Oleh: Agus Sjafari*
HUT RI ke 79 Tahun 2024 ini bangsa Indonesia tidak saja merayakan Hari Kemerdekaan saja, melainkan juga mendapatkan kado spesial khususnya kado penyelamatan masa depan demokrasi kita yaitu dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di pilkada, dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah.
Secara substansial bahwa kedua Keputusan itu pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kemerdekaan demokrasi kita yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjajah oleh demokrasi elit. Ketentuan batas minimal 20 % threshold dalam pencalonan presiden dan khususnya kepala daerah diibaratkan seperti "hantu demokrasi" yang membelenggu aspirasi rakyat untuk mencalonkan calon potensial atau calon terbaiknya.
Dampak yang ditimbulkan dengan tingginya ambang batas pencalonan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, bagi partai politik khususnya partai politik pada level medioker syarat 20 % sangatlah memberatkan untuk memajukan calon potensial.
Batas ambang batas tersebut pada akhirnya hanya didominasi oleh parpol menengah ke atas atau gabungan partai politik guna memenuhi prosentase ambang batas pencalonan tersebut.
Pada akhirnya bahwa ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah hanya menjadi monopoli dari partai politik besar. Fenomena borong partai yang kemudian kita kenal sebagai "kartel politik" menjadi fenomena politik yang sangat membahayakan demokrasi kita pada masa yang akan datang.
Kedua, Merugikan aspirasi dan partisipasi rakyat. Esensi dari demokrasi pada dasarnya adalah bagaimana aspirasi dan partisipasi rakyat tersalurkan tidak saja pada saat pencoblosannya saja, melainkan rakyat juga diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam mengusulkan calon pemimpin bangsa dan pemimpin daerah yang layak dan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa elit partai politik yang berkongsi tidak mampu memberikan pilihan alternatif kepada rakyat, rakyat hanya disuguhkan kepada pilihan-pilihan calon pemimpin yang sangat terbatas.
Kartel politik diibaratkan sebuah restoran di mana menu makanannya sudah dihidangkan dan konsumen yang datang disuruh memilih dan memakannya, tidak peduli apakah rasanya enak atau tidak enak. Kondisi itulah yang tergambar akhir-akhir ini dalam perpolitikan di Indonesia saat ini.
Keluarnya dua keputusan MK memberikan dampak positif bagi kader atau calon potensial yang akan maju lewat jalur partai politik atau koalisi partai politik secara tidak langsung memberikan implikasi meringankan "mahar politik" yang selama ini juga menjadi kendala atau beban tersendiri bagi calon yang ingin berkompetisi.
Dengan dimungkinkannya partai politik level medioker atau gabungan partai kecil untuk mencalonkan calon potensial tentunya mengurangi harga "mahar politik" yang sangat mahal itu. Dan dengan demikian apa yang dirasakan Presiden terpilih Prabowo Subianto bahwa demokrasi kita yang rumit dan mahal itu, sedikit banyak sudah dipecahkan oleh adanya Keputusan dari MK tersebut. Untuk jangka panjangnya, dengan semakin murahnya mahar politik politik pencalonan kepala negara atau kepala daerah setidaknya diharapkan mampu mengurangi perilaku korupsi di Indonesia pada masa yang akan datang.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan penyelamat demokrasi menganggap bahwa konstitusi yang selama ini mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dianggap sebagai akar masalah konstitusi yang harus diluruskan, karena dianggap menghilangkan rasa keadilan rakyat.
Penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi 6,5 % sampai dengan 10% disesuaikan dengan jumlah penduduknya dan disetarakan dengan pencalonan calon independen dipandang sangat memenuhi aspek keadilan dan sesuai dengan substansi demokrasi itu sendiri.
Dua Keputusan MK tersebut secara otomatis menyelamatkan demokrasi kita dari fenomena kotak kosong dan calon "abal-abal" atau calon boneka yang sama sekali tidak memiliki legitimasi politik. Dalam tradisi demokrasi substansial bahwa pertarungan calon kepala daerah itu adalah antara orang melawan orang dan bukan antara orang melawan kotak kosong ataupun melawan "calon boneka" sekalipun.
Dalam konteks Pilkada di Indonesia, fenomena kotak kosong dan calon boneka merupakan fenomena demokrasi yang marak akhir-akhir ini, artinya bahwa pada dasarnya calon yang akan diusung oleh gabungan partai tersebut hanyalah satu orang sedangkan kotak kosong atau calon boneka hanyalah pemanis dalam pemilihan kepala daerah tersebut. Apabila tidak ada perubahan Keputusan oleh MK, diperkirakan terdapat kurang lebih 150 Pilkada Tahun 2024 yang akan melawan kotak kosong atau calon boneka.
Fenomena kotak kosong dan calon boneka sama sekali tidak mencerminkan adanya persaingan dalam demokrasi, padahal salah satu inti dari demokrasi itu sendiri adalah adanya persaingan yang sehat.
Adanya persaingan yang sehat tersebut pada akhirnya akan sangat menguntungkan rakyat dikarenakan munculnya pasangan berkualitas yang berkontestasi, dan pada akhirnya akan sangat diuntungkan adalah daerahnya dikarenakan akan memiliki pemimpin daerah berkualitas yang mampu memajukan daerahnya.
Lahirnya Keputusan MK khususnya Keputusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 pada sisi lain juga sangat menguntungkan partai politik, karena partai politik diberikan kemudahan untuk mencalonkan kader terbaiknya tanpa harus bersusah payah mengumpulkan 20% ambang batas pencalonannya tersebut.
Esensi dari keberadaan partai politik pada dasarnya melahirkan calon-calon pemimpin negara dan daerah yang berkualitas dan berintegritas. Kalaupun partai politik tidak memiliki kader partai yang mumpuni setidaknya partai politik bisa membidik calon-calon potensial di luar partainya untuk dicalonkan berpasangan dengan kadernya.
Alarm Demokrasi
Fenomena borong partai yang saat ini dipraktikkan oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) memiliki implikasi yang sangat jauh dan merupakan sebuah peringatan keras (alarm) kematian demokrasi dan sekaligus juga kematian bagi otonomi daerah.
Fenomena borong partai pada akhirnya akan mendudukkan para kepala daerah tanpa melalui kompetisi yang fair justru akan melahirkan kekuasaan yang sentralistik yang berbaju demokratis.
Artinya bahwa proses pemilihan kepala daerah terjadi secara prosedural dan tidak melanggar ketentuan hukum, namun dilihat dari demokrasi politik serta dilihat dari perspektif otonomi daerah maka akan membahayakan terhadap eksistensi dari otonomi daerah itu sendiri.
Kepala daerah yang didudukkan untuk memimpin daerahnya ditengarai tidak memiliki motivasi yang kuat untuk memperjuangkan aspirasi daerahnya melainkan akan lebih berat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan pemerintah pusat yang ada di daerah. Bagi kepala daerah yang menjalankan agenda kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, maka akan mendapatkan catatan buruk bahkan evaluasi dari pemerintah pusat.
Kepala daerah pada dasarnya harus lebih banyak memperjuangkan kepentingan daerahnya yaitu bagaimana masyarakat di daerahnya lebih sejahtera tanpa harus menghilangkan ciri khas dan karakter daerahnya masing-masing. Daerah hanya dituntut untuk menyelaraskan kebijakan daerahnya dengan kebijakan pemerintah pusat. Dengan demikian setiap kepala daerah harus berkreasi guna membangun daerahnya menjadi lebih baik.
Meskipun diskursus pembahasan publik lebih tertuju kepada Keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, namun terkait dengan Keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia syarat calon kepala daerah juga menjadi perhatian yang serius, karena terkait dengan masalah batas usia ini ditengarai ada ketidakpastian dan terdapat kepentingan terselubung terkait dengan politik dinasti.
Hal tersebut juga sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memaksakan politik dinasti apalagi calon dari trah dinasti tersebut tidak memenuhi persyaratan administratif.
Pada akhirnya dua keputusan dari MK tersebut memberikan implikasi secara sistemik yang secara substansial dapat menyelamatkan demokrasi di Indonesia agar tidak dikuasai oleh para kartel politik atau dinasti politik
Negara ini dilahirkan agar rakyat mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian hal ini akan dicatat dalam Sejarah bahwa MK telah menyelamatkan demokrasi di Indonesia, diibaratkan Keputusan MK merupakan kado terindah di HUT RI ke 79.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Analis Masalah Sosial & Pemerintahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H