Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlampau Sering Belajar Memberi Sampai Lupa Bagaimana Belajar Menerima

3 Desember 2022   21:34 Diperbarui: 4 Desember 2022   15:31 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi harus diajarkan sejak dini. Sumber: haruspintar.com

Untuk memadamkan keangkuhan terkadang hanya perlu diajak  berjalan lebih jauh. Lebih jauh lagi. Dengan melihat pemandangan yang berbeda, mata melihat yang lain. Pikiran akan terbuka. Diluar apa yang diketahui selama ini. Ternyata ada dunia lain.

-----

 

Menarik apa yang ditulis  oleh Antoinne De Saint-Exupary di buku Terre Des Homme, Bumi Manusia. Dikisahkan sebagaimana yang dilakukan oleh orang Prancis terhadap salah satu suku di Sahara. Padang pasir ganas yang menciptakan orang-orang keras kepala.

Suku yang begitu angkuh melihat orang luar. Mereka meludah saat berpapasan. Mereka selalu melihat orang Prancis adalah pendosa dan dirinya adalah mulia.

Pada suatu waktu, ada tiga kepala suku dari sahara yang diajak jalan-jalan ke Prancis dengan pesawat. Mereka melihat gedung, pepohonan, air mancur dan juga begitu melimpahnya makanan. Tidak sampai di situ mereka diajak untuk mengunjungi bar. Dimana mereka melihat wanita cantik yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Air yang begitu mudah didapatkan, tanpa harus terjadi pertumpahan darah. Sebagaimana yang terjadi di gurun. Pohon dengan dedaunan hijau, dan wanita-wanita cantik yang sebelumnya hanya dalam imaji mereka.

Dalam satu renungan yang paling dalam mereka menggerutu: Orang Prancis lebih beruntung dibanding kehidupan mereka.

Keberagaman

Ada berapa agama di dunia ini? Menurut David B. Barret--seorang yang berkecimpung dalam penelitian agama--jawabannya adalah 10 ribu agama. Tepatnya sembilan ribu sembilan ratus. Menurutnya ada dua atau tiga agama baru yang muncul setiap hari.

Artinya di antara 8 milyar manusia yang melata di bumi ini, punya konsep yang berbeda dalam keyakinan. Keyakinan yang bisa jadi bertolak belakang dengan apa yang kita yakini. Itu fakta. Kita tidak bisa mengubahnya.

Mengapa begitu banyak? Karena manusia-manusia itu berada di tempat berbeda dengan adaptasi alam yang berbeda dan dengan kebutuhan yang berbeda. Menurut Eric Weiner dalam bukunya the Geography of Bliss, orang Eskimo akan lebih tertarik dengan cerita neraka karena di sana ada api yang membara. Orang eskimo berlimpah kedinginan, berkekurangan  situasi hangat dan panas.

Dambaan kehidupan ideal bagi setiap orang sangat relatif: berbeda-beda satu sama lain. Orang gurun mendamba air. Orang eskimo mendamba api. Orang tropis mendamba salju. Orang Eropa mendamba matahari tropis.

Kita bagi orang lain adalah berbeda. Orang lain bagi kita juga berbeda. Satu yang sama: kita sama-sama manusia. Satu landasan bersikap yang harus dipegang erat saat kita hidup di bumi yang penuh perbedaan.

Berpikir Tenang

Dengan hati tenang, pikiran terbuka. Hilangkan prasangka, mari melihat kenyataan. Handphone yang kita pakai, bisa jadi buatan China. Negeri komunis yang tidak menyukai pembahasan teologi. Nasi yang kita makan bisa jadi impor dari Thailand negeri seribu pagoda. Susu yang kita minum, impor dari peternak Selandia Baru. Sandang yang melingkupi tubuh kita, bisa jadi dari India negeri Hindu.

Apa yang menyokong kehidupan kita hakekatnya bukan dari hasil karya kita sendiri. Tapi kemurahan hati, tetesan keringat dari ribuan, jutaan orang-orang yang tidak kita kenal yang tidak sama pula keyakinannya.

Dengan kondisi kehidupan sosial yang mengarah ke segregasi. Ada satu pertanyaan: Apakah kelak kita mampu menjadi leluhur yang baik? Tak lama kita melata di bumi ini. Kalau beruntung, 75 tahun kita masih bernafas. Walau seumuran segitu sudah ngos-ngosan tak karuan. Ditabrak kucing pun kita sudah terjengkang.

Kembali ke pertanyaan tadi, tinggalan apa yang kita berikan bagi generasi penerus? Apakah kemarahan ataukah kedamaian yang menyejukkan? Itu pilihan.

Leluhur Nusantara

 

Pada abad XIV ada leluhur Nusantara namanya Mpu Tantular. Dalam karyanya, Kitab Sutasoma, beliau memberi petuah yang masih lekat dan relevan dengan kehidupan kita: Bhinneka Tunggal Ika. Beragam tapi tepat satu.

Tinggalannya mampu menyatukan keberagaman tanah Nusantara. Hal yang sangat logis dan fungsional. Nusantara yang beragam butuh alat perekat. Alat kendali untuk saling memahami. Tujuannya untuk mendamaikan.

Saat kedamaian muncul, maka orang bisa hidup tenang. Dalam ketenangan akan mudah mencari sandang, pangan dan papan. Anak-anak bisa bermain tanpa ketakutan dan semua orang bisa tidur berselimut kedamaian. Sebuah tatanan masyarakat berjalan semestinya. Kondisi indah yang diidamkan.

Namun, terkadang perjalanan sebagian kecil orang yang hanya muter-muter, tidak kemana-mana menjadikan pikiran menjadi pejal. Beku membatu. Tidak menerima sebuah perbedaan. Kurang bisa memahami hal yang lebih besar. Menyalahkan orang, memfonis orang ataupun melabeli orang dengan predikat kengerian yang rasis.

Disitulah bibit konflik disemai. Makin lama makin membesar lalu meledak. Konflik horisontal terjadi. Terjadilah perang. Makan susah, tidur tidak nyenyak. Anak kehilangan orangtua, orangtua kehilangan anak. Duka ada di mana-mana. Itu jelas neraka. Neraka dunia yang dipicu oleh sebagian kecil orang yang susah memahami dunia ini yang penuh warna.

Jadilah Bijak

Untuk meredam agar bencana sosial itu tidak terjadi; dibutuhkan rasa untuk saling memahami. Beri uluran tangan kepada saudara kita yang membutuhkan. Terimalah uluran tangan dari saudara kita yang juga turut prihatin dengan kondisi kesusahan kita. Memberi dan juga menerima. Akan menciptakan keseimbangan. Hidup akan terasa indah, hangat dan penuh makna.

Kita semua belajar memberi. Itu hal baik. Tapi jangan lupa, kita juga harus belajar untuk menerima. Kita semua belajar menjadi leluhur yang bijak. Saat ini. Untuk generasi nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun