Hari Sabtu, 1 Agustus 2020, sebuah meteorit masuk ke atmosfer bumi dengan kecepatan antara 11-72 km/detik dan menghantam teritis rumah milik Josua Hutagalung, di Desa Satahi Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah. Tidak ada korban jiwa, hanya seng teritis rumahnya yang jebol.Â
Kejadian ini boleh dikata malapetaka yang berbuah senyum, ibarat mendapat durian runtuh. Informasi jatuhnya meteorit tersebut viral di media sosial, sehingga terdengar oleh turis Amerika kolektor meteorit yang sedang berlibur di Bali.Â
Meteorit dengan berat 1,8 kg itu, informasinya dijual ke turis tersebut seharga 200 juta Rupiah. Perjalanan selanjutnya meteorit tersebut dilelang di situs jual beli eBay dengan harga 14,1 juta pergramnya. Kalau dihitung maka nilai jual dari meteorit tersebut adalah 26 milyar rupiah, Kompas.com(19/11/2020).
Yang jadi pertanyaan adalah, siapakah sebenarnya yang berhak memiliki barang tersebut? Pemerintah yang diwakili LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan) atau pemilik lahan atau siapapun yang menemukannya?
Mengacu pada pengelolaan Sumber Daya Alam maka  pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bisa jadi rujukan; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini hanya merujuk pada kekayaan yang bersumber dari Bumi. Sehingga meteorit yang bukan berasal dari bumi luput dari pasal tersebut.Â
Jadi intinya benda ruang angkasa bukan milik pemerintah.(ini pendapat pribadi mohon koreksi kalau salah). Sehingga menjadi wajar dan legal setiap warga negara punya hak untuk memperjual belikan batu meteorit.
Ada lagi kejadian di Jakarta Timur, rumah milik Sudarmodjo rusak berat dihantam meteor pada kamis (29/04/2010). Siapakah yang menanggung biaya kerusakan rumah tersebut? Pemerintah atau diserahkan ke masing-masing individu?
Kejadian di atas adalah sebagian kecil akibat benda ruang angkasa alamiah yang masuk ke atmosfer bumi. Bagaimana jika yang terjadi adalah jatuhnya serpihan satelit, roket buatan manusia, sebagaimana yang terjadi di Sumenep, Madura yang menghantam kandang warga pada Senin (26/09/2016).Â
Menurut Astronom Amatir Ma'rufin Sudibyo, benda tersebut kemungkinan besar adalah booster pendorong satelit JCSAT-16 alias roket Falcon 9. Mampukah pemerintah mendesak Spacex, yang pemiliknya Elon Musk membayar ganti rugi? setelah lima tahun kasus tersebut tidak ada kelanjutannya.
Memahami Ruang Angkasa
Pada saat ini ruang angkasa menjadi wilayah yang strategis secara ekonomi, politik maupun militer. Ruang angkasa adalah wilayah 100 km di atas permukaan laut sebagaimana acuan garis Karman. Theodore Von Karman adalah insinyur Fisikawan Hongaria - Amerika yang pertama kali memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa.
Betapa strategisnya ruang angkasa bisa dipahami dengan ilustrasi begini; bahwa hanya dengan tiga satelit saja cukup untuk memata-matai 90% luasan bumi. Artinya penempatan satelit satu sisi berguna untuk peradaban manusia, sisi lainnya menjadi ancaman bagi kedaulatan sebuah negara di bawahnya. Tidak terkecuali Indonesia.
Penguasaan teknologi ruang angkasa saat ini bukan hanya didominasi negara Amerika, Rusia dan Eropa. Namun negara asia Jepang, India dan China sekarang beradu panggung untuk mengimbangi dominasi Amerika dan Rusia.
