Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (3)

9 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 11 Juli 2021   00:53 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar membuat gerabah (dok.pribadi)

Masa Lalu

Tahun 1006 Masehi, Merapi meletus. Menyemburkan abu vulkanik jutaan ton. Menciptakan malam berkepanjangan. Mengubur Borobudur, meratakan peradaban yang ada di atasnya. Memaksa kerajaan Mataram Kuno untuk pindah ke Jawa Timur. Borobudur lenyap tersapu waktu, tenggelam dalam timbunan abu merapi. Itulah gambaran menurut ahli geologi Belanda, Rein Van Bemmelen.

Ribuan tahun, Candi Borobudur seolah murca. Namun, ingatan keberadaannya selalu dituturkan. Borobudur semakin samar, tersapu waktu, hilang dalam rerimbunan vegetasi hutan hujan tropis yang lebat.

Namun, fisik borobudur tidak semuanya terkubur. Stupa-stupanya masih menyembul di antara tetumbuhan. Bagi masyarakat, Borobudur saat itu adalah misteri yang tak terpecahkan. Sebuah tempat keramat yang malati untuk dikunjungi.

Tahun 1709, ada pemberontak  Kerajaan Mataram yang bersembunyi di bukit Borobudur. Dirinya berhasil ditangkap dan dihukum mati. Masyarakat semakin yakin, bukit Borobudur adalah tanah wingit. Borobudur semakin sepi peziarah. Dilupakan keberadaannya. Sendirian dalam kesenyapan sejarah.

Hingga 1814, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang ditugaskan menguasai Jawa mendapat laporan tentang keberadaan candi besar di Desa Bumisegoro. Dari sinilah Borobudur mulai mendapat perhatian. Dengan mengerahkan 200 penduduk lokal, bukit misterius tersebut, hutannya dibabat, tanahnya dibersihkan. Borobudur dibangunkan dari tidur panjangnya.

Menyusuri Sungai Purba

Jeep yang kami tumpangi menerabas semak dan masuk ke badan Sungai Sileng. Ini adalah bagian  dari tour Sound Of Borobudur. Setelah kemarin, Kamis (24/06/2021), kami seharian mengikuti acara Konferensi Internasional Sound Of Borobudur, hari ini, Jum'at (25/06/2021) kami diajak untuk melihat secara nyata lanskap alam dan bentang sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya.

Teman saya, Mbak Nara dan Bu Tety tubuhnya terguncang di atas Jeep yang melaju kencang. Tanganya mendekap erat besi pegangan Jeep, sambil sesekali teriak ekspresif dan tertawa gembira; hal yang sama aku lakukan. Teriakan seirama juga terdengar dari rombongan jeep di belakang.

Sungai yang kami lewati inilah yang menjadi perdebatan panas arkeolog dan pakar geologi. Pemicunya adalah Nieuwenkamp, seniman Belanda. Pada 9 September 1933 menuliskan hipotesisnya di majalah Algemeen Handelsblaad, dengan judul Het Boroboedoermeer (Danau Borobudur).   Hipotesisnya berbunyi, bahwasanya Borobudur dulunya berada di tengah danau. Ibarat padma yang mekar penuh keanggunan di tengah telaga.

Karuan saja, sanggahan dan dukungan diiringi perang argumen, menghangat dan adakalanya memanas. Dan Sungai Sileng inilah bekas tinggalan dari danau purba Borobudur tersebut.

Sungai Purba Sileng (dok.Tety Polmasari)
Sungai Purba Sileng (dok.Tety Polmasari)
                                                                                                    

Jeep yang disopiri Mas Hari, warga lokal sengaja berhenti sejenak untuk mengabadikan momen di tengah sungai purba. Cahaya matahari cukup leluasa menerpa wajah kami. Sembur hangat seolah mengusap wajah. Karena masih pukul 09.15 cahaya masih bersahabat untuk kulit.

Kalau benar apa yang dihipotesakan Nieuwenkamp tahun 1933, maka saat ini posisiku berada di kubangan danau purba ribuan tahun lampau. Sebuah objek geologis akan tetap menjadi objek pasif yang mati, kalau tidak ada narasi yang dibangun menjelaskannya. Begitu juga dengan keberadaan Sungai Sileng ini. Sungai ini seperti hidup dan bercerita.

Apa yang di Imajinasikan Nieumenkamp, bisa dipahami. Sebelum kami naik Jeep dalam tour ini, kami beserta rombongan berkesempatan sarapan dan koordinasi di ketinggian Pegunungan Menoreh.Yakni di Enam Langit by Plataran. Sebuah restoran yang berada di puncak Perbukitan Menoreh.

Dari situ, aku bisa melihat Candi Borobudur berada dalam sebuah mangkok raksasa yang dikelilingi enam gunung; Merapi, Merbabu, Telomoyo, Andong, Sumbing, Sindoro.

Tempat yang istimewa untuk melihat Borobudur dan alam yang melingkupnya. Paduan artistik dari karya manusia dan Tuhan Pencipta Semesta.

Apakah mungkin Gunadharma, waktu lampau, juga berada di sini, di tempat aku berpijak? hanya untuk mencari lokasi yang tepat untuk Candi yang akhirnya mewujud sebagai Bhumishambharabudhara. Lalu dia memekik "Eureka!" "Di sana, ya di sana di bukit itu kita bangun Candi"

Danau Borobudur bukanlah mustahil adanya. Tahun 2001, ahli geologi asli Muntilan Helmy Murwanto, melakukan analisis karbon C-14 serbuk sari tanaman air yang didapat dari pengeboran wilayah sekitar Borobudur.

Kesimpulannya; sampai tahun 1271 M, danau Borobudur masih ada. Artinya saat dibangun tahun 800-an sampai ditinggalkan sekitar tahun 1006 M, Borobudur masih di kelilingi danau.

Menuju Desa Gerabah

Jeep bergerak menerabas arus sungai Sileng yang tidak terlalu dalam. Membuat cipratan air di kanan kiri sehingga membasahi tubuh dan muka kami. Jeep melaju menuju daratan untuk bergerak ke destinasi selanjutnya, yakni Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur.

Desa ini adalah desa wisata, masyarakatnya sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Profesi pembuatan gerabah bukan baru-baru saja ditekuni oleh penduduk. Namun, profesi yang turun temurun.

Bisa jadi akarnya sejak zaman Mataram Kuno, karena ada salah satu panel relief yang menggambarkan aktivitas pembuatan gerabah di Candi Borobudur.

Saat berada di Dusun Klipoh, kami belajar cara pembuatan gerabah di Gerabah Arum Art milik Pak Supoyo (50). Kalau melihat pekerja membuat gerabah, seolah pekerjaan tersebut hal yang mudah. Tinggal memutar alat, menaruh gumpalan tanah liat, ibu jari dimasukkan untuk membuat bentuk, dan selesailah pekerjaannya.

Namun tidak semudah itu, ada kalanya kalau terlalu keras menekan, bentuk yang kita hasilkan menjadi aneh, tidak simetris namun terlihat eksotik dan abstrak.hehe

Belajar membuat gerabah (dok.pribadi)
Belajar membuat gerabah (dok.pribadi)
Pada kesempatan itu, kami diajari satu persatu. Hasil yang kami ciptakan akan dibakar dan hasilnya akan dikirim ke penginapan kami. Ini jelas pengalaman menarik. Sebagai kenangan yang pastinya tak akan mampu di tipe-X oleh waktu.

Puas dengan membuat gerabah, kami meluncur ke Warung Makan De'menake. Warung makan dengan arsitektur Jawa dengan bangunan joglo yang antik dan klasik. Warung makan ini berada di kompleks Semesta Area, Dusun Sangen, Desa Candirejo. Kami makan sepuasnya dengan menu ala jawa kuno. Sampai pukul 13.10 kami di situ. Makan sambil bercerita latar belakang kehidupan kami masing-masing.

Setelah itu kami naik Andong, menuju sanggar seni lukis Limanjawi Art House. Kami di sambut oleh Mas Umar Chusaini. Mas umar mendirikan sanggar tahun 2002, dengan tujuan menyatukan seniman yang ada di sekitar Borobudur.

Perjalanan dilanjutkan ke Kopi Pawon. Kami di sambut mbak-mbak cantik yang menjelaskan pembuatan kopi luwak. Sebelum acara ngopi bersama, kami bergerak ke lokasi Candi Pawon yang jaraknya tidak lebih dari 50-an meter.

Menurut cerita, dulunya Candi Pawon, Mendut, dan Borobudur dihubungkan jalan lurus sebagai bagian dari ritual keagamaan. Candi pawon saat ini lokasinya dihimpit oleh pemukiman penduduk. Kurang lebih 45 menit kami berada di situs Candi Pawon.

Setelah itu kami berkumpul di pendopo Kopi Pawon dan disambut oleh pemiliknya Pak Ajie. Beliau menjelaskan kisah berdirinya Kopi Pawon. Sambil ngobrol kami disuguhi secangkir kopi luwak dan cemilan pisang kukus. Rasanya nikmat, dan mengesankan walau terbilang sederhana.

Borobudur Aku Datang

Pukul 16.10 iring-iringan mobil yang membawa kami meninggalkan kompleks Candi Pawon. Mendung menggelayut, seolah nunggu perintah untuk jatuh. Dalam hati aku berdoa semoga hujan bisa dijadwal ulang, jangan turun dulu, sebelum diriku melihat dan menyentuh Borobudur.

Iring-iringan mobil VW yang kami tumpangi menuju pintu masuk Kantor Balai Konservasi Borobudur. Hujan mulai jatuh, rintik-rintik. Kami disambut oleh Pak Iwan, sebagai orang yang berwenang di Borobudur. Dan beliaulah yang akan memandu  kami.

Lokasi Candi dan Kantor Balai Konservasi lumayan jauh, kalau ditempuh jalan kaki. Untuk menuju ke Candi Borobudur kami naik mobil yang sudah disiapkan oleh panitia. Kami memasuki mobil dan segera berangkat.

Di rerimbunan pohon, dari jendela mobil, diriku bisa melihat candi hitam legam yang angkuh seolah ingin tetap berdiri seribu tahun atau selama-lamanya. Ada kekaguman yang mengendap. Tidak seberapa lama mobil berhenti, titik pemberhentian terdekat dari candi. Aku turun dari mobil, dan kami melangkah menuju Candi.

Sepanjang jalan aku menikmati langkahku, satu demi satu, meter demi meter, aku melihat nya. Aku semakin dekat dengan objek itu. Batu berukir yang selalu menarik imajinasi akan kejayaan masa lalu. Posisiku sekarang sudah berada tepat di kaki Candi. Aku melihat Mutiara yang dengan tenangnya memandang objek yang sama, begitu juga Bu Tety. Inilah Wonderful Indonesia itu.

Moment yang setiap detik saya rasakan, saya hayati. Aku mengagumi pembuat candi agung ini. Seribu dua ratus tahun, leluhurku mencoba berkomunikasi dengan anak cucunya. Dengan sebuah tinggalan yang tak lekang oleh waktu.

Mungkin tulang belulang mereka yang membangun Borobudur sudah menyatu dengan tanah, kembali ke komposisi alamiah alam semesta. Namun, nasehat, ajaran kehidupan yang mereka wariskan, gemanya masih ada dan masih bisa diterima. Aku kagum dengan atmosfer semacam ini.

Tanganku meraba, merasakan potongan batu yang dipotong presisi dengan alat logam entah bagaimana caranya. Sambil diriku mendengarkan Pak Iwan dari BPCB menjelaskan tentang relief di kaki candi, aku mendengarkan, melihat mengagumi bangunan ini. Perjalananku seolah tuntas, terbayar lunas.

Kontemplatif

Waktu serasa berhenti. Mendung menggumpal hitam. Borobudur tetap diam membisu. Seperti buku ensikplopedi yang siap dibuka, di pahami dan diresapi ajaran mulianya. Kami naik tangga tingkat pertama, melihat relief alat musik.

Sebenarnya sudah 2 kali saya mengunjungi Borobudur. Pertama tahun 1997 saat kelas 2 SMP, dan tahun 2010 dengan rekan kerja. Namun, kali ini aku datang dengan tujuan yang berbeda. Bukan tamasya. Aku peziarah, sebagaimana saat abad ke-8 sampai 10 saat Borobudur menerima peziarah dari penjuru dunia.

Saat memandang candi megah ini, aku ingat Raffles dan Wallace; mereka berdua pantas kagum dengan Candi Budha terbesar di Asia Tenggara Ini. Sampai-sampai Raffles berujar bahwa keberadaan Borobudur mengerdilkan pembuatan piramida di Mesir.

Diriku mencoba melihat dengan kesadaran, menghirup momen dengan penghayatan penuh. Aku sudah memenuhi janjiku "Datang ke Borobudur". Sebuah tekad di tengah kencangnya wabah pagebluk. Sebagaimana kita tahu, pagebluk ini telah mengobrak-abrik sektor ekonomi, sosial dan juga pergerakan orang. Pagebluk ini juga menciptakan gelombang ketakutan. Dalam situasi tidak baik-baik saja inilah diriku, Mutiara dan Bu Tety dan teman-teman lainnya tetap memenuhi undangan Sound of Borobudur.

Aku melihat arlojiku, pukul 17.22. Sudah mulai sore. Ingin rasanya diriku berlama-lama duduk sendiri menikmati nuansa sakral di candi ini. Ingin betul saya memandang bulan purnama saat malam, sambil duduk termenung membayangkan Gunadharma sebagai arsitek Borobudur. Saat bersimpuh dan menangis puas atas hasil karyanya. Meskipun diriku yakin, Gunadharma tak pernah melihat penyelesaian ciptaannya.

Waktu terasa bergulir lebih cepat, saat panitia mengintruksikan bahwa kami harus mengakhiri kunjungan di Borobudur. Aku sudah menuntaskan jalan, sebagai peziarah. Rasanya ingin berlama-lama. Namun, sudah waktunya untuk berbalik menuju penginapan ngargogondo. Aku seperti pendaki Everest, pada saat di puncak harus segera turun. Karena di puncak bukan untuk ditinggali. Namun, cukup untuk digapai.

Saat pulang aku minta kepada Mbak Nara, sosok bloger cerdas, yang saat itu berjalan bersisian untuk mengambil gambarku. Dia bersedia. Aku  berpose di lapangan hijau berlatar Candi Wangsa Syailendra. Masa lalu dan masa kini, berada dalam bingkai photo bidikannya.

Aku berjalan mundur, sambil melihat candi megah yang ada di depanku itu. Pelan-pelan posisiku semakin menjauh. Tidak terasa diriku sudah di depan jajaran mobil yang akan membawa kami menuju penginapan. Kami harus segera berkemas, karena Pukul 19.00  bersiap untuk acara di Omah Mbudur. Ada kejutan yang akan kami terima selanjutnya.

Ketika masuk mobil kulihat wajah Mbak Nara yang kelelahan. Dia bersandar damai di jok mobil sambil memejamkan mata. Kedamaiannya mengingatkanku pada wajah teduh Buddha yang menghiasi Borobudur.

Pukul 17.30 kami meninggalkan area Candi Borobudur. Suara tahrim  dari pelantang Masjid terdengar. Dan Mbak Nara masih terbenam dalam pejaman matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun