Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (3)

9 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 11 Juli 2021   00:53 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar membuat gerabah (dok.pribadi)

Saat memandang candi megah ini, aku ingat Raffles dan Wallace; mereka berdua pantas kagum dengan Candi Budha terbesar di Asia Tenggara Ini. Sampai-sampai Raffles berujar bahwa keberadaan Borobudur mengerdilkan pembuatan piramida di Mesir.

Diriku mencoba melihat dengan kesadaran, menghirup momen dengan penghayatan penuh. Aku sudah memenuhi janjiku "Datang ke Borobudur". Sebuah tekad di tengah kencangnya wabah pagebluk. Sebagaimana kita tahu, pagebluk ini telah mengobrak-abrik sektor ekonomi, sosial dan juga pergerakan orang. Pagebluk ini juga menciptakan gelombang ketakutan. Dalam situasi tidak baik-baik saja inilah diriku, Mutiara dan Bu Tety dan teman-teman lainnya tetap memenuhi undangan Sound of Borobudur.

Aku melihat arlojiku, pukul 17.22. Sudah mulai sore. Ingin rasanya diriku berlama-lama duduk sendiri menikmati nuansa sakral di candi ini. Ingin betul saya memandang bulan purnama saat malam, sambil duduk termenung membayangkan Gunadharma sebagai arsitek Borobudur. Saat bersimpuh dan menangis puas atas hasil karyanya. Meskipun diriku yakin, Gunadharma tak pernah melihat penyelesaian ciptaannya.

Waktu terasa bergulir lebih cepat, saat panitia mengintruksikan bahwa kami harus mengakhiri kunjungan di Borobudur. Aku sudah menuntaskan jalan, sebagai peziarah. Rasanya ingin berlama-lama. Namun, sudah waktunya untuk berbalik menuju penginapan ngargogondo. Aku seperti pendaki Everest, pada saat di puncak harus segera turun. Karena di puncak bukan untuk ditinggali. Namun, cukup untuk digapai.

Saat pulang aku minta kepada Mbak Nara, sosok bloger cerdas, yang saat itu berjalan bersisian untuk mengambil gambarku. Dia bersedia. Aku  berpose di lapangan hijau berlatar Candi Wangsa Syailendra. Masa lalu dan masa kini, berada dalam bingkai photo bidikannya.

Aku berjalan mundur, sambil melihat candi megah yang ada di depanku itu. Pelan-pelan posisiku semakin menjauh. Tidak terasa diriku sudah di depan jajaran mobil yang akan membawa kami menuju penginapan. Kami harus segera berkemas, karena Pukul 19.00  bersiap untuk acara di Omah Mbudur. Ada kejutan yang akan kami terima selanjutnya.

Ketika masuk mobil kulihat wajah Mbak Nara yang kelelahan. Dia bersandar damai di jok mobil sambil memejamkan mata. Kedamaiannya mengingatkanku pada wajah teduh Buddha yang menghiasi Borobudur.

Pukul 17.30 kami meninggalkan area Candi Borobudur. Suara tahrim  dari pelantang Masjid terdengar. Dan Mbak Nara masih terbenam dalam pejaman matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun