Memperingati Hari Kanker Anak Sedunia (15 Februari)
Masalah kanker baik dewasa (imigran digital) maupun anak-anak sebagai generasi digital menjadi salah satu ancaman serius penyebab kematian karena penyakit tidak menular.Â
Setelah era 2000-2018 kejadian penyakit kanker semakin meningkat dan menggusur penyakit menular atau infeksi. (Data), mengungkap setiap tahun ada 300.000 lebih anak-anak diseluruh dunia yang menderita penyakit mematikan ini, 80% ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Temuan data riset kesehatan dasar terakhir tahun 2018, kasus penderita kanker Indonesia termasuk anak semakin melonjak 0,4 permil menjadi 1,8 permil dari sebelumnya di 2013 hanya 1,4 permil. Data itu juga mengungkap potensi resiko kanker didaerah perkotaan jauh lebih besar dibandingkan dengan wilayah perdesaan.Â
Sedangkan untuk kategori per jenis kelamin, perempuan memiliki resiko kanker jauh lebih besar dari pada lak-laki. Kejadian kasus kanker anak sekitar 4% dari kasus kanker orang dewasa.
Masalahnya kanker yang melonjak dan mengancam kini kurang mendapatkan perhatian, karena gejala dan sakitnya membutuhkan durasi waktu hingga tahunan.Â
Berbeda dengan penyakit infeksi seperti NCoV (corona) yang disebabkan virus, meskipun juga sebelumnya dipengaruhi perilaku yang tidak bersih, baik dan benar sesuai nilai-nilai agama dan kesehatan. Sehingga satu-satunya obat (solusi) perilaku adalah intervensi perubahan perilaku.
Semoga kehadiran Corona tidak mengabaikan kita untuk mewaspadai kanker termasuk pada anak yang puncaknya selalu diperingati setiap 15 februari yang menurut saya tema hari kanker sedunia 4 februari lalu dengan tema 'I Am and I Will" masih layak kita gaungkan untuk peringati kanker anak sedunia.Â
Tema itu diharapkan mampu mendobrak kesadaran setiap orang untuk memiliki kapasitas ambil bagian dan bertindak mewaspadai kanker yang mengancam generasi digital. Khusus kanker anak, faktor resiko yang harus diwaspadai adalah gaya hidup orang tua dan lingkungan sekitar misalkan polusi rokok dan gaya hidup tidak sehat, bisa menjadi pemicu kanker untuk anak dan keturunanya.
WHO, Kementerian Kesehatan dan para peneliti menyatakan penyakit kanker termasuk pada anak akan semakin meningkat jika gaya hidup masyarakat tidak diperbaiki. Apalagi kecenderungan lingkungan di era revolusi industri 4.0 yang semakin mendukung dan jadi masalah baru yang belum pernah ada dan dialami oleh generasi  sebelumnya.
Akademisi dan peneliti epidemiologi maupun kebijakan kesehatan masyarakat sepakat bahwa faktor resiko kanker yang paling dominan dan bisa modifikasi oleh setiap orang adalah perilaku atau gaya hidupnya.
Maka gaya hidup menjadi kunci utama yang semestinya menjadi fokus kita (pemerintah dan masyarakat) untuk berusaha memperbaikinya. Karena secara pengalaman dan teori faktor itu mutlak bisa diperbaiki, diubah atau direkayasa jika kita sadar dan mau melakukanya.
Kementerian Keuangan pernah mempublikasikan sebuah data tahun 2018 tentang kebijakan fiskal dan konsumsi rumah tangga yang menyimpulkan bahwa pola perilaku atau gaya hidup masyarakat Indonesia masih belum menunjukan pola gaya hidup dinegara berkembang pola di negara maju, bahkan gaya hidupnya cenderung mengarah kepada gaya yang ada dinegara-negara miskin dan rentan.
Justru jika dibandingkan dengan India, Jepang, Meksiko, Korea Selatan dan Amerika indikator pengeluaran untuk kesehatan dan transportasi kita jauh menduduki posisi yang terkecil atau terendah. Masih logiskah kita bermimpi Indonesia akan jadi negara maju?
Analisis Badan Pusat Statistik menyimpulkan rokok masih menjadi konsumsi terbesar kedua setelah beras yang paling berpengaruh terhadap garis kemiskinan nasional. Pada kelompok rumah tangga miskin dan rentan, keterbatasan penghasilan membuat mereka menghabiskan sebagian besar pengeluarannya untuk konsumsi makanan.
Hal itu menyebabkan pengeluaran lainnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, memiliki porsi dan nominal yang sangat kecil. Pemerintah perlu berperan aktif dalam rangka menjamin akses pendidikan dan kesehatan bagi rumah tangga kelas miskin dan rentan. Padahal rokok menjadi salah satu faktor resiko kanker.
Artinya tingginya pengeluaran untuk makanan tidak menjamin kesehatan. Secara tidak langsung itu memperlihatkan tingkat pengeluaran untuk makanan meskipun lebih besar dan tinggi dibandingkan negara maju seolah tidak memberikan dampak kualitas hidup.Â
Dengan kata lain orientasi hidup rata-rata orang indonesia hanya untuk makan, bukan makan untuk melanjutkan hidup. Hal ini menimbulkan spekulasi kuat bahwa masih ada yang salah dengan pengetahuan dan perilaku "asal makan, baik itu keseimbangan porsi, komposisi maupun nutrisinya.
Apalagi jika kita melihat tren gaya hidup kelompok generasi Y atau milenial di era 4.0 ini. Media sosial menjadi salah satu media pemicu meningkatnya ancaman kanker akibat berbagai informasi yang mempengaruhi mental untuk berperilaku makan yang tidak sehat.Â
Salah satunya adalah challange tantangan remaja dan anak-anak melalui quiz berupa polling warganet untuk minum "boba/buble milk tea" dengan pemanis/gula melebihi nilai batas aman (per hari per orang 4 sendok makan atau -+50 gram), Bahkan si pemilik akun membuat tantangan 3-5 liter habis dalam waktu 3 jam, 5 jam atau 12 jam sendirian melalui laman media sosial terpopuler youtube.Â
Ini menjadi satu contoh bentuk gaya hidup era 4.0 yang akan mengancam dan mempengaruhi mental, perilaku makan yang tidak sehat yang berdampak kesehatan termasuk ancaman resiko kanker para generasi milenial (generasi Y) lainya.
Oleh sebab itu era 4.0 kini jadi tantangan para tenaga kesehatan khususnya Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang produksinya menurut data forlapdikti per 12/02/2020 telah mencapai -+ 207 perguruan tinggi di Indonesia menjadi salah satu jenis tenaga kesehatan yang jadi prioritas pemerintah pusat.
Adapun tujuan keberadaan dan fokus SKM adalah mendiagnosa dan merekayasa perilaku sosial termasuk gaya hidup yang beresiko kanker para generasi milenial bisa dicegah dan diturunkan kasusnya secara tindakan non medis.
Kebijakan itu secara umum jelas tertulis dalam ringkasan eksekutif yang di publikasikan dalam sebuah buku elektronik yang dikeluarkan oleh Bappenas yang berjudul "penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas" yang diterbitkan tahun 2018 yang sebelumnya juga ada di renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019.Â
Hal itu merupakan sebuah bentuk dukungan pemerintah untuk memaksimalkan upaya promotif dan preventif paling mendasar (primer) secara non medis seperti melalui kebijakan dan program desa sehat sedaya dan program kota sehat.Â
Program itu menempatkan SKM di desa dan kelurahan (18/100.000 penduduk sesuai Permenkes 33/2015) untuk mengintervensi perilaku masyarakat dengan mengenalkan inovasi teknik gaya hidup hidup sehat, melakukan identifikasi dan mengembangkan strategi perubahan perilaku sehat, memotivasi masyarakat sehingga terjadi perubahan perilaku sehat dan memahami cara berkomunikasi dan merancang program komunikasi seperti yang telah digagas dan dilaksanakan PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana & Profesional Kesesehatan Masyarakat Indonesia) sejak 2012 lalu dan Pemerintah kota Semarang.
Semoga dukungan program dan kebijakan untuk memaksimalkan paradigma sehat melalui upaya promotif dan preventif ini tidak berhenti diatas kertas dan tataran pusat. Tetapi semakin mengakar, meluas dan berlanjut secara konsisten disetiap sektor pusat maupun daerah sebagai bentuk upaya terpadu dalam sistem pemerintahan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang sehat dan sejahtera bebas dari kanker. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H