Tinggalannya mampu menyatukan keberagaman tanah Nusantara. Hal yang sangat logis dan fungsional. Nusantara yang beragam butuh alat perekat. Alat kendali untuk saling memahami. Tujuannya untuk mendamaikan.
Saat kedamaian muncul, maka orang bisa hidup tenang. Dalam ketenangan akan mudah mencari sandang, pangan dan papan. Anak-anak bisa bermain tanpa ketakutan dan semua orang bisa tidur berselimut kedamaian. Sebuah tatanan masyarakat berjalan semestinya. Kondisi indah yang diidamkan.
Namun, terkadang perjalanan sebagian kecil orang yang hanya muter-muter, tidak kemana-mana menjadikan pikiran menjadi pejal. Beku membatu. Tidak menerima sebuah perbedaan. Kurang bisa memahami hal yang lebih besar. Menyalahkan orang, memfonis orang ataupun melabeli orang dengan predikat kengerian yang rasis.
Disitulah bibit konflik disemai. Makin lama makin membesar lalu meledak. Konflik horisontal terjadi. Terjadilah perang. Makan susah, tidur tidak nyenyak. Anak kehilangan orangtua, orangtua kehilangan anak. Duka ada di mana-mana. Itu jelas neraka. Neraka dunia yang dipicu oleh sebagian kecil orang yang susah memahami dunia ini yang penuh warna.
Untuk meredam agar bencana sosial itu tidak terjadi; dibutuhkan rasa untuk saling memahami. Beri uluran tangan kepada saudara kita yang membutuhkan. Terimalah uluran tangan dari saudara kita yang juga turut prihatin dengan kondisi kesusahan kita. Memberi dan juga menerima. Akan menciptakan keseimbangan. Hidup akan terasa indah, hangat dan penuh makna.
Kita semua belajar memberi. Itu hal baik. Tapi jangan lupa, kita juga harus belajar untuk menerima. Kita semua belajar menjadi leluhur yang bijak. Saat ini. Untuk generasi nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H