Fenomena borong partai yang saat ini dipraktikkan oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) memiliki implikasi yang sangat jauh dan merupakan sebuah peringatan keras (alarm) kematian demokrasi dan sekaligus juga kematian bagi otonomi daerah.
Fenomena borong partai pada akhirnya akan mendudukkan para kepala daerah tanpa melalui kompetisi yang fair justru akan melahirkan kekuasaan yang sentralistik yang berbaju demokratis.
Artinya bahwa proses pemilihan kepala daerah terjadi secara prosedural dan tidak melanggar ketentuan hukum, namun dilihat dari demokrasi politik serta dilihat dari perspektif otonomi daerah maka akan membahayakan terhadap eksistensi dari otonomi daerah itu sendiri.
Kepala daerah yang didudukkan untuk memimpin daerahnya ditengarai tidak memiliki motivasi yang kuat untuk memperjuangkan aspirasi daerahnya melainkan akan lebih berat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan pemerintah pusat yang ada di daerah. Bagi kepala daerah yang menjalankan agenda kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, maka akan mendapatkan catatan buruk bahkan evaluasi dari pemerintah pusat.
Kepala daerah pada dasarnya harus lebih banyak memperjuangkan kepentingan daerahnya yaitu bagaimana masyarakat di daerahnya lebih sejahtera tanpa harus menghilangkan ciri khas dan karakter daerahnya masing-masing. Daerah hanya dituntut untuk menyelaraskan kebijakan daerahnya dengan kebijakan pemerintah pusat. Dengan demikian setiap kepala daerah harus berkreasi guna membangun daerahnya menjadi lebih baik.
Meskipun diskursus pembahasan publik lebih tertuju kepada Keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, namun terkait dengan Keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia syarat calon kepala daerah juga menjadi perhatian yang serius, karena terkait dengan masalah batas usia ini ditengarai ada ketidakpastian dan terdapat kepentingan terselubung terkait dengan politik dinasti.
Hal tersebut juga sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memaksakan politik dinasti apalagi calon dari trah dinasti tersebut tidak memenuhi persyaratan administratif.
Pada akhirnya dua keputusan dari MK tersebut memberikan implikasi secara sistemik yang secara substansial dapat menyelamatkan demokrasi di Indonesia agar tidak dikuasai oleh para kartel politik atau dinasti politik
Negara ini dilahirkan agar rakyat mampu berdaulat secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian hal ini akan dicatat dalam Sejarah bahwa MK telah menyelamatkan demokrasi di Indonesia, diibaratkan Keputusan MK merupakan kado terindah di HUT RI ke 79.
Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Analis Masalah Sosial & Pemerintahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H