Oleh:
Agus Purwanto, M.Kesos
(Ketua Umum DPC Pemuda Tani Indonesia Binjai)
Sejak akhir tahun 2019 hingga menjadi pandemi, dampak Covid-19 sangat luar biasa pada pelbagai sektor kehidupan di masyarakat. Berdasarkan data dari WHO tertanggal 23 Oktober 2020, terdata kasus pandemi Covid-19 ada 41.104.946 kasus terkonfirmasi, dan 1.128.325 kasus yang meninggal.Â
Sedangkan data perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia berdasarkan data dari gugus tugas penanganan Covid-19, terdata ada 377.541 kasus yang terinfeksi, 301.006 kasus sembuh, dan 12.959 kasus meninggal.Â
Bahkan saat ini di Indonesia masih terus ada penambahan kluster baru penyebaran Covid-19, baik berbasis wilayah maupun aktivitas. Pelbagai upaya untuk menghadapi pandemi Covid-19 pun dilakukan, seperti karantina rumah, isolasi mandiri, karantina fasilitas khusus, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.
Namun disaat situasi dan kondisi pandemi Covid-19, Indonesia juga bersiap melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) kepala daerah secara serentak atau Pilkada. Sejak tahun 2005, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota, dipilih secara langsung oleh rakyat.Â
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.Â
Secara eksplisit Pilkada secara langsung dinilai sebagai perwujudan pengembalian "hak-hak dasar" masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan secara langsung dan utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah secara demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan dari masyarakat itu sendiri.
Setidaknya pada tahun 2020 ini ada 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang akan melangsungkan Pilkada. Pelaksanaan pesta demokrasi tahun 2020 ini memang terjadi polemik, antara pro dan kontra. Sebab dengan situasi dan kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang setiap hari terus meningkat kasus yang reaktif, dikuatirkan pelaksanaan pemilu serentak akan berkontribusi dalam peningkatkan kluster kasus Covid-19. Â
Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September untuk memilih 9 gubernur, 224 bupati, dan 37 walikota secara serentak. Namun saat dunia dan Indonesia mengalami pandemi Covid-19, pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 mengundur penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember 2020. Â
Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Terlepas dari polemik yang terjadi, penyelenggaraan pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, yaitu 9 Desember 2020. Dimana pemilu akan digelar dengan protokol kesehatan yang ketat. Untuk itulah ini menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam merumuskan dan melaksanakan protokol kesehatan dalam pesta demokrasi pemilu.Â
Selain itu juga banyak pihak menilai penyelenggaraan pilkada 2020 memiliki potensi tinggi terjadinya malpraktik atau pelanggaran dalam proses pelaksanaannya, dari proses pendataan daftar pemilih, verifikasi pasangan calon, proses kampanye, proses pemungutan suara, proses perhitungan suara, hingga proses gugatan hasil pilkada.
Dalam studi ilmu politik, pilkada dapat dikatakan sebuah aktifitas politik. Dimana pilkada merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan. Pilkada sendiri diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, yang dianggap mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat.Â
Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 ini harus tetap menjalankan asas pemilu sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini untuk meminimalisir terjadinya potensi malpraktik pada penyelenggaraan pilkada 2020 di masa pandemi covid-19.Â
Ditegaskan dalam undang-undang pemilu bahwa pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu juga penyelenggarakan pemilu harus memenuhi prinsip, mandiri; jujur; adil; berkepastian hukum; tertib; terbuka; proporsional; profesional; akuntabel; efektif; dan efisien.
Asas luber dan jurdil harus tetap dijaga oleh para penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dalam penyelenggaraan pemilu di masa pandemi Covid-19 ini. Dimana asas Luber ini maksudnya adalah bahwa di masa pandemi Covid-19 ini, masyarakat sebagai pemilih harus dapat terjamin haknya untuk memilih secara langsung dalam pemilu sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.Â
Lalu penyelenggraan pemilu di masa pandemi Covid-19 ini harus berlaku untuk seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain.Â
Selain itu juga seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilu, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.Â
Kemudian dalam kondisi penyelenggaraan pemilu di masa pandemi Covid-19, masyarakat dapat terjamin kerahasiaan pilihannya. Dimana masyarakat yang memberikan suaranya tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
Lalu asas jurdil, yaitu bahwa ditengah keterbatasan penyelenggaraan pemilu di masa pandemi Covid-19 ini semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Â
Selain itu juga setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Maka untuk itulah pelaksanaan dan pengawasan pemilu harus tetap dilaksanakan dengan ketat agar tidak terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu 2020 ini.
Untuk itulah menurut hemat penulis, KPU maupun Bawaslu harus dapat merumuskan dengan baik peta jalan (road map) antisipasi berbagai potensi malpraktik yang akan terjadi pada penyelenggaraan pilkada. Hal ini agar penyelenggaraan pilkada 2020 tidak disebut sebagai proses pilkada yang paling buruk dan tidak berintegritas. Setidaknya upaya antisipasi yang dapat dilakukan, antara lain:
Pertama, pentingnya koordinasi antara KPU, Bawaslu, Komisi II, dan Kementerian Dalam Negeri dalam merumuskan dan menetapkan peta jalan upaya antisipasi berbagai potensi malpraktik yang akan terjadi pada penyelenggaraan pilkada sebagai dampak situasi pandemi Covid-19 dalam penyelenggaraan Pilkada 2020.Â
Kedua, Bawaslu sejak awal dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi berbagai kemungkinan malpraktik yang akan terjadi pada Pilkada 2020 sesuai dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2020 dengan melakukan koordinasi bersama KPU, khususnya untuk membuat berbagai skema inovatif dalam rangka mengantisipasi potensi malpraktik yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada 2020.Â
Antisipasi lain adalah dengan membahas penggunaan anggaran dan beberapa kemungkinan pengalihan anggaran dalam penyelenggaraan Pilkada 2020 akibat situasi darurat yang kemungkinan dapat terjadi.
Ketiga, jika pihak KPU bermaksud mendesain sebuah e-rekapitulasi elektronik sebagaimana wacana upaya untuk mengantisipasi malpraktik yang mungkin terjadi pasca pemberian suara, maka pihak KPU harus dapat memastikan tingkat keamanan dan kesahihan data e-rekapitulasi elektronik yang menjadi data resmi hasil pilkada. Terakhir, pihak KPU harus benar -- benar dapat memastikan bahwa data pemilih akurat dan kredibel.
Selain potensi malpraktik penyelenggaraan pilkada 2020, protokol kesehatan selama proses penyelenggaraan pilkada 2020 juga menjadi hal yang sangat krusial.Â
Untuk itu pihak KPU dan Bawaslu harus dapat membangun koordinasi yang baik dengan berbagai pihak agar protokol kesehatan dapat tetap terlaksana. Sehingga penyelenggaraan pilkada 2020, tidak memunculkan kluster -- kluster baru peningkatan kasus Covid-19.Â
Pihak KPU dan Bawaslu dapat membangun kerjasama dengan para ahli epidemiologi maupun praktisi kesehatan dalam menyusun standar operasional penyelenggaraan pilkada 2020 di masa pandemi Covid-19.Â
Oleh karena itulah, penyelenggaraan pilkada 2020 menjadi tantangan berat bagi berbagai pihak, khususnya KPU dan Bawaslu. Semoga penyelenggaraan pilkada 2020 tetap terjaga integritas asas pemilu, walaupun ditengah berbagai tantangan di masa pandemi Covid-19.Â
Dan pada akhirnya integritas asas ini dapat melahirkan para pimpinan kepala daerah yang berintegritas, visioner dan merakyat dalam membangun kemajuan serta kesejahteraan daerahnya dan masyarakatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H