Â
Akhir Juli 1965 kondisi kesehatan Presiden Soekarno semakin memburuk. Pagi hari, Rabu 4 Agustus 1965--saat berada di Istana Tampaksiring, Bali--Presiden Soekarno mengalami pusing, muntah-muntah, dan pingsan. Dokter yang didatangkan dari China memvonis; kondisi terbaik adalah kelumpuhan dan kondisi terburuk adalah meninggal dunia.
 ---
Di kalangan elite politik Indonesia timbul keresahan: Apa yang akan terjadi jika Presiden Soekarno mangkat? Siapa yang menggantikan?Â
Sejak Moh.Hatta mengundurkan diri  pada 1 Desember 1956, Presiden tidak didampingi wakil yang secara konstitusi bisa mengambil alih kendali pemerintahan jika presiden berhalangan.
Situasi politik Indonesia tampak sulit--dan memang sulit. Presiden Soekarno sudah didaulat sebagai presiden seumur hidup sesuai TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963.Â
Menjadi sangat tabu bicara regenerasi kepemimpinan selagi Presiden Soekarno masih ada. Mendung gelap menyelimuti Istana Merdeka. Dan sepertinya semakin suram dan tidak jelas.
Presiden Soekarno punya peran sentral sebagai penyeimbang kekuatan politik di Indonesia. Cara pandang Bung Karno yang menghimpun beragam idiologi sebagai sumber daya politik Indonesia tampak dari idiologi Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).Â
Di forum internasional Presiden Soekarno selalu membanggakan; Indonesia adalah laboratorium politik paling lengkap di dunia. Keberadaan idiologi tersebut membuat PKI merasa nyaman.
Sakitnya Bung Karno menjadi pemicu bersiapnya berbagai kelompok politik untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi kelompoknya--terutama PKI.Â
Kehilangan Bung Karno, bagi PKI adalah kehilangan patron pengayom. Kondisi politik yang sebelumnya sudah panas semakin panas.