"Kenapa, sih, harus sekolah, Pa? Aku tidak mau sekolah. Membosankan. Membosankan. Membosankan!"
Di atas adalah narasi gerutuan anak saya. Anak laki-laki, kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah. Sambil ngambek, terlihat wajah ironinya. Gabungan keterpaksaan berangkat sekolah, dan bertahan melanjutkan tidur. Situasi yang absurd.
Saya yakin, jika lenganku dibebat bladder tensimeter, lalu bulp ditekan-tekan, jarum angkanya pasti bergerak ke kanan dengan impresif. Saya tidak berniat membuat cerita fiksi. Sekali lagi tidak. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang buah hati.
Gerutuan anak saya, jelas bentuk keengganan. Ketidaksukaan ketika harus berangkat sekolah. Kejadian yang boleh dikata sering. Sangat sering. Seolah menjadi rutinitas. Â Ya, saat dibangunkan pagi hari. Pada Selasa, Rabu, Kamis, dan juga Jumat. Empat hari dalam seminggu. Menyisakan dua hari pengecualian yang penuh tanda tanya.
Dirinya juga pernah memprotes jumlah hari, "Pa, seharusnya seminggu itu tiga hari saja. Senin, Sabtu, dan Minggu?" Aku tahu arah keresahannya. Dia ingin mendeportasi jauh-jauh, hari dengan mata pelajaran yang dia tidak suka. Â Aku jawab, "Ya, harusnya dua hari saja, Nak. Sabtu dan Minggu,"Â Dia malah terkekeh. Tertawa puas.
Dunia Anak adalah Bermain
Hari Senin, menurutnya istimewa. Sebab, waktunya pelajaran matematika dan sains. Hari Sabtu waktunya bahasa inggris. Dia suka dua mata pelajaran itu. Sebabnya, dia menguasai materinya. Maka saat berangkat, dia penuh semangat.
Saat pulang pun tetap senang. Matanya berbinar. Sering dia cerita tentang hitungan matematika yang salah dari temannya. Atau cerita tentang temannya yang susah ngomong bahasa inggris. Sampai dia tertawa terpingkal. "Bahasa Inggrisnya seperti baling-baling di persawahan, Pa" Saat mendeskripsikan temannya sewaktu baca Bahasa Inggris, dengan diksi mendengung.
Hari Minggu lebih istimewa lagi. Dirinya bangun lebih awal. Tanpa perlu invasi audio; berisik jam beker, atau celotehan mamanya. Dengan semangat dia akan bangun. Bertemu dengan teman-temannya. Lalu janjian, bermain ke kolam mata air alami tidak jauh dari rumah. Berenang dan bercanda bersama. Sepuasnya. Sekuatnya.
Selesai berenang, kebiasaannya, dia akan cerita dengan antusias kepada mamanya. Saya merasakan ada kemerdekaan penuh dari narasi yang dirinya lontarkan. Kemerdekaan menikmati apa yang ingin dinikmati. Dalam hati tebersit tanya: