Dalam satu kali kesempatan pada 9 November 2010, K.H. Miftah F. Rakhmat, Lc. MA. Â (beliau saat itu adalah ketua Yayasan Muthahhari Bandung---sekarang beliau adalah ketua Dewan Pembina Yayasan Muthahhari Bandung), mengisi seminar Pendidikan Seri ke-7 tentang Pendidikan Karakter yang diselenggarakan di Gedung Bosowa Management Development Institute (BMDI) Makassar; kerjasama Yayasan Amalia Insani dan Quantum Sinergi Makassar.Â
Makalah yang beliau sampaikan berkenaan dengan pendidikan karakter, salah satu rujukannya adalah LVEP adalah singkatan dari Living Values: an Educational Project.Â
LVEP menyederhanakan pendidikan karakter ini ke dalam nilai-nilai moral kehidupan atau nilai-nilai dasar. Yang terdiri dari duabelas nilai nilai universal (kerjasma, damai, menghargai, kesederhanaan, tanggung jawab, kebebasan, kejujuran, toleransi, kebahagiaan, kasih saying, persatuan dan rendah hati).
Di Tahun 2016 lalu, saya baru mengenal LVEP (Living Values Educationl Program) yang merupakan transformasi dari LVEP sebelumnya. Ada beberapa hal yang didapat dari LVEP yang kami coba terapkan di SMP BAHTERA Muthahhari diantaranya adalah metoda DfC (Design for Change)
DfC pertama kali diperkenalkan oleh seorang pengajar dari India, beliau adalah Kiran Bir Sethi. Berawal dari 200 murid yang dibimbingnya di sekolah Riverside Ahmedabad India pada tahun 2009.
Berawal dari sebuah kegalauan tentang kenyataan pendidikan dimana proses pembelajaran sehari-hari murid-murid hanya duduk diam dan mendengarkan guru tanpa diberi ruang untuk mengembangkan kreativitas, mendapatkan pilihan, dan mengungkapkan opini. Setiap kali ditantang untuk menyelesaikan masalah  jawaban yang pertama yang disampaikan adalah "saya tidak bisa"
Design for Change mendorong murid menjadi penyelesai masalah yang dialami mereka sendiri, lalu merasakan kalimat: "AKU BISA!" .Â
Berkat komitmen Kiran Bir Sethi , dari 200 anak di Riverside, kini berkembang menjadi lebih dari 30.000 anak di Ahmedabad India, kini DfC menjangkau 32.000 sekolah di seluruh dunia.
"Pesan dasar yang coba disampaikan oleh Design for Change kepada setiap orang adalah anak-anak bukanlah makhluk yang tak berdaya. Perubahan merupakan suatu hal yang mungkin terjadi dan anak-anak mampu membuat perubahan tersebut". [Kiran Bir Sethi]
Secara sederhana, DfC diterapkan dengan mengajak murid-murid untuk mencari satu ide, apa saja permasalah yang mengganggu mereka saat berada disekolah, pilih  permasalahan yang paling sederhana (biasanya murid-murid banyak memiliki masalah) dan penekannya bahwa kita tidak akan menyelesaikan seluruh masalah tersebut (pada kenyataannya memang tidak semua masalah ada solusinya).
Akan tetapi mendorong semua anak merasakan pengalaman AKU BISA dan menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Langkah-langkah yang diambil dalam menjalankan metoda ini adalah FEEL, IMAGINE, DO AND SHARE (rasakan, bayangankan, lakukan dan bagikan).Â
Langkah pertama adalah merasakan, murid-murid diajak untuk berpikir dari dalam hati, memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dan permasalahan yang ada di sekitar kita.Â
Salah satu cara untuk mendapatkan feel bisa dengan mengamati lingkungan fisik (infrastructur, ruang), masyarakat (budaya, tradisi) dan aspek emosional (cara berhubungan, apa yang dirasakan). Untuk memancing feel, gunakan pertanyaan: What bothers you? Apa yang mengganggu Anda?.Â
Kemudian mendiskusilkan apa yang telah diamati dengan kelompok untuk memilih satu situasi yang ingin diubah. Lalu libatkan diri untuk memahami kekhawatiran dan harapan kelompok dan yang terkena imbas dari situasi tersebut. Gunakan teknik wawancara agar lebih memahami  keprihatinan dan identifikasi hal-hal yang dapat diperbaiki.
Kedua, adalah membayangkan bahwa solusi yang kita buat berjalan dengan baik  dimana setiap situasi  membutuhkan solusi yang berbeda.  Kumpulkan gagasan sebanyak banyaknya dan bayangkan sebuah solusi yang "tak biasa" untuk mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik lagi. Â
Penggalian gagasan dilakukan dengan cara bertukar pikiran atau diskusi antar anggota kelompok, mencari  ide-ide yang dapat menciptakan dampak tercepat, yang mempengaruhi sebanyak mungkin orang, dan dapat bertahan lama.Â
Kemudian memilih ide-ide yang terbaik bagi setiap bagian dari situasi untuk menangani situasi yang ingin diubah.
Ketiga, adalah melakukan "do make change happen"  perubahan menjadi nyata. Diawali dengan membuat perencanaan yang  menjadi poin penting pada proyek ini. Â
Pastikan semua kebutuhan untuk mencapai tujuan diketahui dan dibicarakan serta dibagikan ke seluruh anggota kelompok sehingga semuanya bisa bekerja sama.
Mendiskusikan dalam upaya untuk mengumpulkan pendapat dari semua anggota kelompok, menyusun pertanyaan untuk questioner (pertanyaan questioner bisa untuk bahan wawancara) dimana respondennya adalah murid, guru atau orang tua.Â
Membuat poster, flyer, artikel, mind maping, presentasi power point/prezi, dan slogan-slogan. Kemudian disajikan dalam sebuah presentasi yang dihadiri semua murid.
Keempat, membagikan pengalaman yang sudah dilakukan oleh murid bisa dalam bentuk tulisan berupa cerita atau sekarang ini murid-murid memiliki media social yang dapat digunakan untuk sharring, bisa dalam bentuk tulisan atau video documenter. Â
Menular adalah kata yang baik, tawa itu menular, hasrat itu menular, inspirasi pun menular. Â Sebuah inspirasi akan dapat melipatgandakan efek yang dihasillkan dari sebuah perubahan.Â
Maka, bagilah cerita Anda pada dunia, bantu orang lain untuk juga menyatakan "I can, Saya bisa! Saya bisa buat perubahan, Anda Juga pasti Bisa" atau "Saya bisa buat perubahan, apalagi jika Anda Terlibat".
"Ketika anak-anak diberdayakan, bukan hanya mereka akan berbuat baik, tapi mereka juga melakukannya dengan baik" [Kiran Bir Sethi]
Saat ini, Design for Change (DfC) dengan menggunakan langkah-langkah FEEL, IMAGINE, DO AND SHARE (rasakan, bayangankan, lakukan dan bagikan), diadaptasikan ke dalam pembelajaran berbasis proyek pada kurikulum prototype Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.Â
Sebuah usaha yang terbilang agak terlambat dilakukan di dunia pendidikan Indonesia jika dibandingkan dengan India dan Singapura yang sudah jauh terlebih dahulu menggunakan konsep itu.
Rencana penerapan kurikulum prototype Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi tentunya membawa harapan akan perubahan paradigma pendidikan nasional ke arah yang lebih baik tidak hanya untuk menjadi solusi pemulihan pembelajaran di Indonesia akan tetapi menjadi jalan bagi berkembangnya kecakapan soft skill  dan karakter mulia anak bangsa Indonesia.
Penulis : Agus Budiman
(Guru SMP BAHTERA MUTHAHHARI BANDUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H