Bagaimana dengan Indonesia? posisi indonesia yang berada tepat di jalur khatulistiwa, menjadi lokasi paling ideal untuk menempatkan satelit. Posisi ini adalah wilayah premium yang biasa dikenal dengan Geo Stationary Orbit (GSO).Â
Di posisi itulah belahan bumi utara dan selatan bisa dicakup dengan lebih maksimal. Artinya ada ribuan benda angkasa yang berada di Orbit Geo stasioner; di atas Indonesia.
Sengketa tentang ruang angkasa, ke depannnya akan marak. Tidak menutup kemungkinan akan mengulang perang dingin baru dengan intensitas yang lebih kuat.Â
Maka persolan tersebut  harus didekati dengan pendekatan hukum. Kalau tidak ruang angkasa bisa menjadi medan barbar unjuk kekuatan negara dengan militer dan teknologi kuat.Â
Sebagai negara berkembang--seperti Indonesia--pendekatan secara hukumlah yang bisa dilakukan. Teknologi Indonesia belum mampu dijadikan bargaining untuk meminta pertanggung jawaban sebuah negara yang memanfaatkan ruang angkasa dengan melanggar kedaulatan negara lainnya.
Ruang angkasa memang menjadi wilayah unik dan ekslusif. Tidak semua negara punya akses yang sama. Sehingga aturan yang dibuat oleh negara anggota PBB misalnya resolusi Outer Space Treaty 1967 tidak terlalu efektif menundukkan kepentingan eksplorasi ruang angkasa negara dengan teknologi maju. Suara negara berkembang hanya orkestra hening dari kekuatan raksasa.
Di Indonesia sendiri tidak satupun universitas yang membuka jurusan Ahli Hukum Ruang Angkasa. Memang UNPAD di dalam mata pelajaran fakultas hukumnya memberi porsi adanya hukum udara dan ruang angkasa.Â
Untuk mempelajari hukum ruang angkasa mahasiswa Indonesia harus kuliah di Rusia atau, Eropa dan Amerika. Sebagaimana Raymond Sihombing, yang lulus dari Universitas Druzhby Naradov, sebagai satu-satunya ahli hukum ruang angkasa pertama dari Indonesia.
Kesadaran Ruang Angkasa
Sampai saat ini kesadaran bahwa ruang angkasa adalah SDA yang sangat potensial belum terlalu menjadi perhatian oleh banyak kalangan. Dengan adanya ribuan satelit yang mengorbit di atas wilayah Indonesia pastinya memunculkan keinginan negara yang punya satelit menggunakan keunggulannnya untuk mencari data terkait indonesia. Baik potensi SDAnya maupun juga instalasi militer yang bisa mereka gunakan sebagai basis data saat punya masalah dengan Indonesia.
Pertahanan dari kejahatan ruang angkasa inilah yang masih lemah buat negara Indonesia. Memang untuk menjadi pemain terdepan teknologi ruang angkasa bukan hal mudah. Butuh dana yang luar biasa besar. Sebagai gambaran untuk mengirimkan manusia ke Bulan tahun 1969 Amerika menghabiskan lebih dari 2000 triliun.Â
Angka itu hampir setara  dengan APBN Indonesia tahun 2019. Sebenarnya asa memasuki era antariksa sudah dicanangkan presiden Soekarno tahun 1964, dengan meluncurkan Roket Kartika-1 pada 14 Agustus 1964 di Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.Â
Roket hasil kreasi dari tim gabungan ITB, AURI dan PINDAD. Roket meluncur mulus dengan ketinggian 60 km. Keberhasilan Indonesia meluncurkan roket atmosfer menjadikan negara kedua setelah Jepang yang berhasil membuat roket sendiri.
Ruang angkasa sebagai warisan bersama umat manusia (the common heritage of mankind) harus di jadikan ladang rezeki bersama umat manusia. Maka, rakyat Indonesia jangan sampai telat mempersiapkan diri, bahwasanya dalam kenyataan yang namanya warisan harus direbut dengan SDM dan teknologi yang mumpuni. Kita tidak bisa hanya menunggu jatah bagian yang diberikan, karena pastinya tidak akan ada yang memberikan.
Selamat datang pada abad antariksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H