Ilustrasi kekuasaan. Sumber: Kompasiana.com via Geotimes
Mengapa saat berinteraksi dengan "penguasa" dan orang kaya cenderung menjengkelkan. Apakah setiap "penguasa" dan orang kaya itu menjengkelkan? Sains menjawabnya: IYA!
---
Pernahkan Anda dibentak orang, dimaki-maki orang karena sebuah kesalahan yang sepele--yang harusnya bisa dimaafkan dengan mudah.Â
Orang yang membentak Anda berpakaian seragam. Seragam apa saja. Institusi apa saja. Â Seolah seragam yang dipakai sebagai sertifikat halal untuk ngamuk ke siapa saja.
Jika pernah, Anda harus memahami bahwasanya seragam dan segala atribut kekuasaan bisa membuat pemakainya mengalami gangguan pSikologis. Setengah gila. Atau malah gila beneran.Â
Namun anehnya mereka tidak merasa gila. Itulah gilanya kekuasaan. Jangan-jangan itu Anda, atau anggota keluarga Anda. Atau bahkan saya sendiri.
Menarik apa yang dilakukan oleh Profesor Dacher Keltner--pakar utama Machiavellianisme di Universitas California, Berkeley. Pada 1998 Keltner melakukan penelitian kaitan efek psikologis memakai mobil mahal--hanya orang berduit yang punya.
Subjek pertama diminta menyetir mobil Mitsubishi bobrok ke arah tempat penyeberangan di mana ada orang yang akan menyeberang. Hasilnya semua pengemudi berhenti dan menaati aturan.
Subjek kedua menyetir mobil Mercedes keren. Hasilnya 45% tidak berhenti dan tidak peduli terhadap pejalan kaki. Catatan dilanjutkan: Semakin mahal mobilnya pengemudinya makin kasar. Arogan. Penelitian ini diulang. Hasilnya sama. Diulang lagi. Masih sama.
Nah, Anda pasti akan mengiyakan, karena fenomena ini marak di dunia nyata. Mobil bisa diganti dengan objek lain: Senjata, barang branded, kehormatan atau apa pun.
Kekuasaan itu Candu
Kekuasaan dan kekayaan itu seperti candu. Memang candu. Keduanya seperti satu paket.Â
Kaya, lalu punya kekuasaan. Punya kekuasaan, lalu kaya. Seolah saudara kembar yang tak terpisah.
Heroin dan sejenisnya membuat penggunanya tidak bisa berpikir waras. Tindakannya tidak terkendali. Abai terhadap norma sosial. Bahkan dengan gagah melanggar norma sebagai atraksi untuk menunjukkan dirinya hebat. Atau malah tidak tahu itu salah.Â
Mereka seolah berada di luar jangkauan. Mereka seperti aliens. Kekuasaan dan kekayaan punya akibat yang sama. Sama persis. Memabukkan.
Masih membahas temuan Keltner. Gangguan psikologis akibat kekuasaan, Keltner menyebutnya sosiopati dapatan (acquired sociopathy). Sebuah gangguan kepribadian antisosial yang bukan warisan. Sosiopati dapatan biasanya terjadi karena benturan di kepala yang merusak bagian tertentu otak, dan mengubah orang baik jadi tidak baik.
Orang yang mengidap sosiopati dapatan cenderung keluar dari lingkaran sosial yang ada.Â
Ada kecenderungan mereka merasa berbeda. Saat temannya tertawa, orang normal cenderung ikutan tertawa sebagai wujud pencerminan.
Orang berkuasa cenderung menghindari itu. Pertanda melemahnya pencerminan. Menganggap dirinya berada di atas. Mereka tidak terhubung dengan lingkungan sosial. Mereka menganggap dirinya superior. Pikiran mereka seperti itu. Nyatanya memang begitu.
Hasil penelitian Profesor Dacher Keltner bisa untuk menjelaskan kasus yang lagi ramai. Seorang anak pegawai pajak dengan menaiki mobil mewah harga milyaran, dengan brutal menganiaya seorang remaja hanya masalah sepele. Remaja yang layak sebagai adiknya. Layak dilindungi. Makian tidak takut hukum nyembur dari mulutnya saat menendang dan menginjak korban.
Apakah dirinya tidak melihat dari pemberitaan TV tentang Jendral Bintang Dua yang divonis hukuman mati akibat membunuh ajudannnya? Seratus persen saya yakin dirinya mengetahui hal itu. Tapi hanya sekadar tahu. Bukan malah berhati-hati untuk tidak masuk dalam kondisi yang sama.
Mobil yang dikendarai, jabatan yang disandang bapaknya dan kekayaan melimpah yang didapatkan--entah dengan cara bagaimana. Membuat emosinya labil, seperti orang gila. Tidak wajar secara sosial.
Video penganiayaan yang dirinya lakukan sangat mengerikan (lihat saja sendiri). Terlihat keinginan membunuhnya tinggi. Bahkan mungkin dia akan puas saat korbannya tewas. Mentalnya mentah. Benar-benar mentah. Mati rasa. Kekayaan dan imajinasi kekuasan, menjadi benturan hebat di kepalanya. Merusak sistem kerja otaknya.
Kesimpulan
Lemahnya pendidikan karakter di dalam keluarga, bisa jadi sebab utama. Munculnya generasi rapuh, berwatak Hitler.Â
Gaya hidup sederhana, kerja keras, lupa ditanamkan. Bahwa memperoleh kekayaan harusnya dimulai dengan kerja keras. Tidak ada yang mudah. Tidak ada yang instan. Pun tidak ada yang gratisan.
Saya hanya berpikir, apa yang terjadi jika anak usia 20-an tahun dipegangi AK-47?
Jika anak dididik dengan gaya hidup sederhana, dirinya akan lebih peka dengan lingkungan sosialnya. Dia berproses secara normal. Mengalami pasang surut, pahit getir kehidupan. Â
Memanjakan anak dengan mendapatkan fasilitas terbaik dengan alasan agar tidak sengsara seperti orang tuanya sama dengan membuka pintu arogansi pada anak.Â
Proses mencari uang dianggap mudah. Dan jika menganggap segala persoalan bisa diselesaikan dengan uang, makin merajalela tabiatnya.
Budaya hedonis yang marak juga bisa memicu tindakan kekerasan dari kelas sosial atas terhadap kelas sosial di bawahnya. Merasa punya kemampuan dan tindakannya akan dilindungi dari jerat hukum. Hukum bisa dibeli, bisa jadi alasan tidak gentarnya terhadap hukum yang berlaku.
Maka dengan adanya kasus yang menjadi atensi publik secara luas. Pemerintah harus mengambil ketegasan.Â
Anak pejabat tersebut yang kekayaannya dipertanyakan harus di jadikan monumen hukum. Hukum seberat-beratnya. Usut kekayaan keluarganya. Biar semua bisa belajar dari apa yang namanya kekayaan dan kekuasan.
Karena saya yakin masih ada penguasa dan orang kaya berhati mulia. Walaupun itu hal langka. Tapi masih ada, dan masih ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H