Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kelahiran Buah Cinta: Sebuah Proses Perjuangan Menjaga Kelestarian Gen

4 Februari 2023   09:09 Diperbarui: 1 Maret 2023   21:25 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                             Foto saya saat di pelaminan: Dok.Pribadi

Kehidupan rumah tangga punya kisahnya masing-masing. Ada orang yang ekonominya mapan. Dikaruniai anak-anak sehat dan lucu. Suami atau istri yang cakep dan setia. Ada yang ekonominya pas-pasan. Hidup penuh dilema. Pun bernuansa drama. Mendamba anak tak kunjung jua. Aura perselingkuhan terus mendera. Ya, begitulah. Selamat datang di dunia fana.

----

Fitrahnya setiap pasangan ingin punya keturunan. Faktanya, tidak demikian. Sebagian kecil pasangan tidak sependapat. Mereka secara tegas tidak menginginkan kehadiran anak.  Bendera childfree dikibarkan. Alasannya beraneka. Salah satunya: tidak ramah lingkungan.

Kehadiran satu spesies manusia akan menambah beban bumi. Menambah daftar kemalangan dan kerusakan ekosistem. Sebagaimana ramalan ahli demografi Robert Malthus. Grafik pertumbuhan penduduk dan pangan selalu berseteru. Tak pernah akur. Yang satu ke kanan, satunya ke kiri. Over populasi adalah malapetaka.

Logika itu tidak salah, juga tidak seratus persen benar. "Di manakah tempat yang paling indah, penuh dengan kelimpahan kehidupan, udaranya masih murni, airnya masih sehat dan langitnya biru?"  Tempat yang di situ tidak ada manusianya.

"Dimanakah tempat yang hangat, tempat bertukar cerita dan derita yang membuat kita bahagia, merasa hidup punya makna?" Tempat di situ dihuni orang-orang saling peduli satu sama lain: keluarga!

Ranah ekologis bertarung dengan ranah sosial-psikologis. Aku membatasi diri untuk tidak berdebat tentang pro kontra kelahiran anak. Alasannya, tidak punya kapasitas ilmiah. Itu pilihan masing-masing. Jalan hidup masing-masing.

Aku menikah dan ingin punya anak. Itu pilihanku. Naluri primitif setiap makhluk hidup adalah berkembang biak. Selain bernafas dan bergerak. Itu juga berlaku mulai dari tonggeret sampai cihuahua. Dan diriku masih memelihara naluri primitif itu. Sama seperti spesies yang lain.

Dianugerahi buah cinta adalah anugerah. Hambar rasanya--menurutku--sebuah rumah tangga tanpa tangisan seorang bayi. Hening. Sunyi. Atau malah beraroma kehampaan.

Rumah yang temboknya penuh coretan abstrak bocil--misal gambar manusia berkepala garpu--akan lebih bernyawa dibanding tembok bersih mulus putih. Ini hanya pendapat pribadi. Tidak mewakili delapan milyar Homo sapiens yang melata di atas bumi.

Pengalaman Program Hamil

Saat menikah usiaku 30, istri 24 tahun. Usia segitu masih ganas-ganasnya. Seperti buldoser baru keluaran pabrikan Jerman. Cepat panas, pun dengan raungan yang ekspresif . Pengennya ngegas terus. Gas pol, rem blong.

Namun, kegalauan melanda. Setahun setelah menikah, belum ada tanda-tanda istri hamil. Ada apa ini? Apa ada yang salah dari kesehatan kami berdua? Sedangkan pertanyaan, "kapan punya momongan?", terus datang bertubi-tubi. Layaknya interogasi kubur: menakutkan.

Istri saya sampai stres menghadapi pertanyaan tersebut. Kami berdua tidak program KB. Seharusnya tidak ada hambatan untuk segera punya momongan. Seharusnya begitu. Namun kenyataannya tidak begitu. Teori dan praktik tidak selamanya linier. Sampai pada keinginan untuk konsultasi ke dokter spesialis. Dari sinilah, sebagai laki-laki, mentalku diuji. Benar-benar diuji.

Terpikir olehku. Kalau ada tindakan medis untuk melihat kesuburan; misal, terdeteksi sel sperma ekornya buntung, sehingga gerakannya melambat. Jalannya menceng. Kurang gesit. Tidak bisa membuahi sel telur. Bisa menjadi pukulan telak sebagai laki-laki. Aku grogi, pikiranku kacau.

