Mohon tunggu...
Agus Tjakra Diredja
Agus Tjakra Diredja Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hapus batas dunia, jelajahi isinya. Jika jenuh, temukan kedamaian dalam secangkir kopi dan keheningan, karena menulis adalah pelarian dan cara berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lepaskan Stigma, Rangkul Potensi, Membangun Desa Pasca Syuting Film Horor Sumala

13 Oktober 2024   21:31 Diperbarui: 13 Oktober 2024   22:11 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumala (sumber : film sumala via Inews.id)

Siapa yang tidak suka dengan sensasi jantung berdebar saat menonton film horor? Suasana mencekam, makhluk mengerikan, dan plot twist yang tak terduga menjadi daya tarik tersendiri. 

Namun, tahukah Anda bahwa di balik keseruan film horor, tersimpan kisah nyata yang tak kalah menarik? Banyak desa yang awalnya tenang dan damai, mendadak menjadi sorotan setelah dijadikan lokasi syuting film horor.

 Sayangnya, bukan ketenaran yang mereka dapatkan, melainkan stigma negatif yang sulit dihilangkan.

Ketika sebuah desa dipilih sebagai lokasi syuting film horor, otomatis desa tersebut akan diidentikkan dengan hal-hal yang menyeramkan. Media massa, baik itu televisi, surat kabar, maupun media sosial, seringkali membesar-besarkan aspek horor dari film tersebut, sehingga citra desa pun ikut terbawa. 

Hal ini diperparah dengan munculnya cerita-cerita mistis yang berkembang di kalangan masyarakat, yang semakin memperkuat stigma negatif terhadap desa tersebut.

Dampak Stigma Negatif

Dampak dari stigma negatif ini sangatlah luas dan kompleks. Awalnya, desa yang menjadi lokasi syuting film horor mungkin akan mengalami peningkatan jumlah wisatawan yang penasaran. 

Mereka ingin melihat langsung lokasi syuting, merasakan atmosfer mencekam yang sama seperti di film, atau sekadar berburu foto-foto unik. 

Namun, euforia ini biasanya bersifat sementara. Seiring berjalannya waktu, stigma negatif yang melekat pada desa akan semakin kuat. Wisatawan mulai merasa takut akan hal-hal mistis yang mungkin terjadi di desa tersebut. 

Mereka khawatir akan mengalami kejadian aneh atau bahkan diganggu oleh makhluk halus. Akibatnya, minat wisatawan untuk berkunjung pun menurun drastis.

Dampak negatif terhadap pariwisata tentu berimbas pada perekonomian desa. Sektor pariwisata yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, justru mengalami penurunan. 

Usaha-usaha lokal seperti warung makan, penginapan, dan toko souvenir yang mengandalkan kunjungan wisatawan akan mengalami kesulitan. 

Pemasukan mereka berkurang drastis, bahkan banyak yang harus gulung tikar. Selain itu, investasi di sektor pariwisata yang telah dilakukan sebelumnya juga menjadi sia-sia.

Stigma negatif yang melekat pada desa tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga pada psikologis masyarakat, terutama anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di desa yang dianggap angker seringkali merasa takut dan tidak aman. 

Mereka mungkin takut keluar rumah pada malam hari, takut tidur sendirian, atau bahkan mengalami mimpi buruk. 

Ketakutan ini dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Selain itu, stigma negatif juga dapat menurunkan rasa percaya diri dan harga diri masyarakat. Mereka merasa malu dan minder karena berasal dari desa yang dianggap angker.

Dampak stigma negatif juga terasa dalam kehidupan sosial masyarakat desa. Hubungan antar warga bisa menjadi renggang. Beberapa warga mungkin saling menyalahkan atau curiga satu sama lain. 

Munculnya isu-isu sensitif seperti keberadaan makhluk halus dapat memicu perdebatan dan perselisihan. 

Selain itu, stigma negatif juga dapat menghambat interaksi sosial dengan masyarakat dari desa lain. Warga desa mungkin enggan untuk bersosialisasi atau menjalin kerjasama dengan masyarakat dari desa lain karena takut dianggap sebagai bagian dari komunitas yang angker.

Stigma negatif adalah bayang-bayang yang gelap, namun cahaya harapan selalu ada. Desa-desa yang pernah terjebak dalam kegelapan kini siap bersinar. 

Mari kita jadikan kisah mereka sebagai inspirasi untuk membangun desa yang lebih baik, desa yang mandiri, dan desa yang berkelanjutan.

 Dengan memberdayakan generasi muda, melestarikan lingkungan, dan mengembangkan ekonomi kreatif, kita tidak hanya mengubah wajah desa, tetapi juga ikut membangun bangsa. 

Setiap tindakan kecil kita, mulai dari berbagi cerita positif hingga mengunjungi desa-desa tersebut, adalah langkah nyata untuk mewujudkan perubahan. Ingatlah, kita adalah pencipta masa depan kita sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun