Â
Selasa, 11 September 2001. Pukul 08.46 waktu Amerika. Di Menara Utara gedung WTC New York, terdengar ledakan dahsyat. Sebuah pesawat badan lebar--American Airlines flight 11--menabrak menara bisnis Amerika. Gedung bergetar, disusul kobaran api yang membakar.
   -----
Keterkejutan melanda. Kepanikan tidak terhindarkan. Teriakan bercampur tangisan tersamar oleh ledakan dan runtuhan. Aksi penyelamatan diri dilakukan. Ratusan  orang yang selamat bergerak menuruni tangga darurat dengan tertib walau berjejal. Kelewat tenang, di situasi nyawa siap melayang.Â
Mereka ketakutan tapi tetap berpikir waras--memberi jalan petugas pemadam kebakaran dan juga orang-orang terluka, "Silakan, Anda duluan saja".
Â
Itulah gambaran situasi saat tragedi 11 September 2001, yang diungkap Rebecca Solnit dalam bukunya A Paradise Built in Hell. The Extraordinary Communities that Arise in Disaster. Mencekam--lebih tepatnya mengerikan. Namun, situasi gawat tersebut tidak menjadikan Homo sapiens, bergerak mundur evolusinya menjadi primata liar bergelantungan.
Teori Lapis Luar
Saat Tragedi WTC, manusia masih bisa bertindak rasional. Jiwa altruisme juga masih terjaga. Dalam kepungan asap debu runtuhan gedung, terlihat orang saling bantu. Polisi, petugas damkar, dan orang yang selamat saling memberi sokongan.
Tidak terjadi adanya chaos--yang seharusnya terjadi--sebagaimana menurut teori lapis luar (veeneer theory)Â karya ahli biologi Belanda, Frans de Waal. Moralitas, menurutnya, hanya lapis tipis yang mudah terkoyak.Â
Seharusnya, turun tangga, saat tragedi WTC, menjadi situasi gawat yang menimbulkan tragedi susulan. Dalam situasi tertekan, orang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing tanpa peduli keselamatan yang lainnya. Karena sifat manusia yang egois, agresif dan cepat panik. Itu pandangan Frans de Waal.