Untungnya, itu tak berselang lama. Secercah harapan muncul. Bukan dari dokter, tapi dari teman satu kantor. Saat di kantor, temanku, yang sudah berpengalaman, memberi nasehat. Aku dibangkitkan oleh nasehatnya. Sarannya cukup sederhana. "Tidak usah panik. Sampean hanya kurang piknik, Mas. Ajak istrimu ke gunung, ke pantai atau ke mana saja asal senang. Buat hidupmu berdua  fresh biar bibitnya juga ikutan fresh"

Nasehat itu saya turuti. Saya agendakan untuk naik Gunung Ijen, jelajah pantai dan ke mana pun tempat untuk refresh. Selain itu istri selalu menyediakan kecambah untuk saya konsumsi. Porsinya banyak . Dan harus habis. Tak ada pilihan lain, aku selalu habiskan.

Sebulan kemudian. Oktober 2013. Istriku yang biasanya kalap dengan bakso, berubah muak dengan bakso. Saat melihat orang membawa mangkok bakso bergambar ayam jago, langsung pening kepalanya. Bakso dan bayang-bayang kenikmatan menyantapnya menjadi teror bagi isi perutnya. Mau muntah. Dan itu levelnya parah.

Hal itu diceritakan ke temannya."Kamu hamil! Coba nanti tes, itu ciri kehamilan muda" Temannya meyakinkan dengan sungguh-sungguh. Dirinya juga mengalami hal yang mirip, sensitif terhadap bau-bauan dapur. Ternyata dirinya hamil.

Tak mau menunggu waktu, istri dengan gesit beli alat tes untuk meyakinkan bahwa dirinya hamil. Doorprize. Dua strip garis biru. Dia histeris. "Hamil Pa, aku hamil! Selamatlah diriku. Aku masih laki-laki yang punya kegarangan meyakinkan. Daya dobrak mengesankan.

Mentalku kembali naik. Jalanku kembali tegap. Aku puas! Jika dirimu pernah di posisi ini, Anda pasti merasakan apa yang saya omongkan.

Pertanyaan Teror

 

Untuk membuat pasangan baru agar sedih ternyata gampang. Tanya saja kapan dirinya  punya anak? Mungkin saja saat ditanya masih cengengesan. Tapi saat pulang ke rumah dan masuk ke kamar tidur, pertanyaan tersebut akan terngiang hebat. Airmata berlinang. Pasangan akan berdebat. Kenapa mereka berdua belum dikaruniai anak. Satu menyalahkan yang lain.

Hindari bertanya "kapan punya anak?" Ini bukan basa-basi, tapi teror terorganisir. Kepedulian yang berbungkus ancaman. Seolah yang bertanya tidak ada beban. Dan merasa tanpa beban. Padahal yang ditanya menanggung beban. Beban psikis.

Setiap pasangan harus memahami satu sama lain. Kekawatiran wanita akan lebih besar dibanding lelaki. Perkuat ketahanan berdua. Apa yang terjadi dijalani berdua. Manis getir. Dengan komitmen, akan menguatkan rasa saling percaya dan menghilangkan rasa inferior. Siapa yang harus bertanggung jawab telatnya kehamilan? Bukan  suami, bukan istri. Tapi suami istri.

Kesimpulan

 

Banyak langkah untuk segera punya momongan. Dari sisi medis maupun spikologis. Kondisi kesehatan dan berbagai penyakit bisa menghambat proses kehamilan. Dokter yang tahu akan hal itu. Dan setiap pasangan butuh pengetahuan itu dari dokter spesialis.

Dari sisi spikologis. Misal capek kerja, yang berpengaruh terhadap capek pikiran juga berpengaruh terhadap kualitas sperma atau ovum. Berpikir terus supaya hamil juga bisa membuat pikiran stres dan malah menghambat proses kehamilan.

Jangan mengukur diri kita dengan orang lain. Kita pasangan yang berbeda, dengan fisiologis yang berbeda. Ada orang yang cepat hamil, ada orang yang tahunan menikah baru hamil ada juga yang puluhan tahun baru hamil. Kita membawa waktu masing-masing.

Persiapkan kehadiran buah cinta dengan sukacita. Agar keturunan kita, perjalanan sel kita masih terus ada di atas bumi yang fana ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun