Edisi terbaru, pada 2018 Argentina kembali bangkrut. Pada 2020 Argentina ngotot tidak mau bayar utang. Kreditor hanya plonga-plongo terhadap reaksi Argentina. Bahkan kata-kata Argentina lebih keras dibanding keinginan bayar utangnya.
Sepak bola menjadi pelipur nestapa masyarakat Argentina. Meskipun secara statistik prestasi olahraga sepak bola tidak mempengaruhi ekonomi Argentina menuju ke arah yang lebih baik. Punya peran, tapi kecil. Terbesarnya pada identitas nasional. Argentina adalah bola. Dunia mengenalnya.
Peran sepak bola seolah menjadi pil tidur, supaya masyarakat secara psikologis tidak massif teriak-teriak di jalan atau bakar ban. Menjadi obat penenang di tengah kebangkrutan ekonomi.
Argentina terlihat megah di layar kaca dengan prestasi olahraga sepakbolanya. Di sisi lain, Argentina didera malapetaka kronis di bidang politik dan ekonomi. Gejolak politik yang sering diwarnai kudeta, pemimpin yang anti pasar, dan juga oligarki politik kronis. Menjadikan Argentina terperangkap pada situasi tidak menentu.
Argentina adalah paradoks. Merdeka pada 1816. Dekade 1900-an ekonominya di atas Italia dan Jepang. Pendapatan perkapitanya 500% lebih tinggi dari tetangganya, Brasil.
Seolah sudah di depan mata Argentina akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi dunia yang berpengaruh. Tinggal selangkah menjadi negara maju. Nyatanya lain.Â
Pada 1930-an terjadi kudeta politik. Terjadi pembelokan kebijakan ekonomi. Dari liberal ke terpusat. Dari titik itulah sampai sekarang Argentina semacam terjerembab dalam kubangan masalah yang tidak terurai.
Pada 2022, rasio GDP terhadap utang mencapai 100%. Ini jelas tidak sehat. Untuk ukuran negara berkembang, ini indikator negara sedang sakit. Pada Maret 2023 inflasi tercatat 102,5%. Sebulan kemudian, April 2023 inflasi tercatat 109%. Dan benar, Argentina benar-benar sakit.
Indonesia dan Argentina
Kalau mau dibandingkan secara ekonomi, kemampuan Indonesia dan Argentina tidak terpaut jauh. Argentina bukan sebuah negara maju. Sekelas dengan Malaysia atau Thailand.Â