Mohon tunggu...
Agus Salman
Agus Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati politik, sosial, seni, budaya

mahluk yang terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruwahan, Munggahan, Punggahan dalam Tradisi Menyambut Ramadhan

15 Maret 2023   10:01 Diperbarui: 15 Maret 2023   10:07 1582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ruwahan, Munggahan, dan Punggahan Dalam Menyambut Bulan Ramadhan

Ruwahan, Munggahan dan Punggahan

Kita sudah berada dalam bulan Sya'ban, atau orang Jawa menyebutnya sebagai bulan Ruwah. Diantara tradisi yang masih lestari dan berjalan adalah Ruwahan, yang berasal dari kata arwah (ruh), yaitu upacara selametan atau kenduren dengan mengundang para tetangga dan saudara dekat untuk bersama-sama mendoakan kepada arwah para leluhur yang sudah meninggal, agar diberikan pengampunan dan kehidupan yang penuh nikmat di alam kuburnya.

Upacara Ruwahan yang ditandai dengan pembagian berkat yang berisi aneka menu seperti ketan, apem, pisang raja, dan lain-lain, biasanya dilakukan baik oleh keluarga secara individu, maupun oleh jamaah secara kolektif (ruwahan massal), seperti oleh masjid, musholla, atau kelompok masyarakat tertentu.

Ruwahan dalam Bahasa lain dikenal dengan Munggahan, atau Punggahan dengan tujuan yang sama yaitu mengitim doa kepada para arwah leluhur dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.

Munggahan dapat diartikulasikan sebagai ungkapan kata unggah dalam Arti Bahasa Sunda misalnya yang arti Harfiahnya Adalah "menuju, naik, naik level dan menuju kejenjang bulan paling hebat , juga arti kata dengan yang lain-lainnya". Diawali dengan huruf "m" maka kata unggah menjadi munggah yang bisa juga kita artikan menjadi " mulai masuk ke level bulan berbeda" dari nama bulan-bulan yang lainnya. Filosofi Munggahan dapat diartikan sebagai prosesi penyambutan bulan puasa yang penuh kemuliaan, sehingga umat Muslim akan merasa bahagia dan dinaikkan derajatnya.

Tak jauh beda dengan munggahan, punggahan adalah salah satu tradisi yang terdapat didaerah Jawa, tetapi cara memperingatinya cukup berbeda-beda. Biasanya tradisi ini dilakukan menjelang bulan ramadhan tiba.

Punggahan itu sendiri berasal dari kata Munggah (bahasa Jawa) yang berarti naik. Maksudnya bahwa, masuknya bulan Ramadhan perlu disambut dengan iman yang harus lebih ditingkatkan lagi. Punggahan ini bertujuan untuk mengingatkan para umat muslim bahwa Ramadhan akan gera tiba, dan juga untuk mengirim doa pada orang-orang yang telah meninggal dunia.

Kenapa mengirimkan doa kepada orang yang sudah meninggal?

Kerap muncul pertanyaan, apakah mendoakan orang yang sudah meninggal itu bermanfaat bagi yang sudah meninggal, dan apakah doanya sampai?. Ada masyarakat yang berkeyakinan, bahwa tidak ada manfaatnya mendoakan orang yang sudah meninggal, karena amalnya sudah terputus. Sehingga ada orang yang tidak mau menghadiri tahlilan yang didalamnya mendoakan orang yang sudah meninggal.

Alquran memerintahkan agar seorang muslim selalu berdoa meminta ampun atas dosa-dosanya sendiri dan saudara-saudaranya yang telah beriman terdahulu (QS. Al Hasyr : 10). Seorang anak diperintahkan berdoa, "Ya Rabb, ampuni dosa-dosaku, dosa-dosa kedua orang tuaku, berilah rahmat sebagaimana mereka berdua mendidikku ketika masih kecil"; dan setiap Jum'atan khatib juga selalu memanjatkan doanya, "Ya Allah, ampunilah dosa-dosa muslimin muslimat mu'minin mu'minat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat".

Doa adalah inti ibadah. Hakikat ibadah adalah memanjatkan doa kepada Allah SWT. Seluruh bacaan dalam shalat adalah doa, puasa, zakat, dan haji adalah media agar doa-doa dikabulkan. Dalam Islam diajarkan tentang berbagai doa, dari mulai bangun tidur, mandi, memakai baju, bercermin, makan, masuk rumah, masuk toilet, berhubungan suami istri, sampai tidur lagi, semua ada doanya.

Para ulama mengajarkan pula adab dalam berdoa, lafadz-lafadz tertentu, waktu-waktu dan tempat-tempat khusus yang mustajab untuk berdoa, termasuk hal-hal yang menyebabkan doa tidak dikabulkan.

Doa sendiri adalah ibadah yang diperintahkan, sebagaimana firman Allah swt : "Berdoalah kepada-Ku pasti Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (tidak mau berdoa), mereka akan masuk ke neraka jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Al-Mukmin: 60).

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa berdoa hukumnya wajib. Orang yang berdoa adalah pertanda ia menyembah, menundukkan diri, dan menggantungkan hidup dan matinya lillahi rabbil 'alamin. Tidak mungkin diperintahkan berdoa jika tidak ada manfaatnya atau tidak sampai.

Maka aneh jika ada orang berpendapat atau meyakini bahwa doa kepada orang yang sudah meninggal tidak akan sampai dan tidak bermanfaat. Lalu bagaimana sikap atau perlakukan kita yang masih hidup kepada orang tua kita yang sudah meninggal? Sungguh pendapat yang tidak berdasar dan tidak masuk akal. Kita tidak bisa mebayangkan bagaimana beragama tanpa doa.

Dalam acara Ruwahan/munggahan/punggahan, yang dibaca adalah kalimah-kalimah thayyibah, seperti istighfar, tahlil, tahmid, tasbih, shalawat Nabi, dan ayat-ayat Al qur'an, yang sangat dianjurkan banyak membacanya. Maka Ruwahan adalah tradisi yang positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berkirim doa untuk orang yang sudah mati ini tentu bisa kapan saja. Tetapi bulan Ruwah ini dianggap sekedar momen yang baik, sebagaimana momen-momen yang lain. Membuat momen adalah tidak dilarang, sepanjang tidak diyakini bahwa hari atau bulan tertentu memiliki kekuatan/magis, sedangkan waktu yang lain tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun