Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (3)

9 Juli 2021   23:44 Diperbarui: 11 Juli 2021   00:53 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul 16.10 iring-iringan mobil yang membawa kami meninggalkan kompleks Candi Pawon. Mendung menggelayut, seolah nunggu perintah untuk jatuh. Dalam hati aku berdoa semoga hujan bisa dijadwal ulang, jangan turun dulu, sebelum diriku melihat dan menyentuh Borobudur.

Iring-iringan mobil VW yang kami tumpangi menuju pintu masuk Kantor Balai Konservasi Borobudur. Hujan mulai jatuh, rintik-rintik. Kami disambut oleh Pak Iwan, sebagai orang yang berwenang di Borobudur. Dan beliaulah yang akan memandu  kami.

Lokasi Candi dan Kantor Balai Konservasi lumayan jauh, kalau ditempuh jalan kaki. Untuk menuju ke Candi Borobudur kami naik mobil yang sudah disiapkan oleh panitia. Kami memasuki mobil dan segera berangkat.

Di rerimbunan pohon, dari jendela mobil, diriku bisa melihat candi hitam legam yang angkuh seolah ingin tetap berdiri seribu tahun atau selama-lamanya. Ada kekaguman yang mengendap. Tidak seberapa lama mobil berhenti, titik pemberhentian terdekat dari candi. Aku turun dari mobil, dan kami melangkah menuju Candi.

Sepanjang jalan aku menikmati langkahku, satu demi satu, meter demi meter, aku melihat nya. Aku semakin dekat dengan objek itu. Batu berukir yang selalu menarik imajinasi akan kejayaan masa lalu. Posisiku sekarang sudah berada tepat di kaki Candi. Aku melihat Mutiara yang dengan tenangnya memandang objek yang sama, begitu juga Bu Tety. Inilah Wonderful Indonesia itu.

Moment yang setiap detik saya rasakan, saya hayati. Aku mengagumi pembuat candi agung ini. Seribu dua ratus tahun, leluhurku mencoba berkomunikasi dengan anak cucunya. Dengan sebuah tinggalan yang tak lekang oleh waktu.

Mungkin tulang belulang mereka yang membangun Borobudur sudah menyatu dengan tanah, kembali ke komposisi alamiah alam semesta. Namun, nasehat, ajaran kehidupan yang mereka wariskan, gemanya masih ada dan masih bisa diterima. Aku kagum dengan atmosfer semacam ini.

Tanganku meraba, merasakan potongan batu yang dipotong presisi dengan alat logam entah bagaimana caranya. Sambil diriku mendengarkan Pak Iwan dari BPCB menjelaskan tentang relief di kaki candi, aku mendengarkan, melihat mengagumi bangunan ini. Perjalananku seolah tuntas, terbayar lunas.

Kontemplatif

Waktu serasa berhenti. Mendung menggumpal hitam. Borobudur tetap diam membisu. Seperti buku ensikplopedi yang siap dibuka, di pahami dan diresapi ajaran mulianya. Kami naik tangga tingkat pertama, melihat relief alat musik.

Sebenarnya sudah 2 kali saya mengunjungi Borobudur. Pertama tahun 1997 saat kelas 2 SMP, dan tahun 2010 dengan rekan kerja. Namun, kali ini aku datang dengan tujuan yang berbeda. Bukan tamasya. Aku peziarah, sebagaimana saat abad ke-8 sampai 10 saat Borobudur menerima peziarah dari penjuru dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun