas menjadi santapan setiap pagi dan malam, bersama dengan Tabloid Olah Raga Bola adalah bacaan wajib di Komunitas seusai makan malam dan sarapan pagi. Kadang harus berbagi halaman dengan teman-teman yang lain. Sungguh lucu kala itu.
Pengalaman, mengapa saya mengatakan koran Kompas adalah Pendidikan, karena isi koran Kompas edisi Februari 2013 yang kala itu mengupas tentang hasil PISA (Programme for International Student Assessment) yang menempatkan Indonesia berada di urutan 10 paling bawah bersama dengan Brazil dengan predikat terendah dalam hal penguasaan ilmu-ilmu Sains. Ketika itu fakta yang saya ambil dari sumber Kompas tersebut ikut membantu saya untuk meraih 10 finalis dalam Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan oleh salah satu Universitas terbaik di Indonesia dan mendapatkan kesempatan untuk presentasi lebih di Jakarta. Sehingga hingga sekarang, jika ada kesempatan untuk membaca koran Kompas, maka halaman per halaman akan tetap saya pelototi sampai habis.
Namun, sepertinya untuk sekolah-sekolah tertentu berlangganan Kompas Gramedia masih dianggap membuang-buang anggaran sehingga distop dan hanya berlangganan koran lokal.
Menikmati Kompas
Menjadi penikmat, tidaklah gampang, butuh proses. Demikian juga untuk menjadi penikmat koran Kompas, dibutuhkan waktu yang lama untuk membaca halaman per halaman edisi 100 lembar koran Kompas. Apalagi hadir dengan tema “Merekam dan Memaknai”, kita disuguhkan awal berita dengan pengantar yang mengingatkan kita akan Sila ke – 3 Pancasila, “Kekuatan yang Bersatu itu Lebih Kuat”. Juga berita pertama dan utama yang hadir kala Kompas pertama kali tayang tanggal 28 Juni 1965, “KAA II Ditunda Empat Bulan”, kita dibawa untuk kembali ke masa-masa sejarah penting yang terjadi di Indonesia dan dunia Internasional dalam kurun waktu 1965 – 2014, dimana proses Capres Joko Widodo menggapai puncak kekuasaan tertinggi di negeri ini dengan judul “EFEK JOKOWI”.
Kita ingin kembali mengenang masa-masa suram dan mencoba menguak sejarah lama Orde Lama dan Orde Baru hingga Orde Reformasi? Semuanya ada disini, dimulai dari “Surat Perintah 11 Maret 1966, Pengalihan Kekuasaan?”, hingga dosa-dosa Orde Baru? Atau kisah Bank Century dan kisah penyamaran Gayus Tambunan yang kedapatan menonton Tennis di Bali? Atau mengenang kembali bencana Tsunami Aceh hingga Longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah sampai ke Lumpur Lapindo yang tak kunjung reda? Atau masih geram dengan fakta Korupsi yang masih merajalela di negeri ini? Mari silahkan nikmati dan temukan jawabannya di koran Kompas Gramedia edisi Jumat, 26 Juni 2015 yang full 100 lembar dengan harga yang super ekonomis.
Satu lagi fakta salut akan koran Kompas, sampai saat ini hanya Kompas Gramedia-lah yang peduli dan selalu mengangkat berita tentang dilema yang dialami oleh Komunitas atau Guru-Guru yang mengajarkan mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang tidak lagi dapat mengajarkan mata pelajaran TIK di sekolahnya karena penghapusan mata pelajaran tersebut di Kurikulum 2013 dan adanya Permen 68 tahun 2014 yang mengubah peranan dan fungsi guru TIK sebagai layanan, bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Padahal, jika kita lihat sejarah berdirinya Kompas oleh almarhum Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama adalah berangkat dari keprihatinan akan kondisi Pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan Sumber Daya Manusia yang tidak berkualitas, banyak tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Almarhum Petrus Kanisius yang awalnya berprofesi Guru SD Budi Mulia, kemudian belajar Jurnalistik dan menjadi Redaktur Pelaksana di Star Weekly.
Pun dengan pak Jakob Oetama (83 tahun) adalah seorang mantan Guru SMP Mardiyuwana dan SMP van Lith Jakarta serta Dosen UI yang mendedikasikan dirinya menjadi Wartawan dan mendirikan Media Cetak Kompas Gramedia untuk mengembangkan manfaat Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan memberikan manfaatnya bagi masyarakat luas dari generasi ke generasi dengan Industri Ilmu Pengetahuan yang mereka rintis dan telah menuai dari apa yang mereka tanam.
Kompas Gramedia telah menjadi kekuatan berita Indonesia yang sudah dikenal luas hingga ke mancanegara. Dengan slogan “Amanat Hati Nurani Rakyat”, Kompas telah menjelma menjadi sumber inspirasi berita. Semoga, di Ultah yang ke – 50 ini, Kompas semakin memberikan yang terbaik. Selamat Ulang Tahun yang ke – 50.
Salam #Kompas50thn #Kompasiana dan #KompasTV
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/27/143541492310956809268.jpg?v=300&t=o?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI