Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bom Atom, Soekarno dan Buku

16 Agustus 2021   23:50 Diperbarui: 6 Agustus 2022   07:44 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hancurnya Hiroshima dan Nagasaki ibarat membuka jalan menuju kemerdekaan. Bom atom yang dijatuhkan Amerika tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, mengakibatkan kurang lebih 214.000 ribu warga sipil Jepang meninggal seketika. 

Jepang akhirnya mengibarkan bendera putih, dan menyatakan menyerah tanpa sarat. Karena peristiwa itulah pada akhirnya Indonesia punya kesempatan untuk memerdekakan diri; mengambil momen kekosongan kekuasaan, Vacuum of Power.

Pengeboman dua kota dengan senjata pemusnah massal, adalah cara kotor Amerika untuk memenangkan perang dan menghentikan agresifitas Jepang dalam perang dunia II. 

Amerika, merasa tidak bersalah, karena Jepang juga melakukan hal yang sama. Jepang pernah melakukan pengeboman pangkalan militer Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, tanggal 7 Desember 1941. Amerika serasa ditampar dan dipermalukan di dunia internasional. Padahal perjanjian perang antara Jepang - Amerika belum ditabuh.

Menyelami Soekarno

Mendirikan negara Indonesia bukanlah perkara mudah. Dengan jumlah pulau mencapai 17.500-an pulau. Wilayah membentang sejauh 5.106 km, dari barat ke timur. Sepadan jarak London-Bagdag. Jika wilayah Indonesia ditaruh di atas Eropa maka seluruh Eropa tertutup. Pada waktu diproklamasikan, berpenduduk  70 juta jiwa. 

Sedangkan yang melek huruf hanya 6% saja. Sebuah gambaran betapa nekadnya apa yang dilakukan oleh Soekarno dan kawan-kawan. Bahkan ketika masuk ke Istana Merdeka, sebagai kediaman Presiden, yang tertinggal hanya 1 gelas plastik. Tidak ada yang disisakan oleh Jepang, semua diangkut. Indonesia betul-betul miskin dalam arti sesungguhnya.

Soekarno adalah tokoh sentral, lahirnya negara Indonesia. Tanpa mengerdilkan kiprah pejuang kemerdekaan lainnya. Tanpa kehadiran Soekarno rasanya kebangsaan Indonesia yang dibangun akan berbeda. Siapapun harus mengakui sosok Soekarno adalah pemersatu bangsa yang bernama Indonesia.

Soekarno menyandang gelar insinyur dari THS (Technische Hoogeschool) Bandung yang (sekarang ITB) pada tahun 1926. Masa depan gemilang sebenarnya sudah di depan mata. Tawaran pekerjaan dari Belanda sudah menunggu. Namun, Soekarno lebih memilih menjauh dari Belanda dan memilih jalan terjal untuk memperjuangkan bangsanya. 

Soekarno saat itu adalah anak muda rupawan, cerdas dan punya status sosial tinggi karena pendidikannya. Namun, pilihannya, tidak mau bekerjasama dengan Belanda adalah keputusan sangat berani.

Keputusan Soekarno tersebut diambil pada saat Belanda masih kuat dan bayangan Indonesia merdeka belum jelas. Ancaman dari Belanda terhadap Soekarno sudah pasti. Soekarno tahu apa yang ada di depannya, kemiskinan, penderitaan dan dikucilkan. 

Sepanjang hidupnya Soekarno menghabiskan 13 tahun mendekam dalam penjara dan pembuangan; mengorbankan masa mudanya demi tugas mulianya, memerdekakan Indonesia.

"Bukankah lebih baik Soekarno menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selama-lamanya?" Kata itulah yang diucapkan kepada kawannya Sartono, dalam buku biografinya Karangan Cindy Adams.

Bung karno adalah didikan Belanda, namun anti Belanda. Sama dengan Bung Hatta, didikan belanda yang anti Belanda. Mereka memilih kemanusiaan dari pada menghamba pada ketakutan. Entahlah, apa yang terjadi jika tidak ada sosok Bung Karno yang konsisten mengarahkan perjuangan pada satu titik yang jelas yakni merdeka, keluar dari kolonialisme.

Pemimpin yang Membanggakan

Indonesia adalah raksasa yang tidur ratusan tahun. Untuk membangunkannya, Soekarno memberi kebanggaan akan jati diri bangsa. Ketika dirinya marah pada PBB dan keluar dari PBB tahun 1965 lalu mendirikan PBB tandingan yang bernama NEFO (the New Emerging Forces). Tdak hanya itu Bung Karno juga menyelenggarakan GANEFO, sebagai tandingan olimpiade. 

Ketika Indonesia dicoret keikutsertaannya pada  Olimpiade Tokyo tahun 1964, Soekarno marah dan mengancam balik akan memobilisasi negara Asia-Afrika. Indonesia akan menyabotase Olimpiade Tokyo. International Olympic Committe (IOC) sampai dibuat pusing dan akhirnya mencabut hukuman terhadap Indonesia.

Ketika dikritik oleh banyak kalangan, mengapa membangun; Monas, Jalan Layang Semanggi, Hotel Indonesia, Pusat Perbelanjaan Sarinah, Gelora Senayan. Saat rakyat Indonesia masih kelaparan, Bung Karno menghardik balik "Bangsa ini butuh makanan rohani, butuh kebanggaan yang mempersatukan semuanya. Bangunan itu adalah simbol kebanggaan dan makanan rohani rakyat Indonesia"

Kenapa Bung Karno berpakaian seragam seperti militer? beliau menjawab, biar rakyat Indonesia melihat pemimpinnya terlihat gagah berhadapan dengan pemimpin lainnya. Semua itu diperlukan untuk menaikkan moril bangsa Indonesia supaya percaya diri, tidak minder dan bangga sebagai bangsa Indonesia.

Pemimpin dan Buku

Ada yang bisa ditarik dari kisah hidup pendiri bangsa, semisal Soekarno, Hatta, Agus Salim. Mereka punya kesamaan, yakni kutu buku.  Semuanya adalah pengagum, penikmat buku dan juga dibarengi suka menulis. Buku dan pemimpin seolah satu paket pada waktu itu.

Kecemerlangan mereka dengan berbagai pemikiran orang besar di dunia menjadikan mereka juga berwawasan besar. Itu semua di dapat dari inspirasi membaca buku. Buku yang mereka baca menjadikan beliau-beliau mampu merumuskan sebuah ide untuk mengeluarkan bangsa Indonesia dari kolonialisme yang sudah bercokol ratusan tahun.

Dunia sudah berubah, apakah pemimpin yang seperti Bung Karno, Bung Hatta dengan kecintaannya yang sangat luar biasa terhadap buku masih diperlukan? atau apakah kita sudah tidak perlu lagi pemimpin dengan karakter tersebut dan memilih pemimpin yang berjiwa kontemporer yang bisa menghibur, menggugah tawa sampai lupa dengan kondisi derita yang ada?

Kita boleh memilih sesuai selera. Karena kita hidup di alam demokrasi yang memungkinkan boleh berbeda pendapat dan pilihan. Dan sebagai catatan akhir, manusia tanpa membaca tetap hidup. Namun, dengan membaca buku akan memberi nilai tambah bagi kehidupan seseorang.

Untuk itu rasanya, Indonesia masih membutuhkan pemimpin yang berjiwa progresif, berwawasan luas dan berani. Setidaknya mampu berdiri dengan tegap, sebagai bentuk harga diri dan teriak lantang "go to hell with your aid"

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-76. Semoga, Indonesia menjadi sebuah bangsa yang cerdas, adil dan makmur dan rakyatnya hidup bahagia dan sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun