Untuk membuat pasangan baru agar sedih ternyata gampang. Tanya saja kapan dirinya  punya anak? Mungkin saja saat ditanya masih cengengesan. Tapi saat pulang ke rumah dan masuk ke kamar tidur, pertanyaan tersebut akan terngiang hebat. Airmata berlinang. Pasangan akan berdebat. Kenapa mereka berdua belum dikaruniai anak. Satu menyalahkan yang lain.
Hindari bertanya "kapan punya anak?" Ini bukan basa-basi, tapi teror terorganisir. Kepedulian yang berbungkus ancaman. Seolah yang bertanya tidak ada beban. Dan merasa tanpa beban. Padahal yang ditanya menanggung beban. Beban psikis.
Setiap pasangan harus memahami satu sama lain. Kekawatiran wanita akan lebih besar dibanding lelaki. Perkuat ketahanan berdua. Apa yang terjadi dijalani berdua. Manis getir. Dengan komitmen, akan menguatkan rasa saling percaya dan menghilangkan rasa inferior. Siapa yang harus bertanggung jawab telatnya kehamilan? Bukan  suami, bukan istri. Tapi suami istri.
Kesimpulan
Â
Banyak langkah untuk segera punya momongan. Dari sisi medis maupun spikologis. Kondisi kesehatan dan berbagai penyakit bisa menghambat proses kehamilan. Dokter yang tahu akan hal itu. Dan setiap pasangan butuh pengetahuan itu dari dokter spesialis.
Dari sisi spikologis. Misal capek kerja, yang berpengaruh terhadap capek pikiran juga berpengaruh terhadap kualitas sperma atau ovum. Berpikir terus supaya hamil juga bisa membuat pikiran stres dan malah menghambat proses kehamilan.
Jangan mengukur diri kita dengan orang lain. Kita pasangan yang berbeda, dengan fisiologis yang berbeda. Ada orang yang cepat hamil, ada orang yang tahunan menikah baru hamil ada juga yang puluhan tahun baru hamil. Kita membawa waktu masing-masing.
Persiapkan kehadiran buah cinta dengan sukacita. Agar keturunan kita, perjalanan sel kita masih terus ada di atas bumi yang fana ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H