Akademisi dan peneliti epidemiologi maupun kebijakan kesehatan masyarakat sepakat bahwa faktor resiko kanker yang paling dominan dan bisa modifikasi oleh setiap orang adalah perilaku atau gaya hidupnya.
Maka gaya hidup menjadi kunci utama yang semestinya menjadi fokus kita (pemerintah dan masyarakat) untuk berusaha memperbaikinya. Karena secara pengalaman dan teori faktor itu mutlak bisa diperbaiki, diubah atau direkayasa jika kita sadar dan mau melakukanya.
Kementerian Keuangan pernah mempublikasikan sebuah data tahun 2018 tentang kebijakan fiskal dan konsumsi rumah tangga yang menyimpulkan bahwa pola perilaku atau gaya hidup masyarakat Indonesia masih belum menunjukan pola gaya hidup dinegara berkembang pola di negara maju, bahkan gaya hidupnya cenderung mengarah kepada gaya yang ada dinegara-negara miskin dan rentan.
Justru jika dibandingkan dengan India, Jepang, Meksiko, Korea Selatan dan Amerika indikator pengeluaran untuk kesehatan dan transportasi kita jauh menduduki posisi yang terkecil atau terendah. Masih logiskah kita bermimpi Indonesia akan jadi negara maju?
Analisis Badan Pusat Statistik menyimpulkan rokok masih menjadi konsumsi terbesar kedua setelah beras yang paling berpengaruh terhadap garis kemiskinan nasional. Pada kelompok rumah tangga miskin dan rentan, keterbatasan penghasilan membuat mereka menghabiskan sebagian besar pengeluarannya untuk konsumsi makanan.
Hal itu menyebabkan pengeluaran lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, memiliki porsi dan nominal yang sangat kecil. Pemerintah perlu berperan aktif dalam rangka menjamin akses pendidikan dan kesehatan bagi rumah tangga kelas miskin dan rentan. Padahal rokok menjadi salah satu faktor resiko kanker.
Artinya tingginya pengeluaran untuk makanan tidak menjamin kesehatan. Secara tidak langsung itu memperlihatkan tingkat pengeluaran untuk makanan meskipun lebih besar dan tinggi dibandingkan negara maju seolah tidak memberikan dampak kualitas hidup.Â
Dengan kata lain orientasi hidup rata-rata orang indonesia hanya untuk makan, bukan makan untuk melanjutkan hidup. Hal ini menimbulkan spekulasi kuat bahwa masih ada yang salah dengan pengetahuan dan perilaku "asal makan, baik itu keseimbangan porsi, komposisi maupun nutrisinya.
Apalagi jika kita melihat tren gaya hidup kelompok generasi Y atau milenial di era 4.0 ini. Media sosial menjadi salah satu media pemicu meningkatnya ancaman kanker akibat berbagai informasi yang mempengaruhi mental untuk berperilaku makan yang tidak sehat.Â
Salah satunya adalah challange tantangan remaja dan anak-anak melalui quiz berupa polling warganet untuk minum "boba/buble milk tea" dengan pemanis/gula melebihi nilai batas aman (per hari per orang 4 sendok makan atau -+50 gram), Bahkan si pemilik akun membuat tantangan 3-5 liter habis dalam waktu 3 jam, 5 jam atau 12 jam sendirian melalui laman media sosial terpopuler youtube.Â