Ekstremisme, baik dalam konteks agama maupun ideologi, telah menjadi ancaman yang semakin nyata dalam masyarakat kontemporer. Ekstremisme agama, khususnya, telah menodai kesucian dan kemurnian ajaran agama dengan aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan. [1] Akibatnya, agama kerap kali dianggap sebagai biang keladi konflik dan kekerasan, padahal semua agama mengajarkan nilai-nilai luhur tentang kemanusiaan, cinta kasih, dan perdamaian.
Â
Dampak ekstremisme agama sangatlah destruktif. Tidak hanya menyebabkan perpecahan dan konflik di antara umat beragama, tetapi juga merusak tatanan sosial, menghambat kemajuan, dan mengancam perdamaian global.[2] Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan bagaimana ekstremisme agama telah menjadi pemicu berbagai aksi terorisme yang memakan banyak korban jiwa.
Â
Menghadapi ancaman ekstremisme agama, penting bagi kita untuk kembali menggali nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama yang sebenarnya. Islam, misalnya, sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, mengajarkan tentang pentingnya toleransi, moderasi, dan penghargaan terhadap perbedaan.[3] Konsep Ahlu Ra'yi, yang menekankan penggunaan akal sehat dan ijtihad dalam memahami ajaran agama, dapat menjadi pendekatan alternatif dalam melawan pemikiran sempit dan ekstremisme. Ahlu Ra'yi mengajak kita untuk berfikir secara kritis, terbuka terhadap perbedaan pendapat, dan mengutamakan kemaslahatan umum dalam setiap tindakan.
Â
Definisi dan Sejarah
Â
Ahlu Ra'yi secara harfiah berarti "orang-orang yang berpendapat". Istilah ini merujuk pada aliran atau kelompok ulama dalam sejarah pemikiran hukum Islam yang menekankan penggunaan akal (ra'yu) dan ijtihad (penalaran independen) dalam memahami dan menafsirkan sumber-sumber hukum Islam, terutama Al-Qur'an dan hadis. Dalam perkembangan sejarah fikih, Ahlu Ra'yi sering dikaitkan dengan mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah (80-150 H). [4]
Â