Dalam kondisi seperti itu, kaum perempuan sepertinya belum mampu untuk melawan kodrat sejarah tersebut dan hal ini juga berlaku pada aspek politik yang selama ini masih menggunakan "hukum politik" kaum laki-laki.Â
Dalam hukum politik tersebut dinyatakan bahwa kaum laki-laki memiliki egoisme dan arogansi politik yang sangat kuat untuk selalu memimpin dan menguasai semua sumber daya politik yang ada, sedangkan kaum perempuan hanya menjadi pengikut (follower) bukan leader.
Terdapat pergeseran yang cukup signifikan dalam praktik perpolitikan di Indonesia dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir khususnya di era reformasi, di mana perpolitikan kita saat ini diwarnai oleh sikap dan perjuangan yang sangat kuat dari kaum perempuan pada ranah politik.Â
Dalam beberapa referensi, terdapat beberapa perjuangan hak politik perempuan dalam gerakan feminisme ini.
Pertama, gerakan feminisme memperjuangkan politik anti diskriminatif yaitu bagaimana kaum perempuan memiliki kedudukan yang setara di segala aspek kehidupan menyangkut aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik, sosial budaya dan berbagai aspek lainnya.
Dalam beberapa praktik politik, politisi atau pejabat publik dari kalangan perempuan secara kultural lebih sopan dan memiliki rasa malu yang lebih tinggi untuk melakukan penyalahgunaan jabatan politik termasuk di dalamnya untuk melakukan praktik KKN dibandingkan dengan politisi dan pejabat publik dari kaum laki-laki.Â
Contoh kasus, ketika terdapat pejabat publik atau anggota legislatif dari kaum perempuan yang terjerat kasus korupsi dan menjadi tahanan KPK, mereka merasa sangat malu ketika dipublis di media.Â
Dalam perspektif etika politik, hal tersebut tentunya sangat baik agar para politisi memiliki rasa malu yang sangat tinggi sehingga dalam menjalankan jabatan publiknya tersebut tidak sembrono dan "ugal-ugalan".
Kedua, gerakan feminisme memperjuangkan keterwakilan kaum perempuan. Dalam bidang politik perjuangan ini, dilegitimasi dengan turunnya aturan keterwakilan 30 persen di lembaga legislatif. Meskipun dalam praktiknya, hal tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh partai politik ataupun dari kalangan kaum perempuan itu sendiri.Â
Perdebatan yang sering muncul ke permukaan bahwa kaum perempuan masih dianggap belum mampu berperan secara optimal dalam bidang politik. Artinya kaum perempuan perlu meng-upgrade dirinya menjadi pemimpin dan politisi yang tangguh dan berkualitas.