Mohon tunggu...
AGUS SJAFARI
AGUS SJAFARI Mohon Tunggu... Dosen - DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Mengajar, menulis, olah raga, dan seni khususnya main guitar dan nyanyi merupakan hoby saya.. topik tentang sosial, politik, dan pemerintahan merupakan favorit saya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran, Refleksi Kultural, dan Spiritual

19 April 2024   11:07 Diperbarui: 19 April 2024   11:14 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

LEBARAN, REFLEKSI KULTURAL DAN SPIRITUAL

Oleh: Agus Sjafari*

Setiap momen lebaran kita selalu menemukan sesuatu yang unik dan menjadi refleksi bagi kita semuanya, baik itu yang sifatnya refleksi spiritual maupun refleksi yang sifatnya kultural. Tradisi atau kebiasaan umat muslim yang umum kita lihat di setiap momen lebaran seperti halnya memakai baju baru ketika sholat ied maupun dalam acara silaturrahmi. Menggunakan baju atau pakaian baru mungkin saja tidak hanya berlaku bagi masyarakat di Indonesia saja melainkan juga bagi masyarakat muslim di seluruh dunia. 

Pakaian baru Ketika momen lebaran merefleksikan sebuah kemenangan melawan hawa nafsu selama berpuasa sebulan penuh, yang selanjutnya kemenangan tersebut diwujudkan melalui performance yang terbaik ketika menghadap kepada Allah SWT melalui sholat ied merupakan bentuk dari kesholehan individual seseorang. Ketika hal tersebut juga dimanefestasikan dalam kegiatan silaturrahmi keluarga dan kolega merupakan manifestasi dari kesholehan sosial dalam kegiatan yang disebut dengan acara halal bil halal.

Beberapa momen unik sebagai perwujudan dari refleksi kultural dalam momen lebaran antara lain mengkonsumsi ketupat dan opor ayam yang sepertinya sudah menjadi menu wajib ketika lebaran serta juga di daerah -- daerah tertentu ada tradisi karnaval pameran obor di malam takbiran, karnaval musik sahur, dan beberapa tradisi unik lainnya. 

Refleksi kultural tersebut merupakan ekspresi kegembiraan masyarakat muslim di Indonesia dalam merayakan lebaran. Perayaan refleksi kultural yang beraneka ragam bagi masyarakat di Indonesia menunjukkan betapa beranekaragamnya kultur masyarakat di Indenesia, sehingga hal tersebut menjadi daya Tarik tersendiri dalam setiap momen lebaran.

Beberapa refleksi kultural tersebut merupakan sebuah kemenangan simbolis masyarakat muslim di Indonesia di dalam menjalankan ibadah dalam beragama. Kemenangan simbolis yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah masyarakat menampilkan simbol -- simbol kultural sebagai sebuah kegiatan yang disandingkan dengan kegiatan ritual ibadahnya sehingga perayaan lebaran menjadi sangat meriah dan selalu menjadi momen yang sangat menarik dan sangat ditunggu -- tunggu oleh setiap ummat muslim.

Menuju Kemenangan Substantif

Kemenangan simbolis yang diwujudkan dengan beberapa refleksi kultural idealnya pararel dengan kemenangan substantif dalam beragama setelah satu bulan digembleng selama satu bulan penuh dalam pesantren romadhan. Dalam pesantren romadhan terdapat kurikulum yang memiliki akses langsung kepada Allah SWT melalui ibadah puasa, sholat malam, membaca alquran, zakat dan sedekah, dan amalan kebaikan -- kebaikan lainnya yang langsung diganjar pahala berkali -- kali lipat oleh Allah SWT dibandingkan dengan bulan -- bulan lainnya di luar bulan romadhan. 

Bulan romadhan diibaratkan sebagai bulan penggeblengan lahir, batin dan spiritual. Sebagai bulan penggemblengan, maka kita akan semakin disiplin di dalam menjalankan ibadah. Setiap muslim yang lulus dari pesantren romadhan ini, maka amal ibadahnya akan semakin meningkat serta perilaku ketakwaannya itu akan selalu mewarnai perilaku di luar bulan romadhan. 

Hal yang justru tidak kita harapkan apabila perilaku buruknya kembali kambuh pada sebelas bulan lainnya di luar bulan romadhan. Sebagai hasil perenungan mendalam penulis bahwa seorang muslim yang mendapatkan lailatul qodar apabila ketakwaannya semakin bertambah setelah selesai menjalankan ibadah romadhan dan mewarnai pada bulan -- bulan lainnya. Predikat orang yang disebut dengan istilah la'allakum tattaquun (orang yang bertaqwa) QS Al Baqarah Ayat 183 itu benar -- benar terwujud.

Baju baru idealnya merefleksikan adanya spirit, semangat baru, ketaqwaan yang baru dan lebih mendalam bagi seorang muslim yang benar -- benar menjalankan kurikulum pesantren romadhan di atas tersebut. Baju baru pada saat tertentu akan kusut, lapuk dan rusak, oleh karena itu baju baru harus terus dipelihara dan ketika baju barunya benar -- benar rusak maka harus diperbaharui lagi melalui romadhan -- romadhan berikutnya. 

Oleh karena itu doa seorang muslim di akhir -- akhir bulan romadhan sangat berharap untuk dapat dipertemukan kembali pada romadhan berikutnya. Kemenangan yang diinginkan oleh seorang muslim sejati bukan hanya ketika akhir romadhan, kita dapat membeli dan menggunakan baju baru, makan ketupat beserta opor ayamnya semata malainkan ketakwaan dan keislaman kita semakin bertambah serta bisa mewarnai perilaku kita, mewarnai keluarga kecil kita, dan kalau memungkinkan dapat mewarnai tetangga dan komunitas masyarakat yang ada di sekitar kita.

Setelah Romadhan, Haruskah Kita Senang?

Setiap anak kecil yang baru belajar puasa ketika selesai menjalankan ibadah puasa, mereka selalu mendapat imbalan dari orang tuanya dan sanak keluarganya dalam bentuk baju baru dan mendapatkan "angpau" sebagai bentuk apresiasi kebanggaan keluarga dimana anaknya sudah mulai belajar menjadi seorang muslim yang lebih dewasa dalam menjalankan amalah rukun islam yang ketiga. 

Mereka selalu merasa happy dalam setiap moment lebaran karena sudah boleh makan lagi dan memakai baju baru pada hari H lebaran. Perasaan anak kecil itu tidaklah salah dan berlebihan merasakan seperti itu karena masanya berada pada masa pembelajaran positif sebagai umat muslim yang baru mulai menjalankan ibadahnya.

Perasaan yang sama diakan pandang kurang tepat apabila hal tersebut diekpresikan oleh seorang muslim dewasa yang sudah wajib menjalankan ibadah puasanya secara benar. Pada tataran yang lebih substantif dan ideal, seorang muslim sejati bukannya merasa senang ditinggalkan oleh bulan romadhan melainkan perasaan sedih yang mendalam ditinggal oleh romadhan. 

Kita tidak boleh lagi berharap hanya akan memakai baju baru dan makan makanan yang enak khas lebaran semata, melainkan kita kehilangan bulan yang penuh dengan barokah dan ampunan ini.  Para ulama, ustad, kyai yang ketakwaan agama islamnya sangat kuat, seringkali mereka menangis dan meratapi kesedihannya ketika menjelang akhir bulan romadhan. 

Oleh karena itu, di sepuluh hari terakhir bulan romadhan mereka melakukan I'tikaf yang diajarkan Rosulullah Muhammad SAW. Setiap amalan ibadah yang dilaksanakan selama bulan romadhan idealnya selalu melekat dan secara disiplin terus dilaksanakan pada sebelas bulan berikutnya.

Kemenangan sejati ummat islam yang memperoleh lailatul qodar itu, bukan hanya kemenangan menaklukkan satu bulan romadhan itu, melainkan melalui bekal keimanan yang kuat selama menjalankan ibadah di bulan romadhan itu juga mampu diterapkan secara terus menerus selama sebelas bulan berikutnya. Artinya kemenangan sejati seorang muslim bukanlah kemenangan satu bulan itu, melainkan kemenangan pada sebelas bulan berikutnya itu.

Betapa menyesalnya seorang muslim apabila tidak dapat bertemu kembali dengan bulan penuh barokah, maqfiroh dan ampunan itu. Atau ketika masih diberi kesempatan untuk dipertemukan dengan bulan romadhan, ia tidak memanfaatkan secara maksimal dalam melaksanakan ibadah selama bulan romadhan tersebut. 

Optimalisasi kegiatan positif apapun selama bulan romadhan apabila diniatkan untuk ibadah, maka akan diganjar oleh pahala yang berlimpah dari Allah SWT, apalagi selama bulan romadhan kita memang lebih banyak mencurahkan waktu untuk menjalankan ritual ibadah kepada Allah SWT sehingga tabungan pahala kita berlipat -- lipat.

Pada akhirnya antara refleksi kultural yang sifatnya simbolis dan ritual ibadah spiritual memiliki hubungan yang sangat kuat. Hubungannya tidak lain adalah untuk selalu mengingat kebesaran Allah SWT. Dengan mengingat kebesaran Allah SWT, kita diharapkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan semakin meningkatkan ibadah kita kepada-Nya. 

Oleh karena itu ritual lebaran sebagai momen akhir dari pelaksanaan proses ibadah puasa harus diakhiri dengan sesuatu yang bermakna mencapai derajat ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT. Aamiin YRA.

Penulis adalah Dosen FISIP Untirta, Pemerhati Masalah Sosial & Pemerintahan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun