Usaha-usaha lokal seperti warung makan, penginapan, dan toko souvenir yang mengandalkan kunjungan wisatawan akan mengalami kesulitan.Â
Pemasukan mereka berkurang drastis, bahkan banyak yang harus gulung tikar. Selain itu, investasi di sektor pariwisata yang telah dilakukan sebelumnya juga menjadi sia-sia.
Stigma negatif yang melekat pada desa tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga pada psikologis masyarakat, terutama anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di desa yang dianggap angker seringkali merasa takut dan tidak aman.Â
Mereka mungkin takut keluar rumah pada malam hari, takut tidur sendirian, atau bahkan mengalami mimpi buruk.Â
Ketakutan ini dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Selain itu, stigma negatif juga dapat menurunkan rasa percaya diri dan harga diri masyarakat. Mereka merasa malu dan minder karena berasal dari desa yang dianggap angker.
Dampak stigma negatif juga terasa dalam kehidupan sosial masyarakat desa. Hubungan antar warga bisa menjadi renggang. Beberapa warga mungkin saling menyalahkan atau curiga satu sama lain.Â
Munculnya isu-isu sensitif seperti keberadaan makhluk halus dapat memicu perdebatan dan perselisihan.Â
Selain itu, stigma negatif juga dapat menghambat interaksi sosial dengan masyarakat dari desa lain. Warga desa mungkin enggan untuk bersosialisasi atau menjalin kerjasama dengan masyarakat dari desa lain karena takut dianggap sebagai bagian dari komunitas yang angker.
Stigma negatif adalah bayang-bayang yang gelap, namun cahaya harapan selalu ada. Desa-desa yang pernah terjebak dalam kegelapan kini siap bersinar.Â
Mari kita jadikan kisah mereka sebagai inspirasi untuk membangun desa yang lebih baik, desa yang mandiri, dan desa yang berkelanjutan.
 Dengan memberdayakan generasi muda, melestarikan lingkungan, dan mengembangkan ekonomi kreatif, kita tidak hanya mengubah wajah desa, tetapi juga ikut membangun bangsa.Â