Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nusantara Masa Lalu: dari Aurora sampai Pohon Beracun

8 September 2022   13:43 Diperbarui: 20 November 2022   22:02 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
   Peta Indonesia abad XVIII. Sumber: Wikimedia Commons via Kompas.com

Manuskrip tentang Jawa yang terbit pada 1811, The Island of Java, karangan John Joseph Stockdale, juga mengulas secara panjang lebar terkait pohon yang menjadi buah bibir di kalangan ahli botani dan petualang Eropa. Kesimpulan Stockdale sendiri dirinya merasa skeptis dengan fenomena yang terkesan dibesar-besarkan. Thomas Stanford Raffles dalam buku History of Java juga senada dengan Stockdole.

Pohon upas secara fisik memang ada tapi efek mematikannya tidak lewat udara, tapi getahnya yang masuk ke jaringan darah. Pohon upas merujuk pada pohon ancar dengan nama ilmiah Antiaris toxicaria. 

Kesimpulan

Dari masa lalu kita bisa belajar banyak hal. Manuskrip kuno tentang Nusantara yang saat ini bernama Indonesia bisa menjadi salah satu batu pijak untuk merenungkan: ada banyak warisan yang hilang dari leluhur bangsa Indonesia.

Masa lalu yang penuh gemerlap. Penuh kemegahan, tiba-tiba hancur lebur. Kemegahan Borobudur, Prambanan dan tinggalan bersejarah lainnya, dengan arsitektur mengagumkan seakan tenggelam. Mengapa itu terjadi? Apa sebabnya? Muncullah manusia-manusia yang bertempat tinggal di gubuk-gubuk, terlihat kumuh dan miskin, yang menjadi budak dari kekuatan asing: Belanda!

Naturalis Inggris, Wallace begitu miris melihat kenyataan ini, saat mengunjungi Prambanan, Borobudur dan percandian di Gunung Dieng. Dirinya menulis dengan sedikit kontemplatif,

"Bentuk masyarakat, jumlah populasi atau mata pencaharian penduduk yang memungkinkan sebuah karya luarbiasa tersebut dibangun, barangkali akan tetap menjadi misteri. Karya agung ini pastinya dikerjakan bertahun-tahun.  Masyarakat yang sekarang membangun rumah dari bambu dan rumbia, cenderung mengabaikan karya agung nenek moyang mereka" 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun