Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Praktik Kebajikan: Peta Jalan Kedamaian di Pusaran Perubahan

7 Agustus 2022   05:50 Diperbarui: 24 Agustus 2022   18:42 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                

Selasa, 11 September 2001. Pukul 08.46 waktu Amerika. Di Menara Utara gedung WTC New York, terdengar ledakan dahsyat. Sebuah pesawat badan lebar--American Airlines flight 11--menabrak menara bisnis Amerika. Gedung bergetar, disusul kobaran api yang membakar.

     -----

Keterkejutan melanda. Kepanikan tidak terhindarkan. Teriakan bercampur tangisan tersamar oleh ledakan dan runtuhan. Aksi penyelamatan diri dilakukan. Ratusan  orang yang selamat bergerak menuruni tangga darurat dengan tertib walau berjejal. Kelewat tenang, di situasi nyawa siap melayang. 

Mereka ketakutan tapi tetap berpikir waras--memberi jalan petugas pemadam kebakaran dan juga orang-orang terluka, "Silakan, Anda duluan saja".

 

Itulah gambaran situasi saat tragedi 11 September 2001, yang diungkap Rebecca Solnit dalam bukunya A Paradise Built in Hell. The Extraordinary Communities that Arise in Disaster. Mencekam--lebih tepatnya mengerikan. Namun, situasi gawat tersebut tidak menjadikan Homo sapiens, bergerak mundur evolusinya menjadi primata liar bergelantungan.

Teori Lapis Luar

Saat Tragedi WTC, manusia masih bisa bertindak rasional. Jiwa altruisme juga masih terjaga. Dalam kepungan asap debu runtuhan gedung, terlihat orang saling bantu. Polisi, petugas damkar, dan orang yang selamat saling memberi sokongan.

Tidak terjadi adanya chaos--yang seharusnya terjadi--sebagaimana menurut teori lapis luar (veeneer theory)  karya ahli biologi Belanda, Frans de Waal. Moralitas, menurutnya, hanya lapis tipis yang mudah terkoyak. 

Seharusnya, turun tangga, saat tragedi WTC, menjadi situasi gawat yang menimbulkan tragedi susulan. Dalam situasi tertekan, orang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing tanpa peduli keselamatan yang lainnya. Karena sifat manusia yang egois, agresif dan cepat panik. Itu pandangan Frans de Waal.

Pertanyaannya adalah, kenapa itu tidak terjadi? Kenapa juga harus terjadi! Padahal sains yang dipercaya--yang dijadikan rujukan banyak akademisi--mengharuskan munculnya kepanikan yang menyebabkan manusia tidak stabil dan bertindak anarkis. Sebuah kondisi yang menyebabkan manusia kembali ke setelan awal: spesies primata liar.

Apakah itu anomali psikologi manusia? Ternyata tidak! Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi di Tragedi WTC. Tenggelamnya kapal Titanic pada 1912, yang digambarkan chaos, ternyata tidak. Dalam proses evakuasi, korban terlihat tenang dan tertib. Hampir setiap tragedi mengerikan, memunculkan sebuah cerita altruisme--sifat terbaik manusia--diluar nalar yang kita percaya.

Bahkan, adanya bencana mendorong banyak kalangan untuk ikut peduli. Ikut empati dengan terlibat: sumbangan yang tidak berhenti mengalir, relawan yang berdatangan dan banyak aksi penggalangan dana di seluruh wilayah. Tindakan kejahatan yang muncul, kalah jauh dengan tindakan kebaikan yang mengiringi setiap bencana skala besar.

Ada yang salah dengan keyakinan yang selama ini kita percaya. Ada sesuatu yang dipaksa dijejalkan bahwa manusia itu jahat, padahal sejatinya manusia itu baik.

Setiap Orang itu Baik

Setiap orang itu baik. Banyak pihak meragukan dan menampik dengan keras pernyataan tersebut. Anda akan ingat pepatah latin: Homo homini lupus est--manusia adalah serigala bagi yang lainnya. Atau pernah membaca karya Machiavelli, Il Principe. Semua "nilai serigala" dijadikan pegangan untuk melanggengkan kekuasaan. Il Principe seolah mengubur hidup-hidup pencapaian peradaban yang bernama moralitas. Intinya, manusia itu pada dasarnya jahat.

Dan lebih aneh lagi, orang yang berkeyakinan manusia itu jahat tidak mau dikatakan dirinya jahat. Termasuk saya, mungkin juga Anda.

Persoalan sebenarnya ada di Keyakinan Manusia Itu Jahat. Dan itu tertanam di pikiran. Jika diyakini dan terus diyakini sampai mendarah daging, maka sebuah kesalahan bisa menjelma menjadi kebenaran yang diagungkan. Dunia sosiologi menyebutnya self-fulfilling prophecy--ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri.

Dunia kedokteran menyebutnya efek plasebo. Saat pasien diberi permen, namun dokter bilang "ini obat paling ampuh dan sangat mahal; penyakit lambung Anda akan sembuh kurang dari sejam" Sugesti tersebut diyakini sungguh-sungguh oleh pasien, yang terjadi sembuh betulan. 

Permen bukanlah obat. Namun, keyakinlah yang sebenarnya obat. Begitu juga dengan keyakinan bahwa manusia itu pada dasarnya jahat. Benar-benar akan mewujud menjadi manusia jahat.

Dalam diri manusia ada dua kekuatan: Srigala baik dan Srigala jahat. Mana yang akan menang? Yang sering diberi makan!

Persepsi yang Melenceng

Coba renungkan bahwa persepsi manusia sering salah dan melenceng. Saat Anda duduk di bus dalam perjalanan jauh menuju pulang. Penumpang pria sebelah Anda, menunjukkan gelagat mencurigakan. Sering melihat ke kanan ke kiri.

Anda--mungkin saja--berpikir bahwa orang tersebut adalah pelaku kriminal. Sepanjang perjalanan, Anda waspada dan tidak mau lengah. Anda bersikap dingin. Menghindari obrolan lebih jauh. Hanya basa-basi standar yang Anda lakukan. Takut kena hipnotis. Sepanjang perjalanan, yang Anda rasakan hanya kecemasan, ketakutan, dan sekuat tenaga melekat pada barang berharga yang Anda bawa. Semalaman Anda tidak bisa memejamkan mata.

Sepanjang itu pula hidup Anda di dalam bus seolah berada di neraka. Anda telah menciptakannya, dan itu bukan kondisi yang sebenarnya.

Namun, saat pria tersebut akan turun dari bus--setelah sampai di tujuan. Orang tersebut berpamitan dengan santun ke Anda, dan menawarkan untuk singgah di rumahnya. Tidak lupa dirinya memberikan sebungkus kudapan oleh-oleh untuk Anda. Anda tidak bisa menolak, karena pria tersebut langsung memberikan.

Di depan pintu bus, ada ibu dan anak yang menyambut dengan haru. Anda baru sadar bahwa orang tersebut habis merantau jauh. Bekerja--berjuang untuk keluarganya--dan sudah lama tidak bersua keluarga. Kejadian semacam itu sering terjadi pada kita semua, saat menilai orang.

Orang yang Anda curigai adalah orang yang ditunggu kehadirannya dengan cinta oleh keluarga. Anda membuat pengadilan terhadap orang itu di pikiran. Hanya karena orang tersebut terlihat mencurigakan. Anda pengadil yang jahat, karena tidak ada fakta sudah memfonis orang lain sebagai penjahat.

Dari pemikiran model beginilah, kesalahpahaman sering terjadi. Orang menciptakan bibit konflik bukan berdasar sesuatu yang riil tapi oleh pikirannya sendiri. Dari bacaan yang dibaca, dari film komersial yang dilihat, dari informasi media yang terpajan setiap hari. Pikiran diprogram untuk menyimpulkan--dan ternyata salah--dan itu yang sering terjadi.

Kebenaran yang dipercaya bersumber dari sesuatu yang lemah untuk diyakini yakni pikiran. Bagaimana jika Anda adalah kepala pemerintahan. Pemegang otoritas tertinggi yang bisa mengirimkan rudal nuklir dengan perintah "tembakkan". Keadaannya semakin runyam. Maka tidak salah jika perang dimulai di pikiran dan seharusnya diakhiri di pikiran pula.

Berlatih Bijak

 

Sumber dari semua keruwetan yang dialami manusia adalah sesat pikir. Sumbernya rasa ketakutan yang teramat kuat. Takut diserang, takut miskin, takut kalah, takut sakit, takut mati. Itulah bahan bakar yang selalu membuat manusia berselisih satu sama lain.

Biar pikiran tenang manusia harus selalu mengembangkan penyadaran secara penuh. Melihat persepsi pikiran hanya permainan hormon. Kadang naik, kadang turun. Persepsi tidak bisa dijadikan pegangan menilai baik dan buruk. Belajar bijak bisa dilakukan dengan bertahap dan berkesinambungan. Tanpa henti, tanpa jeda.

Pertama, harus baik terhadap diri sendiri. Baik untuk diri sendiri itu bagaimana? jadilah selaras antara pikiran dan tingkah laku. Bercukuphatilah menerima kondisi tubuh yang kita punyai. Memberi maaf atas kesalahan yang diperbuat diri sendiri. Jadikan penyesalan sebagai energi berbenah ke arah kebajikan. Puas dan selalu bersyukur atas kelimpahan yang sudah diperoleh. Rasa syukur membuat pikiran lebih nyaman menerima setiap perubahan. Perubahan tidak untuk dihindari tapi dijalani dengan tetap mengedepankan nilai-nilai moralitas.

Kedua, baik pada anggota keluarga. Selain diri sendiri kita harus memperluas kebaikan untuk lingkup keluarga inti. Rasa tanggung jawab, curahan kasih sayang harus menjadi prioritas untuk menciptakan sebuah keluarga yang kokoh dan harmonis.

Kasih sayang adalah sumber awal kebahagiaan dalam keluarga. Sebagai suami harus mampu menjaga kepercayaan istri, sebaliknya juga sama. Istri wajib menjaga kepercayaan suami. Apa yang sudah diikat oleh tali perkawinan, menjadi komitmen bersama. Sebagai anak harus menghormati orangtua. Menyayangi anggota keluarga lainnya. Sebagai orangtua juga wajib menjadi teladan bagi anak. Bekerja keras dengan rasa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ketiga, bersikap baik sebagai anggota masyarakat. Kita hidup tidak sendirian. Ada orang lain di sekitar kita. Kepedulian harus dijadikan landasan bersosialisasi. Terimalah perbedaan yang ada. Kembangkan toleransi. Hormati orang lain, sebagaimana kita juga ingin dihormati. Maka akan muncul sebuah masyarakat berwarna yang saling sokong satu dengan yang lainnya.

Keempat, baik kepada semua spesies. Tanggung jawab manusia sebagai pemuncak evolusi berlaku untuk seluruh spesies. Manusialah yang sejatinya perusak alam ini. Maka tanggung jawab manusia pula mengembalikan kelestariannya. Kemudahan yang didapatkan manusia adalah pengorbanan banyak spesies: Pepohonan, serangga, ikan, sapi, kambing, kerbau, dan spesies lainnya. Maka tugas manusia harus melindungi spesies lain seperti melindungi diri sendiri. Berbagi ruang hidup, tidak menyakiti adalah upaya bijak dalam menapak di bumi.

Kesimpulan

 

Konflik rumah tangga dan konflik antarnegara adalah sama. Tidak jauh beda. Hasil dari persepsi yang melenceng. Maka solusinya juga sama. Cukup sederhana: memaafkan kesalahan dan saling meminta maaf. Meminta maaf dan memaafkan kesalahan bukan tindakan lemah. Ini tindakan paling rasional dan paling bersih untuk memutus rantai kebencian supaya tidak beranak pinak.

Sesederhana itukah? Iya! Sesederhana itu. Anehnya manusia tidak pernah yakin dengan sebuah upaya paling ringkas, cepat, murah, dan paling manusiawi. Mereka terus melanjutkan konflik dengan korban nyawa yang terus berjatuhan. Jutaan dollar dihamburkan untuk memuaskan dahaga egoisme. Tidak ada kemenangan dari keduanya. Sama-sama remuk dan hancur.

Teknologi tinggi tak menjamin manusia mudah menyelesaikan konflik. Manusia seolah kehilangan cara cerdasnya menangani konflik yang semakin rumit. Mereka ingin perdamaian, mereka meminta dukungan Tuhan, mereka berdoa akan keselamatan, mereka berikrar akan menyayangi orang tercinta. Namun, satu hal yang tidak dilaksanakan: memberi maaf dan meminta maaf terhadap sebuah kesalahan. Padahal dari situ akar muasal penderitaan dan kebahagiaan.

Bagaimana membangun sejuknya "surga" di panasnya "neraka"? Jadilah bijak. Kembangkan kebiasaan minta maaf dan memaafkan. Jinakkan pikiran. Kendalikan pikiran. Menapaklah di Bumi  dengan berpegang tiga hal: Jangan berfikir negatif, jangan berkata negatif dan jangan berbuat negatif. (AS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun