Wawancara Sejarah lisan adalah suatu usaha pengumpulan data informasi dan keterangan tentang masa lampau dari seorang tokoh atau pelaku sejarah yang diperoleh melalui wawancara.Â
Willa K Baum menyatakan sejarah lisan merupakan usaha merekam kenangan yang dapat disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahun tangan pertama (Willa K Baum, 1982).Â
Simak juga apa yang disampaikan Oral History Society mengemukakan sejarah lisan adalah perekaman kenangan seseorang, dan masih banyak lagi yang lainnya (Anthony Seldon and Joanna Pappworth, 1983).
Tujuan dilakukannya wawancara sejarah lisan adalah untuk mengisi gap atau kekosongan dari sumber-sumber tertulis (Paul Thompson, 1978).Â
Disamping itu, untuk menyelamatkan informasi dari para pelaku atau pengkisah yang mempunyai pengalaman yang unik dan menarik dalam cakupan nasional sebelum lupa atau meninggal dunia.Â
Penyelamatan informasi ini biasanya dilakukan terhadap para tokoh atau pelaku sejarah yang kurang berminat untuk menulis, padahal dia mempunyai setumpuk pengalaman yang unik dan menarik, yang harus diselamatkan dan agar orang lainnya dapat mengetahuinya.Â
Para pelaku atau pengkisah yang mungkin akan diwawancarai adalah mereka yang pernah mengalami sendiri peristiwa yang dianggap punya cakupan nasional dan bukan yang menyaksikan.
Wawancara sejarah lisan dapat dipergunakan juga untuk melestarikan sejarah lokal maupun nasional (Bambang Purwanto, 2003).Â
Sejarah lokal yang dimaksudkan di sini adalah peristiwa yang pernah terjadi pada suatu daerah tertentu, dan kadangkala belum semuanya terungkap dan diketahui oleh masyarakat umum, misalnya keberadaan Belanda di Pasar Minggu dan sekitarnya, pertempuran di Kebayoran, latar belakang pendirian suatu universitas, pemekaran wilayah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Wawancara sejarah lisan bukan dialog, walaupun dalam perjalanan wawancara tersebut pasti ada tanya jawab. Seorang pewawancara akan bertanya seringkas mungkin kepada pengkisah dan diharapkan pengkisah akan menjawab secara detail dan perperinci.Â
Bahkan kadang-kadang dari jawaban tersebut keluar kenangan yang mungkin belum pernah disampaikannya kepada orang lain.Â
Seorang pewawancara harus dapat menggali sedalam-dalamnya suatu peristiwa yang pernag dialami oleh seorang tokoh nasional. Informasi yang disampaikan tentunya belum tertulis dalam catatan sebuah buku atau lainnya.
Ciri-ciri sejarah lisan tidak dapat dilepaskan dari esensinya yaitu bersumber pada lisan bukan pada sumber tertulis. Segala yang diucapkan oleh pelaku menjadi dasar dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan (Willa K Baum, 1982).Â
Selain itu, penyampaian dalam wawancara Sejarah lisan lebih banyak bersifat naratif, hanya cerita pengalamannya saja yang disampaikan oleh pelaku.Â
Setiap pelaku atau tokoh yang diwawancarai tentunya mengalami peristiwa yang unik dan mempunyai karakter yang berbeda-beda, sehingga penyampaiannyapun dapat berbeda-beda, walaupun esensinya sama. Ingatan yang disampaikan oleh pelaku memiliki kredibilitas yang berbeda, karena masing-masing pelaku mempunyai daya tampung ingatan yang berbeda-beda pula.
Tehnik yang biasa digunakan wawancara sejarah lisan adalah Open Type Interview (Wawancara dilakukan dengan cara pertanyaan ditentukan terlebih dahulu, sedangkan narasumber dapat menjawab bebas (P. Lim Pui Huen, 2000).Â
Adapun Teknik wawancara yang dimaksud adalah sebagai berikut: Wawancara biasa merupakan percakapan antara dua orang dan berlangsung antara pengkisah dan pewawancara, wawancara simultan yakni wawancara secara sekaligus terhadap sejumlah pelaku yang mengalami peristiwa yang sama.Â
Sementara itu, dalam mencari informasi, pewawancara juga dapat melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa ((wawancara dengan keluarga responden (P. Lim Pui Huen, 2000)).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H