Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nusantara Masa Lalu: dari Aurora sampai Pohon Beracun

8 September 2022   13:43 Diperbarui: 20 November 2022   22:02 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
   Peta Indonesia abad XVIII. Sumber: Wikimedia Commons via Kompas.com

                                                                

Pada Juni 1860, naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, berada di Waigeo salah satu pulau di Papua Barat untuk berburu cenderawasih. Betapa takjubnya Wallace, saat malam hari melihat sinar seperti Aurora Borealis yang indah sebagaimana yang dilihat di Inggris. "Saya hampir tidak dapat percaya bahwa cahaya ini dapat terjadi di titik satu derajat di selatan garis khatulistiwa," tulis Wallace di buku the Malay Archipelago. 

      -----

 Apakah cahaya yang pernah dilihat Wallace itu sampai sekarang masih muncul? Ataukah cahaya tersebut kejadian random yang tidak jelas kapan kemunculannya? Sebagaimana hujan salju di Gurun Sahara yang tidak bisa diprediksi.

Menjadi menarik untuk dijadikan atraksi pariwisata jika cahaya kutub tersebut bisa dilihat berkala di wilayah khatulistiwa.

Wallace melihatnya di bulan Juni 1860, saat musim peralihan dari kemarau ke hujan. Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat yang membawahi Waigeo harus mencermati cahaya tersebut saat bulan Juni. Jika ternyata aurora itu ada, pastinya akan menarik untuk dikemas sebagai atraksi wisata. 

 

Waigeo negeri aurora khatulistiwa. Bisa menjadi tagline menarik untuk mengembangkan pariwisata di Waigeo. Karena secara teori cahaya tersebut punya domisili endemik: Kutub Utara atau Kutub Selatan Bumi. Dan menjadi aneh dan langka jika kejadiannya di sekitar khatulistiwa.

Kisah tentang Nusantara di masa lalu, banyak mengandung sesuatu yang menarik. Atau boleh dikata unik. Bahkan bisa jadi diluar nalar kalau ditakar dengan nilai kepantasan sosial budaya saat ini. Ada kalanya ngeri-ngeri sedap.

Saat Wallace berkunjung di Lombok pada 1856, dirinya melihat bahwa laki-laki Lombok sangat pencemburu dan keras terhadap istrinya. Perempuan yang sudah menikah bila menerima barang sepele--misal cerutu atau daun sirih--dari laki-laki lain hukumannya tidak menarik: hukuman mati! Dan masyarakat memakluminya. Ada juga hukuman buat orang yang berselingkuh yakni dilempar ke laut dimana terdapat buaya yang siap melahap orang yang dihukum.

Di Kampung Bessir, Waigeo, Wallace juga terheran-heran dengan makanan pokok masyarakatnya; bukan sagu, beras, pisang atau umbi-umbian. Tapi kerang. Tumpukan kulit kerang menggunung  di antara rumah-rumah yang ada. Sebuah pemandangan yang unik, sebuah adaptasi masyarakat terhadap kelangkaan karbohidrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun